11. ADIA

0 1 0
                                    

Sumpah rasanya aku mau marah-marah tapi gak bisa. Jadinya cuma bisa ngedumel dalam hati. Aku marah banget sama diriku sendiri tadi. Bisa-bisanya aku cuma diam aja dibuli kayak tadi. Mana Adia yang biasanya gagah dan pemberani, hah?! Harusnya tadi kupukul mereka semua terus kujambak dan jedukin kepala mereka ke mading. Gak peduli pake cara anarkis sekalian. Entahlah, kenapa tadi aku mendadak bisu? Sekarang kan aku jadinya menyesal dan kepengen mencak-mencak.

"Duh, panas banget, sih. Pak Kompol sama Pak Randy mana sih belum dateng-dateng," keluh Faza sambil mengelap keringat.

Oh iya, sekarang kami berlima berada di markas alias rumah setengah jadi milik Pak Randy. Dimana rumah ini masih dalam bentuk bangunan kotak yang belum diberi genteng. Cuma ada satu ruangan yang layak huni, namun masih terkunci. Karena kedua bapak itu masih ngaret, alhasil kami berlima nunggu di depan ruangan itu dibawah matahari yang lagi panas-panasnya ditemani dengan rumput liar dan nyamuk.

Beruntung banget moodku lagi gak enak, jadi aku gak ngeluh sama yang beginian. Mereka saja membiarkanku menyendiri untuk menenangkan pikiran. Aku belum berterimakasih dan meminta maaf ke mereka. Soalnya gara-gara menolongku, mereka kena lemparan telur. Meskipun gak sebanyak aku sih. Kayaknya dalam beberapa hari aku gak bakal makan telur. Sumpah, aku jadi keingat tadi. Bau amis, kuning berlendir dari ujung rambut sampai ujung kaki. Untung saja kami dapat pakaian ganti dari ruang BK.

"Haidar," ujarku mendekati mereka.

"Kenapa, Bos?"

"Gue mau lo cek cctv sekolah, lihat siapa yang ngelemparin gue telur tadi. Gue mau bikin perhitung—"

"Gak usah," potong seseorang.

"Pak Randy! Lama banget sih, Pak. Kita nunggu satu jam sambil kepanasan kayak gini." Faza mengeluarkan keluh kesahnya.

"Satu jam? Sekolah baru bel 30 menit yang lalu, kalian bolos?" ujar Pak Randy sambil memutar kunci.

"Eh, enggak, Pak." Faza menggeleng.

"Saya gak percaya."

"Pak—"

"Kami gak bolos, Pak. Mereka aja yang suka hiperbola," sahut Sita.

"Oke, saya percaya."

"Dih, pilih kasih!" Faza memberengut yang dibalas kekehan oleh Pak Randy seraya membuka pintu lebih lebar.

"Maksud Bapak apa saya gak boleh bikin perhitungan sama anak-anak tadi? Saya habis dilemparin telur mentah loh Pak, bukan dilemparin duit. Jelas gak terima, dong," ucapku kembali ke topik awal setelah kami semua duduk.

"Sudah diurus sama Nano, dia udah bawa ke BK dan sudah saya hukum. Makanya saya kesininya telat."

"EHEM, cieee..."

"Dapat perhatian dari ayang, eh apa udah mantan ya?"

"Berisik," ujarku sambil bombastic side eyes.

"Jadi kamu gak bikin huru-hara lagi ya? Saya sudah hukum mereka setimpal, kok."

"Mereka siapa aja, Pak?" tanyaku yang masih belum lega kalo belum tau siapa pelakunya.

"Lima anak kelas 10."

"Lima anak?? Pantesan tadi kayak hujan telur," decakku sebal.

"Terus motifnya apa, Pak?"

"Mereka gak suka sama kamu. Katanya mereka sebal karena kamu udah jahilin saat MOS. Mereka juga yang bikin artikel di mading itu."

"Dih, akal-akalan mereka aja tuh, Pak. Lagian MOS udah lama, kenapa dipermasalahin sekarang?!"

"Besok mereka bakal minta maaf ke kamu. Bisa tuh kamu nanya-nanya, tapi ingat gak ada keributan!"

Aku menghela napas. Aku yakin pasti ada alasan lain.

"Sudah kumpul semua?" Sapaan seseorang menginterupsi kami.

"Aman," sahut Pak Randy.

"Bagus." Orang itu tak lain adalah Kompol Mahendra juga orang yang menyuruh kami berkumpul di sini. Beliau duduk di sebelah Pak Randy setelah meletakkan sekantung kresek berisi cola dan snack.

"Bagaimana perkembangan kasusnya, Pak Kompol?" tanya Sita setelah menegak colanya.

"Aman tanpa kendala. Pelakunya Anton, orang bengkel yang kalian temui kemarin. Dia mengakui sudah menusuk dan karyawan pajak. Sekarang kasusnya sudah dibawa ke pengadilan. Jika sudah selesai kasusnya bakal ditutup."

"Motifnya apa, Pak Kompol?" 

"Gak ada motifnya."

"Maksudnya?"

"Mayyygaaat, jangan-jangan psyco?"

Kompol Mahendra mengangguk. "Makanya targetnya random."

Kami saling pandang, tidak habis pikir. Ternyata yang kami hadapi di bengkel tempo hari itu seorang psikopat. Untung saja tidak terjadi hal yang fatal dan pelaku segera dibekuk. Kayaknya aku harus bersiap jika harus menghadapi psikopat seperti ini.

"Berarti tugas kami sudah selesai, Pak Kompol?" tanya Sita.

Kompol Mahendra mengangguk. "Iya, maka dari itu saya mau mengucapkan terima kasih atas kerja keras kalian. Hari ini saya traktir jajan kalian." Beliau menunjuk kresek hitam tadi dengan dagunya.

"Waah, makasih, Pol. Kayaknya enak kalo traktirannya mahal—arrghh." Aku mendesis saat tiba-tiba perutku disodok sikunya Sita.

"Tapi sayang saya gak mau terjebak siasat kalian," ejek Kompol Mahendra.

"Dih, Si Kompol."

"Yaudah kamu gak usah makan."

"Sudah-sudah, kita makan aja ini. Ayo chers buat keberhasilan kita." Pak Randy menengahi.

Aku mendengus. Mau tak mau aku mengikuti perintah Pak Randy bersama yang lain. Kami tertawa. Siang ini akhirnya kami bisa melepaskan beban pikiran dan melanjutkan hari esok yang lebih ringan.

HATERS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang