AZURA memandangi buku diary-nya yang memperlihatkan rentetan kata-kata yang pernah dia tulis. Azura mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, selepas kejadian kecil antara dia dan Nathan tadi, Azura memilih untuk membolos sekolah.
Menghela napas, Azura akhirnya segera mengemasi barang-barang yang belum sempat dia buang. Azura sudah bertekad, untuk membuang semua hal-hal yang mampu mengingatkannya pada masa-masa kelam dalam hidupnya, terutama kenangan-kenangan buruk saat dia masih kecil.
Azura baru saja meletakkan mainan Kelinci ke dalam kardus, ketika melihat sosok Azaid dan Azain yang berdiri di ambang pintu, menatap dirinya bingung.
Dahi Azain mengerut tipis, rasa penasarannya seakan memuncak ketika Azura meletakkan barang-barang yang tidak asing di ingatannya. “Lo mau bawa kemana semua barang-barang itu?”
“Buang” jawab Azura sekenanya, lalu kembali bergerak untuk menaruh barang-barang yang lain.
“Buang? Bukannya itu mainan yang pernah kita kasih ke lo?”
Azain masih ingat betul semua mainan yang Azura kemasi ke dalam kardus. Mainan-mainan yang nyaris di penuhi oleh lem itu adalah mainan yang dulu pernah Azaid berikan untuk Azura.
Pergerakan Azura terhenti, gadis itu mendongak, menatap Azaid dan Azain bergantian “Gue gak mau nyimpan barang-barang ini lagi, lagipula ini udah jadi sampah. Jadi seharusnya di buang”
“Lo gak bisa buang mainan itu, Zur. Itu mainan yang pernah Zaid kasih ke lo, seharusnya lo simpan mainan itu baik-baik”
Azura meletakkan mainan terakhir dengan kasar, manik hitamnya menatap Azain dengan marah. “Simpan baik-baik?” Azura tersenyum, sinis “Gue masih ingat, kalau kalian ngasih barang-barang ini terpaksa. Bahkan mainan yang kalian kasih ke gue udah rusak. Apa yang mau gue simpan baik-baik, hah?”
“Semua ini udah jadi sampah bagi gue. Jadi gak ada gunanya nyimpan sampah di kamar ini” Azura melangkah, mendekati kedua kakaknya. “Gue muak, gue muak sama semua mainan ini. Semua mainan ini cuman bisa ngingetin gue sama hari itu. Hari di mana gue ngemis mainan di rumah gue sendiri. Ngemis mainan di kakak gue sendiri. Gue muak sama semuanya. Dan gue gak mau nyimpan kenangan kalian lagi”
Azaid menatap Azura rumit. Bohong jika dia sudah melupakan masa itu, bohong jika dia sudah melupakan bagaimana bahagianya Azura saat menerima mainan itu. Dia masih ingat, sangat.
*
Manik hitam Azura tidak pernah luput dari kedua kakaknya. Gadis kecil yang berumur 6 tahun itu memandangi Azaid dan Azain yang sedang bermain. Dia menatap kagum pada mainan-mainan yang nyaris mengelilingi kedua kakaknya itu.
“Mainan kakak banyak sekali” Azura bergumam. Gadis kecil itu akhirnya memilih untuk mendekati kedua kakaknya, berharap bisa bermain bersama.
Dengan langkah kecil, kaki Azura yang di baluti sendal swallow itu mulai terpatri. Senyumnya perlahan merekah saat melihat betapa banyaknya mainan kedua kakaknya.
“Kakak” panggil Azura membuat Azaid dan Azain spontan menoleh. Decakan malas keluar dari bibir Azain, saat melihat sosok Azura ada di sini.
“Zura boleh duduk di sini?”
Azaid mengangguk “Duduk aja, tapi jangan duduk di karpet”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perubahan Sang Antagonis
Ficção AdolescenteAzura, gadis itu tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, mengharapkan kasih sayang dari ayahnya yang membenci kelahirannya. Ada kebencian seorang kakak yang di torehkan dalam hidupnya. Azura menderita, mengharapkan kasih sayang dari orang sek...