Part 29: Berusaha Untuk Percaya

17 2 0
                                    

Shera melihat sosok laki-laki yang sedang duduk di atas motor. Shera bimbang, antara harus menghampiri atau tidak. Tapi dia butuh bicara empat mata dengan kekasihnya. Shera menghela napas dan mengayunkan langkahnya menghampirinya sang pujaan hati.

"Hilmi," panggilnya pelan.

Merasa namanya terpanggil, Hilmi langsung turun dari motornya dan lantas merengkuh tubuh Shera. Diusapnya rambut panjang dan tebal yang membuat Shera terlihat cantik.

"Maafin aku ya, Sayang. Aku selalu bikin kamu cemburu. Aku sadar, aku salah karena masih belum bisa jaga sikap," ucapnya sendu.

"Aku udah maafin kamu kok, Mi. Aku juga salah karena udah marah duluan." Shera melepas pelukannya dan menatap mata indah Hilmi. "Please, forgive me, My Dear."

Hilmi tersenyum penuh arti. "Kita ngobrol sambil makan malam ya."

Shera menganggukkan kepalanya dan menerima helm yang diberikan Hilmi. Cowok yang memiliki senyuman semanis gula itu membawa gadis tercintanya ke sebuah restoran. Tiba di sana, mereka memesan makanan sesuai selera masing-masing.

Sepasang kekasih itu melanjutkan pembicaraan sembari menunggu pesanan makanan. Mereka tak membicarakan tentang hubungan, melainkan bakat yang melekat dalam diri mereka.

"Aku pengen deh bisa pede tampil di depan banyak orang. Jujur aja, aku masih suka tremor kalau ngomong di depan umum. Presentasi juga gitu, pede gak pede," ungkap Shera.

"Ya kalau mau pede, kamu coba aja ngilu sendiri di depan cermin. Atau direkam aja pake HP, nanti keliatan tuh ekspresi wajah kita pas lagi bicara. Terus kalau pas tampil di depan, anggap aja penonton itu gak ada. Kita praktekkan apa yang kita lakukan pas latihan. Yang paling penting sih, kita paham pada apa yang kita sampaikan," jelas Hilmi.

"Ooh, gitu ya. Padahal aku juga sering ya ketemu sama orang banyak. Ngejob di acara-acara besar. Tapi kan bukan tampil di depan hehehe." Shera nyengir kuda.

"Aku juga sebenarnya pengen bisa fotografi yang bagus. Tapi waktu itu aku sering sakit, jadi jarang diasah. Makanya teknik dasar fotografi aja aku lupa," ungkap Hilmi.

"Kamu juga suka fotografi, Mi?" tanya Shera.

"Iya suka, cuma gak terlalu pandai kayak kamu. Cuma iseng-iseng foto pemandangan atau objek yang menurut aku bagus aja," jawab Hilmi.

"Hmm gitu ya. Kamu sadar gak sih kalau kita itu saling melengkapi?"

Hilmi menaikkan satu alisnya.

"Iya, saling melengkapi. Coba kamu pikir deh, aku bisa fotografi tapi gak pede kalau ngomong di depan umum. Terus kamu udah pro dalam hal public speaking, tapi kurang menguasai fotografi. Kita bisa saling mengajarkan loh,"

Hilmi berpikir sejenak. Apa yang dikatakan oleh Shera benar juga. Kenapa selama ini dia tak sadar?

"Kamu bener juga. Mungkin itulah sebabnya kenapa kita dipertemukan." Hilmi tersenyum penuh arti.

"Sepertinya begitu. Takdir kan emang gak bisa ditebak," ucap Shera.

Tak lama kemudian, pesanan mereka pun datang. Keduanya diam sejenak dan menikmati makanan masing-masing. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Shera katakan. Namun dia bingung harus bicara apa. Ini menyangkut hubungan mereka juga.

"Mi, aku boleh ngomong sesuatu?" Shera sedikit ragu untuk mengatakan hal itu.

"Ngomong apa?" Hilmi yang baru saja menghabiskan makanannya kini meneguk minuman miliknya.

"Tentang Bu Hesti ... " Shera menjeda ucapannya.

"Bu Hesti kenapa?"

"Kayaknya dia suka sama kamu,"

"Uhukk! Uhukk!" Hilmi langsung tersedak begitu mendengar perkataan Shera. "Masa sih?"

"Emang kamu gak sadar ya? Sikap dia ke kamu itu -- "

"Emang menurut kamu sikap Bu Hesti itu gimana? Gak ada yang salah kan?" potong Hilmi.

"Ya makanya kamu dengerin aku dulu!" ucap Shera tegas.

"Kamu itu harusnya gak usah cemburu sama Bu Hesti. Dia itu udah nikah. Kalau masalah sama temen-temen cewek itu juga bisa diatur. Aku juga kan butuh interaksi sama mereka. Aku tugas kelompok gak semua anggotanya laki-laki," kata Hilmi panjang lebar.

"Emangnya salah ya kalau aku cemburu, sekalipun sama dosen perempuan yang udah nikah?" Mata Shera kini berkaca-kaca. Kenapa Hilmi masih tak mengerti juga?

"Aku ngerti kamu itu cemburu kalau aku deket sama perempuan lain, termasuk Bu Hesti. Tapi harusnya kamu bisa bedain dong, aku itu hanya membicarakan hal yang memang harus diselesaikan bersama. Aku itu cintanya cuma sama kamu, di hati aku hanya ada nama kamu!" Hilmi berusaha untuk sabar dan meyakinkan Shera.

Shera tak menjawab apa-apa, ia hanya mengeluarkan air mata. Selama ini Shera tak pernah merasa cemburu hingga menangis. Paling Shera hanya kesal jika diabaikan oleh Rifki, karena cowok itu asyik mengobrol dengan teman perempuannya.

Namun setelahnya, Rifki selalu punya cara untuk bisa menenangkan dirinya. Arsen pun dulu begitu, ia paham jika Shera tak suka diabaikan kala dirinya mengobrol dengan orang lain. Tapi Hilmi, sekalipun dia meminta maaf, keesokan harinya dia tetap sama. Mengobrol akrab dengan teman perempuannya juga dosen yang sepertinya menaruh rasa pada Hilmi.

"Sayang, dengerin aku." Hilmi berpindah tempat ke samping Shera. Cowok itu menggenggam tangan Shera, kemudian satu tangannya menyeka air mata yang jatuh di pipi Shera. "Udah jangan nangis. Kamu percaya sama aku, aku itu tulus dan setia sama kamu. Sebanyak apapun perempuan yang ada di sekitarku."

"Kamu buktikan semua ucapan kamu itu, Hilmi," ucap Shera lirih.

"Aku akan buktikan semuanya. Kamu tenang aja ya." Hilmi mengusap kedua pipi Shera dan membelai rambut panjangnya.

Dari kejauhan, seorang wanita tampak memperhatikan sepasang kekasih itu. Sepertinya mustahil baginya untuk mendapatkan hati mahasiswa humoris itu. Rasa yang singgah dihatinya ini benar-benar salah dan tak seharusnya ada.

"Apa karena masalah rumah tangga, aku jadi harus memendam rasa pada seorang mahasiswa? Tapi apa salahnya? Bukankah ketika jatuh cinta itu kita tak akan memandang usia." Hesti bermonolog sendiri dengan mata yang masih memperhatikan Hilmi juga Shera.

Sepasang kekasih itu memang terlihat karena Hesti duduk tak jauh dari tempat mereka. Niatnya ingin menenangkan diri, namun ia malah bertemu dengan Hilmi. Di saat ia membutuhkan motivasi dari cowok itu, ternyata dia sedang menghabiskan waktu bersama kekasihnya.

"Bu Hesti masih berharap sama Hilmi?" Suara berat seorang pria membuat pandangan Hesti teralihkan. Rupanya Adam baru saja tiba di sana.

"Hilmi itu sudah punya pacar dan Bu Hesti juga udah punya suami kan?"

"Bukannya Pak Adam juga suka sama Shera. Saya pernah lihat Pak Adam kasih bunga ke Shera," ucap Hesti.

"Memang benar. Tapi jika yang dipilih Shera itu Hilmi, saya juga bisa apa, Bu." Adam kini duduk di hadapan Hesti. "Sebenarnya kita itu mencintai orang yang salah, Bu. Ralat. Lebih tepatnya waktu kita yang kurang tepat."

"Anda benar, sifat Hilmi itu tak ada di diri suami saya. Dan saat rumah tangga saya sedang bermasalah, Hilmi datang menghibur saya. Mungkin sejak saat itu rasa kagum saya pada Hilmi itu berubah. Karena dulu saya hanya kagum pada Hilmi. Saya suka caranya ketika berbicara di depan umum dan saya juga suka sikap baiknya pada siapapun," papar Hesti.

"Saya juga suka dengan kecerdasan Shera. Sikapnya juga terlihat unik di mata saya. Tapi di sisinya masih ada Rifki yang membuat saya sulit mendekatinya," jelas Adam pula.

"Pak Adam, bagaimana kalau kita kerja sama saja?"

***




Berondong CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang