14. Mereka berbeda

56.4K 4.5K 67
                                    

TERHITUNG, sudah 2 tahun lamanya Azura tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Bangunan yang berdiri megah dengan halaman luas itu tidak pernah Azura datangi lagi sejak dia masuk SMA. Gadis itu menghela napas, mencoba meredam gugup karena hari ini dia akan bertemu dengan keluarga ibunya.

Azura tidak tau, bagaimana suasana di dalam rumah itu, apakah ia akan merasa nyaman dan aman seperti saat pertama kali ia menginjak rumah kakeknya?

Azura dengan segera merogoh handphone-nya, saat benda pipih itu berdering. Satu pesan dari sang kakek, membuat gadis itu dengan cekatan membacanya.

Kamu masuk saja, kakek sudah memberi tahu satpam kalau tuan putri akan datang.

Pesan itu terdengar sedikit lucu, mungkin karna itulah tawa kecil Azura berhasil mengudara. Dia menggeleng kepala, lalu menatap rumah sang kakek sekali lagi, sebelum akhirnya beranjak turun dari motornya dan mematri langkah ke halaman rumah.

Senyum tipis Azura terbitkan di bibirnya, saat seorang satpam menyambut ramah kedatangannya. Perasaan hangat karena bisa mendapat kesan yang baik di rumah sang kakek kini perlahan bercampur dengan perasaan gugup. Azura menghembuskan napas, gadis itu lalu bergerak membuka pintu masuk yang langsung di sambut oleh kehadiran empat laki-laki yang duduk enteng di ruang tamu.

Azura tidak perlu untuk berfikir lebih lama, empat laki-laki dengan umur yang tidak terpaut jauh itu pasti sepupunya. Azura masih berdiam diri di tempatnya, menatap kegiatan yang di lakukan oleh empat laki-laki yang sama sekali belum menyadari kehadirannya di ambang pintu. Perasaan gugup yang sedari tadi menyergap tubuh Azura, perlahan mereda. Mungkin, sebelum suara melengking dari seseorang membuatnya terjolak kaget.

“ASTAGA!! ADA BIDADARI KESASAR!”

Azura spontan menutup sebelah telinganya. Suara yang cukup melengking itu benar-benar membuatnya meringis dalam diam. Suara toa saja akan kalah jika di sandingkan dengan suara laki-laki itu, pikirnya.

“Woy, lo siapa?” belum reda keterkejutan Azura karena teriakan melengking itu, kini dia kembali di hadapkan dengan satu pertanyaan yang seolah tidak bisa dia jawab sama sekali.

Azura menatap empat laki-laki di depannya dengan bibir mengatup gugup, tapi beda halnya dengan ke empat laki-laki itu yang memandangnya penuh curiga, seolah dia adalah maling yang kesiangan.

“Lo maling, ya?!”

Itu bukan tuduhan yang baik.

“Gila lo! Mana ada maling cakep kayak gitu”

“Trus dia ngapain di sini? Atau jangan-jangan dia pacar lo?”

“Apa coba, gue gak kenal sama dia”

“Artinya dia maling, goblok!”

Astaga, rasanya Azura ingin membantah dengan keras. Tapi perasaan gugup seolah mengunci semua organ tubuhnya. Azura masih terpaku di tempat, bahkan saat laki-laki dengan rambut yang di cat gray mendekat.

“Lo ada keperluan di sini?” tanya laki-laki itu ramah.

Azura menggeleng sebagai jawaban, membuat alis laki-laki itu menekuk bingung. “Trus lo ngapain ke sini?”

Azura baru saja ingin menjawab, ketika suara melengking dari seseorang menyela lebih dulu.

“ASTAGFIRULLAH, ARWAH NYA MBAK CAHAYA JADI MUDA LAGI”

*

Azura meringis dalam diam ketika suara melengking itu berdegung di telinganya. Suara itu bahkan lebih besar dari suara laki-laki tadi. Azura mengusap telinganya yang sedikit sakit, teriakan itu benar-benar tidak bisa di anggap hal kecil.

“Mami, suara Mami di kecilin dikit bisa, gak? Suara Mami itu udah kayak toanya Pak Samsudin yang kemarin rusak tau” omel laki-laki dengan wajah babyface. Menatap wanita paruh baya yang dia panggil dengan wajah cemberut.

