17. Aku yang tidak bahagia.

51.7K 3.6K 60
                                    

AZURA memandangi pintu kamar kakeknya dengan senyum sendu. Perlahan, tangan mungilnya mulai memutar knop pintu.

“Apa kamu tahu sayang, putri mu Azura benar-benar merasakan kebahagiaan di sana. Dia di perlakuan seperti putri seperti apa yang kamu inginkan dulu. Papa sangat bahagia, ternyata Satya menepati janjinya untuk merawat Azura dengan baik”

“Kalau saja Azura hidup tersiksa di sana, Papa tidak akan pernah memaafkan diri sendiri. Tapi sekarang Papa sudah merasa tenang karena bisa memenuhi janji sama kamu”

Perkataan itu terdengar sakit bagi Azura, gadis yang berdiri di ambang pintu itu menatap Damian dengan air mata yang kembali meluruh. Langkah kaki yang tadinya ingin ia patri untuk mendekat, langsung terhenti begitu saja. Perasaan sesak kembali menghantam ulu hatinya, rasa sakit itu kembali datang.

Azura menggeleng pelan, tidak!! Ia tidak bahagia, Zura tidak bahagia dia sana, ia tidak pernah bahagia hidup bersama dengan keluarganya. Rasanya Azura ingin berkata dengan keras, mengatakan pada kakeknya kalau dia tidak hidup bahagia dia sana. Dia ingin mengatakan itu, tapi ia tidak bisa.

Azura menatap tubuh tegap kakeknya dengan tatapan sendu. Lalu dengan perlahan, kakinya berjalan mundur hingga meninggalkan kamar sang kakek. Gadis itu menghapus air matanya dengan kasar, dia segera turun ke lantai bawah. Depakan kakinya tergesa-gesa, rasa sakit semakin terasa saat mengingat perkataan kakeknya.

“Azura hidup dengan bahagia”

Tidak! Ia tidak bahagia!

Tubuh Azura langsung merosot di balik pintu kamar ibunya. Perasaan sakit benar-benar menyiksa Azura, gadis itu menahan isakkan tangisnya, dia tidak ingin ada siapapun yang mendengar tangisannya di rumah ini. Tidak siapapun!

“Bunda” isakkan yang penuh kesakitan itu berhasil keluar dari bibir Azura. Rasa sesak kini semakin menguasainya ketika mengingat perkataan Damian.

Hidup bahagia!!

Air mata Azura meluruh tanpa henti, bahagia tidak pernah terlihat dalam takdir hidupnya. Bahagia seolah menjadi hal yang sangat tidak mungkin dia dapatkan dalam keluarganya.

“Zura gak bahagia, Kek, Azura di siksa di sana, Ayah gak pernah perlakuin Zura dengan baik, sama sekali gak pernah”

“Ayah jahat, Kakek” adu gadis itu pilu.

“Bunda”

“Bunda, Kak Zain jahat” Azura menatap foto sang ibu yang terpanjang di dinding kamar, rasa sakit semakin menghantam perasaannya, seolah tak ada habisnya untuk hari ini. Bayangan kejadian yang menimpanya seolah terlintas di sisi kepala. Kejadian itu, benar-benar tidak bisa dia lupakan sama sekali.

“Zura kemarin ulang tahun, Bun, ini pertama kalinya Zura ngerayain ulang tahun”

“Tapi Kak Zain ngasih hadiah yang gak akan bisa Zura lupain”

“Kenapa Bun? Kenapa hidup Zura berantakan. Kenapa hadiah ulang tahun Zura harus kayak gini?”

“Kenapa Kak Zain harus jual Zura?”

“Sakit Bunda”

Hari itu, Azura hancur. Dunianya hancur karena kakaknya sendiri.

*

Azura, gadis itu telah terbiasa menyelesaikan masalah tanpa bantuan siapapun. Dia telah belajar untuk melawan kejamnya dunia sedari kecil, bahkan tanpa uluran tangan siapapun.

Dia selalu meyakinkan diri bahwa dia bisa melewati semuanya, dia bisa melawan semuanya. Itulah mengapa dia tidak pernah meminta bantuan siapapun, bahkan kepada kakeknya sendiri.

Azura tidak ingin merepotkan mereka. Tapi jika untuk kedepannya, sia sudah tak bisa melawan semuanya. Maka dia akan meminta bantuan pada kakeknya.

Rasa sakit itu terlampau banyak, luka yang telah dia rasakan sudah tidak bisa di sembuhkan bahkan jika keluarganya meminta maaf. Dan mungkin, rasa sakit itu tidak akan pernah lagi dia rasakan jika benar-benar menjauh dari kehidupan mereka.

Azura ingin mengikhlaskan semua rasa sakit yang pernah dia rasakan, mencoba untuk berdamai dengan kehidupannya yang penuh luka, tapi sisi lain dirinya, ingin menuntaskan pembalasan yang amat besar pada mereka yang telah memberi luka dalam hidupnya.

Azura menghela napas, gadis itu menatap kotak yang dia ambil dari kamar ibunya dengan lamat. Kotak itu berukuran sedang, dia rasa tidak ada yang menarik di dalam kotak ini kecuali namanya yang tertulis jelas di atas kotak tersebut. Tapi satu hal yang paling membuat Azura penasaran adalah bentuk dari lubang kunci kotak ini entah kenapa tidak asing.

“Bentuknya kayak lio─”

“Azura”

Suara itu seketika mengalihkan pandangan Azura, dia dengan cepat menyembunyikan kotak tersebut ke dalam selimut dan langsung bergerak untuk membuka pintu kamar. Di depan sana, ada Mentari yang menatapnya kagum.

“Astaga, keponakan Mami cantik sekali” puji Mentari, terlihat sekali wanita itu terpukau dengan kecantikan Azura yang benar-benar mengingatkannya pada sosok Cahaya. Dress selutut yang Azura kenakan terlihat sangat cocok, ia merasa seolah sedang melihat kakaknya saat masih remaja.

“Mami juga cantik” puji Azura balik, senyum kikuk tertampang di bibirnya saat di puji demikian.

“Tapi masih cantikkan kamu, Mami rasanya ngeliat Bunda kamu pasti masih remaja, cantik sekali” pujian itu masih berlanjut, dan yang Azura lakukan hanya tersenyum tipis. Baru kali ini ada yang memujinya cantik, bahkan di miripkan dengan sosok mendiang ibunya. Azura merasa bahagia, sungguh.

Senyum di bibir Azura tidak pernah luntur, bahkan sampai dia dan Mentari mematri langkah untuk turun ke lantai bawah. Pujian Mentari seolah tak ada habisnya.

Azura benar-benar bahagia mendengar pujian itu, bukan karena di katakan cantik, tapi di miripkan dengan seseorang yang amat dia sayangi adalah hal yang paling membahagiakan. Selama bertahun-tahun, keluarganya selalu benci saat melihat wajahnya, bahkan mereka tidak sudi untuk menatapnya berlama-lama, hanya karena wajahnya yang nyaris sama dengan mendiang sang ibu, Cahaya.

*

“Kakek ke kantor dulu. Nanti kalau Zura butuh sesuatu langsung minta saja sama Jinan, hari ini dia tidak akan keluar rumah”

Azura hanya mengangguk pelan saat mendengar penuturan sang kakek, gadis itu dengan segera menyalin tangan Damian yang di balas kecupan lembut di dahinya. Lambaian tangan ia berikan pada Mentari dan Aditya yang juga memiliki urusan di luar rumah.

“Azura, ayo masuk” Azura yang tadinya menatap kepergian sang kakek, langsung menoleh saat Jinandra mengajaknya untuk kembali masuk ke dalam rumah. Gadis itu mengangguk, lalu segera mematri langkah masuk.

“Bang, jadi ngumpul?” tanya Vino setelah mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Laki-laki itu mengambil bungkusan makanan ringan yang sempat dia buka sesudah sarapan tadi.

Jinandra yang di tanyai hanya bisa mengangguk. Hari ini, dia dan teman-teman nya yang lain berniat untuk berkumpul.

“Tapi lo udah bilang sama si Nam, kan? Buat bawa martabak?” tanya Vino memastikan. Laki-laki penggila martabak ini tidak akan segan-segan mengusir teman-temannya kalau mereka tidak membawa martabak untuknya.

“Bawa, kalau gak lupa” sahur Deril yang sedari tadi menikmati keripik bersama Jungfran.

“ASALAMUALAIKUM WAHAI BESTIE” suara itu kelewat kencang, terasa menggelar saat si pemilik suara menginjak ruang tamu.

Seorang laki-laki, dengan empat bungkus martabak di kedua tangannya. Azura hanya menatap laki-laki itu sekilas, lalu kemudian melanjutkan kegiatannya yang sedari tadi membaca novel milik ibunya. Itu mungkin adalah tamu yang dimaksud oleh Jinandra tadi.

“Habi yang ganteng paripurna ini datang lagi” itu terdengar narsis.

“Masih gantengan gue” tapi sahutan Taervino yang satu itu lebih narsis lagi. Azura hanya menggeleng kepala, tingkat kepedean sepupunya itu benar-benar sudah tidak terlolong. Azura akui saja, Vino memang memiliki wajah yang tampan, tapi Azura tidak tertarik sama sekali untuk mengakui hal itu.

“Nih, Vin, pesanan lo. Martabak coklat keju” laki-laki itu meletakkan martabak di atas meja, di susul dengan kotak martabak yang di bawa oleh laki-laki lain. Sepertinya, tamu sepupunya tidak hanya satu orang saja, melainkan 3 orang.

“Zura, ini teman-teman Abang” ujar Jinandra memberitahu. Azura hanya mengangguk, tanpa merespon lebih.

“Yang ini namanya Habi” Jinandra memperkenalkan laki-laki yang sempat berteriak kencang tadi pada Azura, dan gadis itu hanya tersenyum tipis saat Habi menyapanya dengan lambaian tangan kecil.

“Trus itu namanya Nam” lalu kemudian, laki-laki dengan pipi tirus itu di perkenalkan lagi pada Azura.

“Dan yang itu namanya Gala” tunjuk Jinandra pada laki-laki yang baru saja mendudukkan dirinya di samping Deril.

“Siapa?” Tanya Nam seraya menunjuk Azura singkat.

“Adik sepupu gue. Namanya Azura. Anak dari Alm. Bunda Cahaya” tutur Jinan membuat Nam mengangguk paham.

“Woy, Vin, sisain anjir, lo makan martabak rakus banget” Habi, laki-laki itu bergerak cepat merebut 2 kotak martabak yang Vino ambil dengan entengnya tanpa memikirkan mereka yang belum makan sama sekali.

“Jangan rakus lo, ini belinya pake uang si Gala”

“Aelah, cuman dikit, pelit banget. Ntar gue ganti dah, tuh, uang si Gala” Vino terlihat tidak terima saat kotak martabak itu di ambil dengan paksa.

“Kalau makan biasain bagi-bagi, manusia bukan cuman lo doang” Gala, laki-laki itu langsung menyahut, ia menatap Vino dengan malas, rakus sekali sahabatnya itu.

“Zur, lo gak makan?” tanya Nam, menatap Azura yang sedari tadi diam menyaksikan pertengkaran kecil Habi dan Vino.

Azura menatap martabak di depannya dengan tatapan lamat, martabak coklat keju di depannya saat ini entah kenapa langsung mengingatkannya pada laki-laki yang pernah menolongnya.

Arhezi, laki-laki itu benar-benar Azura harapkan agar bisa kembali bertemu.

Perubahan Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang