Xiao Zhan terbangun dengan napas tersengal. Matanya terbuka lebar menatap langit-langit gelap kamarnya. Mimpi buruk memudar terlalu cepat untuk dia bisa menangkapnya, kecuali detak jantung yang berpacu cepat sebagai penanda hadirnya mimpi tersebut. Berusaha sekuat tenaga menangkap sisa-sisa mimpi buruk yang tertinggal di sela-sela pikirannya yang kacau, Xiao Zhan tidak lupa untuk memarahi dirinya sendiri.
Kenapa dia tidur ketika dia baru saja menghadapi kekacauan tanpa henti, tanpa sedikit pun melakukan penenangan?
Xiao Zhan duduk dan melihat ke jendela, masih gelap. Mungkin tidak kurang dari jam empat pagi. Jam yang terletak di atas nakas di samping tempat tidurnya membenarkan tebakannya itu.
Sudah sekitar jam empat, tidak ada gunanya kembali tidur.
Xiao Zhan mengambil mantelnya yang tergeletak sembarangan di atas lantai sebelum menyelipkan dirinya dalam balutan benda hangat tersebut. Kemudian, dengan kaki telanjang, menginjak lantai yang sedingin potongan es musim dingin dan melangkah keluar dari kamar.
Di ruang tamu, dia menyalakan televisi kemudian duduk meringkuk di atas sofa, matanya terangkat sayu, tidak benar-benar menonton entah apa yang sedang ditayangkan oleh benda kotak dengan orang bergerak di dalamnya itu. Suara-suara rendah yang keluar dari televisi itu juga membuatnya jatuh linglung.
Xiao Zhan merasa kedinginan, kedinginan di ruangan yang tidak besar, tetapi entah bagaimana terasa begitu luas dan kosong.
Sekali lagi dia berpikir, jika dia tidak bisa menghindari mimpi buruk lagi.
Meski tidak mengingat tentang apa itu, Xiao Zhan secara kasar bisa menebak tentang apa itu.
Mayat-mayat, darah menggenang, siksaan yang membakar, dan kematian yang menyakitkan.
Namun, yang lebih menyakitkan, dia kehilangan perasaan untuk mimpi-mimpi atau lebih tepatnya kenangan itu.
Sakit sekali!
Xiao Zhan merintih, merasakan perasaan sakit yang familiar mencengkram dadanya. Menusuknya seperti bilah tumpul dari besi berkarat.
Xiao Zhan kemudian membuka matanya yang dia tidak sadari tertutup sedari tadi. Matanya yang kehilangan fokus, buram, dan perih, menelisik ke sekeliling. Baru pada saat itulah dia sadar jika ada orang lain yang duduk di seberangnya.
Melirik pada orang itu, dia merengut sedih. "Ge, kamu benar-benar keterlaluan. Aku tidak butuh kamu mengawasi tidurku jika hanya berakhir dengan aku bangun dengan mimpi buruk."
Tidak ada tanggapan selain senyuman tipis yang diberikan orang itu. Melihatnya yang justru tersenyum, seolah menertawakan kemalangannya, Xiao Zhan menjadi semakin tidak senang. "Masuk diam-diam seperti ini, duduk dalam kegelapan. Selain aku, siapa yang bisa mentolerirmu? Yang ada, orang lain akan mati ketakutan terlebih dahulu."
"Dasar bawel," ujar orang itu akhirnya. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Kalau tidak di kesempatan seperti ini, kapan lagi kita bisa bertemu?"
"Aku tidak ingin bertemu sekarang."
"Nah, sayangnya kita bertemu sekarang."
Menghela napas sedikit, Xiao Zhan kemudian memutuskan bangkit. Masih banyak yang harus dia lakukan daripada sekedar duduk terpuruk seperti orang menyedihkan yang kehilangan harapan hidup dengan disaksikan oleh Gegenya yang menyebalkan itu.
Orang itu hanya tersenyum geli melihat tingkah Xiao Zhan, tidak berniat menyusul, justru mengalihkan perhatiannya pada televisi di depannya.
.
.
.Tepat selangkah kakinya masuk ke dalam ruangan kelas, Xiao Zhan langsung melihat ke sudut ruangan tempat duduk Wang Yibo. Matanya berkilat ketika mendapati Wang Yibo telah berada di sana. Dengan senyuman kecil, dia menghampiri Wang Yibo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Confidential (YiZhan)
RandomTerkadang, Xiao Zhan tidak membenci Wang Yibo seperti yang dia bayangkan. Terkadang, Xiao Zhan tidak begitu takut dengan pikirannya yang gelap dan cenderung mengerikan. Terkadang, Xiao Zhan adalah definisi tepat dari kontradiksi yang berjalan. Lalu...