“Alah, lo juga sama Fran, suara lo udah 11-12 sama suara Mami” sahut salah satu laki-laki yang kemudian menatap sosok Azura yang masih berdiri di ambang pintu.

“Mi, itu siapa? Tamu Mami?” tanya laki-laki dengan rambut yang sebagian di ikal. Mentari, sosok adik dari mendiang ibu Azura itu spontan menoleh ke ambang pintu. Raut terkejut begitu terlihat jelas di wajahnya saat melihat paras Azura yang hampir sama dengan paras kakaknya, Cahaya.

“Eh, bukan. Bukan tamu Mami. Kayaknya dia tamu kakek kamu, deh, soalnya dia bilang bakal ada tamu yang datang” ujar Mentari, masih terlihat bingung saat melihat wajah Azura.

“Kalian ajak dia buat duduk, Mami buatin minum dulu” Mentari, wanita itu dengan segera mematri langkahnya, berniat untuk menjamu tamu ayahnya dengan baik. Saat ini, para pembantu yang bekerja sedang merapikan taman belakang.

“Woy, tamu gak di undang, lo ngapa berdiri mulu, sini duduk” oke, ajakan itu terdengar tidak sopan, tapi Azura juga merasa tak ada alasan untuknya menolak. Gadis itu akhirnya mengangguk, lalu mematri langkahnya mendekat.

“STOP!!” langkah kaki Azura langsung terhenti saat itu juga. Laki-laki berwajah babyface yang sempat berteriak tadi tiba-tiba berdiri di depan nya. “Lo gak boleh duduk, kita gak terima tamu, jadi lo berdiri di sini sampe kakek gue datang”

Kalimat itu entah kenapa terdengar lucu bagi Azura, tapi gadis itu tetap menurut, berdiri dengan perasaan gugup karna di tatap kamar oleh empat laki-laki di depannya.

“Bang, muka dia cantik, tapi matanya serem” bisik laki-laki berwajah babyface itu pada kakak sulungnya. Tapi mungkin itu bukan bisikan. Karena perkataan yang di tutupi oleh embel-embel bisikan itu bahkan bisa Azura dengar dari posisinya saat ini. Manik hitam Azura menatap si laki-laki dengan datar.

Azura cukup yakin, kalau laki-laki berwajah babyface itu adalah yang paling muda di antara tiga laki-laki di sana. Dia Jungfran, lebih tepatnya Jungfran Putra Abraham Zilger. Jika Azura ingat-ingat, umurnya baru menginjak 16 tahun.

Dan kini, tatapan Azura teralih, manik hitamnya menatap sosok laki-laki yang paling Azura ingat di antara yang lainnya. Jinandra Putra Abraham Zilger. Anak pertama yang umur nya sama dengan Azafran, kakaknya.

“Kalau ada lomba mata serem, dia pasti menang, sih dari mbak kunti” laki-laki yang sempat memberinya ajakan kurang sopan itu ikut nimbrung dalam kegiatan bisik-bisik Jungfran dan Jinandra. Taervino, laki-laki itu berujar seraya mencuri-curi pandang pada Azura, takut-takut kalau gadis itu tau bahwa dia telah menjadi bahan gosip ketiganya hari ini.

Jinan yang mendengar aduan kecil dari sang adik, langsung menerbitkan senyum tipis. Ia mulai sedikit membungkukkan badan, lalu berbisik pelan pada Jungfran “Mata dia udah kayak setan”

Candaan dari Jinan langsung membuat Jungfran tertawa kecil, Deril yang melihat hal tersebut langsung beranjak dari duduk nya dan ikut duduk di samping Jungfran. “Ngomongin apaan lo pada?” tanya Deril pelan.

Jayderil Putra Abraham Zilger, anak kedua, umurnya terpaut 2 tahun dengan adiknya, Taervino Putra Abraham Zilger, si playboy yang memiliki banyak pacar di luar sana.

Jungfran mengedikkan dagu nya ke arah Azura, laki-laki itu spontan tersenyum kaku saat bersitatap dengan manik hitam Azura.

“Mata dia serem banget” ucapnya membuat Deril refleks menatap Azura.

Deril buru-buru mengalihkan tatapannya, laki-laki itu menoleh pada Jungfran dengan senyum kikuk “Gak usah bahas dia, ntar orangnya dengar, mampus lo”

Jungfran mencebik, “Emang gue bahas dia, kan, yang gue bahas cuman matanya, bukan dia, lagipula─”

“Ini tamunya kenapa di biarin berdiri, sini duduk” Mentari datang dengan membawa nampan berisi cemilan dan jus, Azura mengangguk, mendudukkan diri di sofa. Gadis itu menelan ludah gugup, Mentari menatapnya lamat, membuat perasaannya tidak menentukan.

“Itu Mami kenapa dalam banget natap, tuh, cewek. Apa Mami lesbi, ya?”

“Goblok lo” Taervino, laki-laki itu spontan meringis sakit saat sebuah pukulan keras mendarat cepat di punggungnya. Laki-laki itu menatap Jinandra dengan raut wajah kesakitan. Pukulan kakaknya itu benar-benar sakit, seolah tidak ada sedikit kasih sayang.

“Sialan lo, Bang. sakit anji*g” maki Taervino, rasa perih yang masih terasa di punggungnya, membuat laki-laki itu hanya mampu membahan sakit.

“Siapa suruh ngomong yang gak-gak, mana ngatain Mami lesbi lagi”

“Hah? Mami lesbi?”

“SIAPA YANG NGATAIN MAMI LESBI, HAH?”

Untuk ke tiga kalinya, pendengaran Azura kembali di tubruk oleh suara melengking Mentari. Gadis itu bahkan belum sempat menutup telinganya saat suara Mentari menggelar di ruang tamu. Wanita paruh baya itu berdiri, menatap ke empat anaknya yang menutup telinga masing-masing dengan wajah galak.

“Siapa tadi yang ngatain Mami lesbi, hah? Kalian ini, kebiasaan ngomongin yang gak-gak tentang Mami. Mami itu ibunya kalian, seenaknya aja ngatain Mami. Mau jadi anak durhaka kalian?”

Jinan, Deril, dan Vino langsung menggeleng, ketiga laki-laki itu menatap Mentari dengan takut-takut. Sial sekali, kenapa Jungfran harus mendengar pertanyaan tak berfaedah Taervino. Entah sejak kapan, menggibahi ibu sendiri sudah menjadi hal yang wajar bagi mereka. Di manapun dan kapan pun itu, pasti ada saja sesuatu yang mereka bahas mengenai Mentari. Terutama Jungfran dan Taervino, keduanya selalu memiliki bahan gosip yang berhubungan dengan ibunya.

Menceritakan bagaimana sifat galak dan pemarah dari Mentari, selalu berhasil membuat mereka tertawa. Mereka tidak durhaka, hanya saja mereka menemukan kebahagiaan yang sama saat menceritakan tentang wanita hebat mereka itu.

Jungfran, laki-laki itu menatap Mentari dengan telinga yang masih di tutupi oleh kedua telapak tangannya. Ibunya masih marah-marah, dan Jungfran tidak ingin mendengarnya, karena ujung-ujungnya pasti ia akan tertawa. Melihat ibunya yang menasihati mereka, selalu bisa membuat Jungfran tertawa, seolah ada sesuatu yang terlihat lucu saat wanita itu marah.

“Jungfran! Kenapa kamu tutup telinga, hah?” tanya Mentari marah. “Kamu gak dengarin apa yang Mami omongin?”

Pertanyaan Mentari tak di sambut oleh jawaban dari Jungfran, laki-laki itu masih kekeh menutup telinganya, ia benar-benar tidak ingin mendengar suara ibunya saat marah. Wanita itu kesal setengah mati, dia dengan segera mematri langkahnya mendekat ke arah Jungfran. Langkah kakinya baru terpatri 4 langkah, ketika Jungfran langsung berlari cepat menghindari amukan ibunya.

“MAMI, TADI BANG VINO NGATAIN MAMI LESBI”

Sumpah demi apapun, tak ada hal yang lebih menakutkan dari tatapan galak ibunya. Vino membelakan mata, laki-laki itu langsung mengambil ancang-ancang untuk kabur.

“TAERVINO, SINI KAMU!! KURANG AJAR YA!! NGATAIN IBU SENDIRI. SINI KAMUU!!” teriakan Mentari terdengar menggelar di ruang tamu, wanita paruh baya itu mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke arah Taervino.

“SINI KAMU, VINO!!” amuk Mentari.

“AMPUN  MAMI, VINO GAK ADA MAKSUD SUMPAH. TADI BANG JINAN SAMA JUNGFRAN GOSIPIN MAMI”

“APAAN, ENGGA YA!!GUE GAK GOSIPIN-AWW MII, AMPUN MI.. Mami sakit”

“Berani kamu gosipin Mami, hah?”

“Engga, Mi. Sumpah tadi Jinan gak ikutan, Mi. Tiba-tiba Jungfran omongin Mami” ujar Jinan dengan ringisan kecil karena mendapat jeweran keras dari ibunya.

“Mi, sakit. Ampun-ampun, sumpah, Mi”

“Masih mau ngatain Mami lagi?” tanya Mentari galak.

Jinan spontan menggeleng cepat, rasa sakit di telinga nya benar-benar tidak bisa ia tahan lebih lama lagi. “Engga, Mi. Engga lagi” ujar laki-laki itu, mengacungkan 2 jarinya.

Mentari dengan kasar melepas jewerannya, menatap anak sulungnya itu dengan galak “Ngapain kalian ngatain Mami, hah?”

“Bukan Jinan, Mi”

“Trus tadi apa? Yang di bilangin sama adek mu tadi. Kalian ngomongin Mami, kalian─”

“Mami bentar, di tunda dulu marahnya, aku kebelet” Mentari belum sempat menyelesaikan ucapannya, ketika Jinan sudah berlari kencang ke lantai atas. Tapi, teriakan dari anak sulungnya itu berhasil membuat kekesalannya kembali naik.

“MAMI, TADI DERIL JUGA IKUTAN NGATAIN MAMI”

F*ck!! Deril yang sedari tadi enteng melihat tiga saudaranya di marahi langsung membelakan matanya. Ia belum sempat mengambil ancang-ancang untuk kabur, ketika Mentari sudah menarik keras lengan bajunya.

“JADI KAMU IKUTAN JUGA NGATAIN MAMI?”

Mampus.

Deril menggeleng cepat, melihat tatapan galak dari ibunya seketika membuat nya ciut tak bernyali. Ia tak pandai mencari alasan, dan mungkin karena itulah dia harus melakukan satu alasan ini.

“Mi, liat. ADA SAPI TERBANG!”

Kesalahan besar, Mentari refleks menatap ke lantai atas. Wanita itu benar-benar tidak tau kalau itu hanya alasan konyol dari anak keduanya.

“MAMI, DERIL BOHONGIN MAMI”

“DERIL!!”

Azura yang melihat pertengkaran itu hanya bisa diam dengan tatapan sendu. Saat ini, sedang terbesit di pikirannya mengenai banyak hal.

Andai saja ibunya masih hidup, pasti ia akan merasakan kehangatan keluarga.

Andai saja ibunya masih hidup, pasti kediaman Andreaz akan ramai dengan banyak suara.

Andai saja ibunya masih hidup, pasti.., pasti ayahnya akan menyayanginya...

Tanpa sadar, setetes air mata mengalir dari kelopak matanya. Azura dengan cepat menghapus kasar bulir bening itu sebelum anggota keluarganya yang lain melihat.

Perlahan tatapannya meredup, seiring dengan kepalanya yang tertunduk dalam.

“Azura” suara khas dari seorang laki-laki membuat Azura langsung menoleh ke belakang. Seuntas senyum tipis berhasil terbit di bibirnya saat melihat sosok Damian.

“Udah lama di sini?” tanya Damian seraya mengusap lembut rambut sangat cucu. Azura menggeleng, sebagai jawaban. Atensi yang tadinya menatap pada sang kakek, kini teralih saat suara Mentari terdengar.

“Eh, Papa udah pulang ternyata, cepat banget, Pa” ujar Mentari yang kemudian bergerak menyalin tangan Damian.

“Papa harus pulang cepat, malam ini kita akan makan malam dengan Azura”

Mentari mendengus kesal “Tapi Azura belum datang, Pa. Udah dari pagi Tari tungguin tapi Azura belum datang juga”

“Belum datang gimana, ini Azura”

Mentari yang mendengar perkataan ayahnya, sontak mengerjab. Ia menatap cengo pada sosok Azura yang memandangnya kikuk.

“I-ini Azura, Azura keponakan tante itu?” tanya Mentari tak percaya. Azura hanya bisa mengangguk. Tak tahu harus merespon apa ketika melihat Mentari terlalu mengeluarkan ekspresi yang berlebihan.

“MASYAALLAH CANTIK NYA KAYAK DEWI APOTED”

Perubahan Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang