9. Curhatan yang tidak di dengar

63.5K 4.7K 36
                                    

SENYUM di bibir Azura tidak pernah sebahagia itu. Tidak ada kebohongan, tidak ada senyum palsu yang sering dia tampilkan pada semua orang. Hanya ada senyum bahagia, dan hal itu mampu membuat Damian menerbitkan untasan kurva di bibirnya.

“Makasi, Kakek” Azura berseru girang seraya memeluk Damian, hal yang dia inginkan benar-benar di penuhi. Tidak terhitung 30 menit, motor yang dia inginkan sudah terparkir rapi.

Damian membalas pelukan Azura dengan sayang, mengusap surai sang cucu yang amat dia sayangi “Apapun untuk mu tuan putri” ujar Damian membuat Azura terkekeh kecil dalam pelukannya.

“Sekarang, kita ke rumah Bunda, ya” Azura mengangguk kecil, melerai pelukannya pada Damian.

“Zura pake motor, ya, Kek?” pinta Azura yang tentu saja di angguki Damian. Entah sudah berapa banyak rasa bahagia yang Azura dapatkan hari ini. Kembali mengendarai motor adalah keinginannya sejak lama, tapi karena Satya melarangnya, Azura akhirnya menelan mentah-mentah keinginan itu.

Tapi hari ini, semua keinginannya terkabul, dan itu semua berkat kakeknya, Damian.

Azura menatap puas motor itu, dengan perasaan bahagia yang nyaris memuncak, dia segera mencoba menyalakan motor tersebut. Bahkan, karyawan-karyawan kakeknya yang ada di perusahaan terjolak kaget saat mendengar suara deruman motor Azura. Damian hanya bisa menggeleng kepala, namun raut bahagianya semakin terlihat jelas, saat melihat Azura tersenyum bahagia.

Damian sangat menyukai senyum dari cucunya itu. Dan dia harap, senyum itu akan selalu bertahan selamanya.

*

Gundukan tanah itu adalah satu-satunya yang Azura tatap sejak 2 menit lalu. Gadis itu hanya diam, tidak melakukan apapun, bahkan tidak bergerak sama sekali untuk membersihkan makam sang ibu yang di jatuhi oleh beberapa helai daun kering. Azura hanya menatapnya, tidak ada air mata, tidak ada raut sedih. Azura hanya berdiri, menatap dengan kosong.

“Azura, Kakek beli bunga dulu, kamu tunggu sebentar” dan bahkan saat Damian mengajaknya berbicara, Azura tidak merespon sama sekali. Dia hanya diam, tanpa menatap sang kakek yang sudah berlalu pergi.

“B-bunda” dan di saat itu juga, air mata Azura akhirnya meluruh. Rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan kini terlihat jelas. Azura menjatuhkan dirinya di samping makam ibunya, menatap batu nisan itu dengan rasa sesak yang menyergap seluruh hatinya.

“Bunda, ini Zura”

“Maafin Zura, Bunda. Zura gak pernah main ke sini” ujar gadis itu seraya membersihkan makam ibunya. “Bunda apa kabar? Bunda baik, kan? Bunda pasti udah bahagia di sana”

Azura mengelus batu nisan itu dengan lembut “Zura mau cerita, Bunda” Azura mengulas senyum tipis, mencoba untuk terlihat baik-baik saja meskipun pada akhirnya ia akan luruh.

“Zura waktu itu mimpi, Bun. Zura mimpi kalau Zura bakal di penjara trus di bunuh” Azura tertawa kecil, namun pedih.

“Di mimpi itu Zura lihat kalau Ayah coba buat bunuh Zura”

“Terus Kak Zafran sama Kak Zaid, mereka mutusin hubungan sama Zura. Sakit, Bun.” Azura menunduk, air matanya perlahan meluruh sebagaimana rasa sakitnya.

“Zura di bunuh sama Kak Zain. Zura tau itu cuman mimpi, tapi kenapa rasanya nyata banget, Bun. Zura bahkan ngerasa kalau apa yang terjadi di mimpi itu, kenyataan. Kenyataan kalau Ayah, Kak Zafran, Kak Zaid, sama Kak Zain emang pengen Zura mati”

Perubahan Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang