5. Tenggara Abizhar

70.6K 5.6K 87
                                    

SUARA ketukan yang berasal dari pintu kamar seketika mengalihkan atensi Azura. Dengan langkah gontai, gadis itu mematri langkah untuk melihat siapa yang mengganggunya di malam hari seperti ini.

"Kenapa?" tanya Azura saat melihat sosok Bi Nia, pembantu di rumahnya itu sedikit menunduk ketika melihat Azura berdiri di depannya.

"Non, di suruh turun sama Tuan Zafran"

Azura menghembuskan napas pelan. Mendengar nama kakak sulungnya, entah kenapa tiba-tiba membuatnya mengingat mimpi itu. Setelah mengangguk kecil, Azura langsung saja mematri langkah dengan perasaan kalut. Jujur saja, jika berhadapan dengan Azafran, ada sesuatu yang selalu Azura rasakan saat menatap manik hitam gelapnya.

Langkah kaki Azura yang memijak satu persatu anak tangga, tanpa sadar menarik atensi dari beberapa orang yang sedang berkumpul di ruang tamu.

Mereka anggota Ageros, Azura mendengus. Gadis itu melirik jam yang terpajang di dinding, berukuran besar dan pasti akan bisa di lihat oleh dua laki-laki yang masih enteng di rumahnya. Pukul 07.30, dan seharusnya Albara dan Kenzo sudah angkat kaki dari rumahnya.

Tapi kedua laki-laki itu masih enteng dan menatapnya tidak henti. Penampilannya yang cukup berbeda, mungkin menarik atensi mereka, bahkan anggota keluarganya. Kaos hitam oversize yang di padukan dengan celana jeans mencapai atas lutut itu, terlihat sangat berbeda dengan penampilan Azura di tiap harinya.

"Ngapain manggil gue?" tanya Azura seraya menatap Azafran, meskipun harus mengumpulkan sedikit keberanian untuk memandang wajah kakak sulungnya itu. Netra hitam gelapnya, entah kenapa selalu bisa mengantarkan rasa sesak dalam diri Azura. Pancaran matanya benar-benar tidak bisa Azura baca.

"Gak punya sopan santun banget sih lo" ujar Kenzo sinis, membuat Azura menatap laki-laki itu. Dia hanya melirik sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap Azafran.

"Gue emang gak punya sopan santun dari lahir. Karna gue gak punya orang tua buat ngajarin hal itu"

Azafran tidak pernah se-terkejut ini, seumur-umur melihat sifat dan sikap Azura, dia tidak pernah tertegun dengan jawaban adiknya itu. Jawaban kali ini, entah kenapa terdengar asing di telinganya.

"Waktunya makan malam" ujar Azafran, mencoba untuk mengesampingkan rasa terkejutnya atas perubahan sang adik yang terlihat berbeda. Meskipun tidak dekat, tapi Azafran kenal betul bagaimana sifat dan sikap adiknya itu.

"Tumben banget? Biasanya gue gak di ajak kalau makan malam"

"Gak usah cari masalah, Azura" sarkas Azafran, menatap Azura dengan datar.

Azura menghela napas kasar, balik menatap Azafran dengan tatapan datarnya "Gue gak cari masalah. Emang benar, kan? Gue gak pernah di ajak kalau makan malam. Lo semua gak pernah mikirin gue. Mau gue udah makan apa enggak, lo semua gak perduli"

"Bukannya lo semua jijik makan semeja sama anak pembawa sial kayak gue? Kenapa tiba-tiba di ajak?" pertanyaan yang di lontarkan Azura, entah kenapa tidak mampu membuat Azafran, Azaid bahkan Azain untuk menjawab sepatah katapun. Ketiganya diam, tidak mengeluarkan jawaban sama sekali.

"Gue gak ikut" putus Azura segera, dan langsung mematri langkahnya menaiki tangga. Dirinya terlalu muak untuk melihat wajah mereka semua.

"Gampang banget lo ngomong gitu. Kita semua udah nahan lapar cuman buat nungguin lo" Azain menyahut dengan ngegas, tapi Azura tidak menghentikan langkah sama sekali.

Perubahan Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang