13. Taman dan gelang hitam

55K 4.3K 89
                                    

AZURA tidak pernah tau, sejak kapan tempat ini menjadi tempat yang selalu ingin dia datangi. Gadis itu menatap sekeliling, tempat ini masih sama, sepi, tenang, dan sunyi. Tak ada suara di sini, tak ada apapun yang bisa membuat Azura tidak nyaman. Segala sesuatu di tempat ini entah kenapa selalu bisa menenangkan pikiran Azura yang kacau karena kejadian hari ini.

Gadis itu mematri langkahnya, berjalan menyusuri taman belakang sekolah yang masih bertahan dengan hawa tak menyenangkan. Langkah kakinya terhenti tepat di depan sebuah pohon beringin, pohon besar yang menjulang tinggi itu ia tatap dengan lamat. Ada sesuatu yang menjanggal di dasar dadanya, tapi Azura tidak tahu perasaan apa itu. Gadis itu menghela napas pelan, mungkin itu hanya perasaan sesaat saja.

Azura akhirnya memilih untuk berbalik, namun langkah kaki gadis itu terhenti bahkan sebelum mengambil satu langkah ke depan. Ia buru-buru berbalik, ada sesuatu yang berhasil menarik perhatiannya. Azura dengan cepat mendekat ke batang pohon beringin, berjongkok untuk mengambil sesuatu yang tersemat di akar pohon. Azura perlu sedikit usaha yang cukup, agar bisa meraih benda tersebut.

Kening Azura mengerut saat melihat benda tersebut, sebuah gelang hitam. Tapi entah kenapa gelang ini terasa tidak asing di ingatannya. Gelang ini, terasa familiar.

Azura menatap gelang itu sebentar, sebelum akhirnya menatap penuh pada pohon beringin yang menjulang tinggi di depannya, pohon ini adalah tempat di mana salah satu siswa di SMA ini mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Azura menggenggam gelang hitam itu dengan kuat, perasaan sesak semakin menyergap seluruh tubuhnya, lebih sakit daripada sebelumnya.

*

Pikiran Azura masih berkecamuk bahkan saat gadis itu pergi dari taman belakang sekolah. Manik hitamnya menatap gelang hitam itu dengan perasaan kalut. Dia seperti mengenal gelang ini.

Langkah kaki Azura terhenti, pikiran gadis itu semakin berkecamuk di satu sisi, ingatan-ingatan kecil dia coba gali sebisa mungkin. Gelang ini tidak asing, dan Azura pernah melihat gelang ini.

Tapi di mana?

Kening Azura semakin mengerut, mencoba untuk mengingat segala hal yang bersangkutan dengan gelang hitam ini. Mencoba mengingat segala ingatan yang terasa tak asing.

“Anara?”

Untuk satu alasan tertentu, entah kenapa pikiran Azura langsung tertuju pada gadis itu. Anara, sosok perempuan yang menjadi sahabatnya, namun sejak 2 tahun lalu, dia sudah tidak pernah mendengar kabar dari gadis itu. Anara pergi tanpa memberi kabar apapun padanya. Bahkan hingga hari ini, Azura tidak pernah tau dimana sahabat satu-satunya itu berada.

Azura buru-buru merogoh handphone-nya, membuka album foto dengan cepat dan mencari fotonya dengan Anara saat keduanya menjalin hubungan persahabatan. Jemari Azura berhenti menggulir layar handphone, manik hitam gadis itu tertuju tepat pada gelang yang dia dan Anara kenakan saat itu.

Azura menatap gelang hitam di tangannya dengan perasaan kalut. Benar, gelang ini sama persis dengan gelang yang Anara kenakan. Tapi kenapa bisa ada di tempat itu?.

Gelang ini adalah pemberiannya, sebagai tanda bahwa ia dan Anara telah menjalin hubungan persahabatan. Azura bahkan masih ingat jelas, perkataan Anara yang tidak akan pernah melepas gelang hitam ini.

“Anara, ini gelang kamu, tapi kenapa bisa di tempat itu, Nar?” tanya Azura lirih, perasaan sesak secara tiba-tiba kembali menghantam ulu hatinya, mengantarkan rasa sakit yang mampu membuat Azura mengepalkan tangan.

“Kamu di mana Anara?” lirih gadis itu seiring dengan air matanya yang berhasil lolos.

*

Bunyi bell pulang telah berdering sejak 10 menit yang lalu, tapi Azura sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu masih diam, menatap gelang hitam di mejanya dengan tatapan rumit. Untuk saat ini, pikirannya masih di bayangi oleh banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gelang hitam itu. Dentingan jam seolah menemani Azura yang tinggal seorang diri di dalam kelas, ia benar-benar tak ada niatan untuk mematri langkah pulang.

Ting!

Azura melirik sekilas pada benda pipihnya yang berada di samping gelang hitam itu. Dia mungkin tidak akan bergerak meraih handphone-nya kalau tidak melihat sebuah pesan masuk dari Jayden. Kening Azura mengerut, tanpa berlama-lama lagi, dia dengan cepat melihat pesan tersebut.

Jayden.

Maaf perginya gak pamit. Nenek lagi sakit, jadi aku sama Bunda harus ke Singapura sekarang. Maaf banget, yaaa

Btw, jangan kangen. Soalnya aku orang nya ngangenin.

Kalau ada apa-apa, chat aja. Bakal langsung di balas pokoknya.

Bye cantik.

Senyum tipis di bibir Azura perlahan terbentuk. Selama mengenal Jayden, laki-laki itu selalu menyempatkan diri untuk memberinya kabar. Azura merasa cukup beruntung karna bisa mengenal laki-laki baik seperti Jayden, laki-laki yang selalu ada di saat dia membutuhkan bantuan.

Azura dengan cepat menggerakkan jemarinya, mengetikkan balasan singkat untuk laki-laki itu.

“Semoga nenek lo cepat sembuh”

Azura menghela napas panjang, gadis itu melihat jam yang terpajang di dinding kelas, pukul 03.15. Dia dengan segera meraih tasnya, mengambil gelang hitam di atas meja dan langsung mematri langkah keluar dari kelas.

Sekolah sudah benar-benar sepi, hanya ada satpam sekolah yang sepertinya baru selesai makan siang, terlihat dari laki-laki bertopi hitam itu sedang membuang kotak makanan ke tong sampah.

Untuk sesaat, pikiran Azura terlepas dari gelang hitam itu. Langkah kaki yang tadinya tergesa-gesa, seketika terhenti saat pendengarannya menangkap suara pertengkaran tak jauh dari posisinya sekarang. Alis Azura bertaut, suara itu sepertinya tidak asing. Azura dengan segera kembali mematri langkahnya, suara pertengkaran yang tadinya terdengar samar-samar di telinga, kini mulai terdengar jelas saat gadis itu berhenti di depan kelas 12 MIPA 3.

Ia rasa, tidak perlu repot-repot untuk mengintip dari balik pintu, karna suara itu sudah sangat dia kenali. Suara Kiara dan Albara terdengar jelas menubruk pendengarannya.

“Kak Albara seharusnya gak nuduh Kak Zura. Apalagi tadi kakak nampar dia”

Alis Azura spontan terangkat naik, namanya terdengar jelas di sebutkan oleh Kiara. Ia rasa, Kiara dan Albara sedang meributkan masalah di kantin siang tadi.

“Kamu bisa stop gak, sih, bahas dia, aku muak dengar nama dia”

“Kak? Seharusnya kakak minta maaf sama dia, kakak udah nampar di kantin─”

“TRUS KENAPA?!”

“KENAPA KALO AKU NAMPAR DIA, HAH?!”

“Kak, kakak itu cowok. Aku tau kakak benci sama dia, tapi gak harus segitunya. Jangan nyalahin Kak Zura atas semua yang terjadi sama aku hari ini. Kakak kira pantas cowok nampar cewek di depan banyak orang kayak tadi?”

“Kakak bisa dewasa dikit gak, sih?”

“Azura pantas dapat semua itu. Dia udah nyakitin kamu, Kiara. Dia selalu ganggu kehidupan aku, dan kehadiran dia cuman jadi parasit tau, gak!”

Kepalan tangan Azura perlahan terbentuk saat perkataan itu menerobos pendengarannya, mengantarkan rasa sesak yang kembali bermain di ulu hatinya. Perkataan itu masih sama, masih sama seperti apa yang Albara katakan sejak dia mengejar laki-laki itu. 'Dia hanya parasit'. Dan perkataan itu tidak akan bisa berubah sampai kapanpun. Di mata Albara, kehadirannya hanya sebagai pengganggu, tidak lebih.

“Tapi kakak gak seharusnya segitunya sama Kak Zura!!”

“Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu bela dia sampai segininya?”

“Karna aku punya hati nurani, gak kayak kamu yang selalu kasar!”

“Cewek kayak dia emang pantas di kasarin”

Entah kenapa Azura muak mendengar segala perkataan sakit itu. Ia muak ketika mendengar segala hal tentang dirinya terlihat buruk dalam hidup Albara, muak ketika kehadirannya selalu di sebut sebagai parasit dalam kehidupan seseorang. Dan mungkin karna itu, Azura dengan kasar membuka pintu coklat tersebut, membuat Kiara dan Albara spontan menoleh.

“Gak usah kaget gitu, gue dari tadi ada di sini” ujar Azura sembari menyandarkan dirinya di samping pintu. Gadis itu menatap Albara dan Kiara secara bergantian, sebelum akhirnya menghela napas panjang.

“Ngapain bahas gue?” tanya Azura menatap Kiara.

“Kak Zura? Maaf, Kak, aku─”

“Gue gak butuh maaf, ngapain lo berdua bahas gue? Gak ada pembahasan lain?”

“Maaf, Kak” lirih Kiara seraya menunduk, membuat Azura berdecak malas.

“Di bilangin gue gak butuh maaf, malah minta maaf” dengus Azura seraya memperbaiki posisi tasnya. Gadis itu menegakkan tubuh, menatap Kiara yang masih menundukkan kepala dengan helaan napas.

“Mending lo pulang, udah sore. Kasian ntar orang rumah nyari lo. Dan satu hal lagi, gak usah bawa-bawa nama gue” ujar Azura sebelum akhirnya berbalik, namun, pergerakan kakinya tiba-tiba terhenti. Gadis itu kembali berbalik, menatap Kiara yang langsung menundukkan kepala.

“Kiara, lo gak usah kasian sama gue, mending lo kasian sama diri lo sendiri karna punya cowok yang gak punya hati nurani kayak dia” ucap Azura sinis yang kemudian melanjutkan langkahnya.

Perubahan Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang