BAB 15

21 7 37
                                    

Luna membantu Ibunya membersihkan rumah untuk mengisi waktu luangnya. Ibunya membersihkan bufet dan meja dari debu menggunakan kemoceng, sedangkan dirinya menyapu lantai.

Mereka berdua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Namun, Luna menghentikan kegiatannya secara tiba-tiba saat mendengar suara piano dari tetangga sebelahnya.

Ia mendengarkan alunan musik piano tersebut dengan seksama. Luna dapat langsung menebak musik apa yang sedang dimainkan oleh tetangganya itu.

"Canon," gumam Luna dengan suaranya yang lirih. Ia dapat menebak pada bagian awal musik Canon dimainkan.

Luna masih berdiri diam memegang gagang sapu sambil mendengarkan alunan musik Canon yang sudah mulai pada bagian chorus. Ia mengerutkan keningnya saat nada-nada yang dimainkan oleh tetangganya itu kurang tepat.

Yunita menyadari kalau anaknya berhenti menyapu lantai dan dia tau apa alasannya. Tanpa disadari, ia menggenggam kemoceng dengan begitu erat sambil memperhatikan Luna dengan cemas.

Ada rasa khawatir terhadap anaknya, tetapi melihat anaknya yang tersenyum lembut membuat rasa kekhawatirannya hilang dalam sekejap.

Luna tersenyum dan sedikit tertawa ketika mendengar bagian akhir musik Canon yang tetangganya mainkan.

Tetangganya tidak dapat memainkan musik Canon sampai akhir. Hal itu karena bagian akhir musik Canon bernada cepat, ia tidak menguasai bagian akhir tersebut dan berakhir membuat nada frustrasi.

Namun, menurut Luna itu sudah lumayan karena tetangganya mampu memainkan musik Canon sampai pada bagian chorus, walaupun nadanya masih kurang tepat. Luna jadi ingat, dulu ia sangat kesulitan sekali pada bagian tersebut.

"Pasti dia sangat frustasi sekali," ucap Luna yang kembali mulai menyapu lantai dan tanpa sengaja melihat ke wajah sang Ibu.

Ibunya sedang tersenyum sambil memandangi Luna, "Mama?" Yunita langsung menghampiri Luna dan memeluknya dengan begitu erat.

"Mama senang akhirnya kamu tidak takut lagi mendengar alunan musik dari piano, sayang," ujar sang Ibu tanpa melepas pelukannya.

Raut wajah Luna yang merasa bingung langsung berubah menjadi tersenyum sendu. Ia menepuk-nepuk pundak Yunita dengan perlahan.

Luna menghentikan tepukan nya pada punggung sang Ibu, "Sebenarnya ... Luna masih ada rasa takut."

"Sayang, gak ada yang perlu kamu takuti lagi. Papa udah gak seperti dulu yang selalu memaksa kamu untuk jadi yang terbaik dari yang terbaik," Yunita menangkup kedua pipi Luna saat mengatakan hal itu.

"Ikut Mama," Luna buru-buru menyandarkan sapunya pada sofa dan mengikuti sang Ibu ketika tangannya ditarik.

Mereka berdua berhenti tepat di sebuah ruangan yang pintunya masih tertutup. Pintu tersebut sudah lama sekali tidak dibuka, tetapi saat Yunita ingin membuka pintu ruangan, Luna malah menarik tangan Yunita untuk memberi kode melalui tatapan ketika pandangan mereka bertemu.

Luna menggelengkan kepalanya, tanda bahwa ia meminta untuk jangan membuka pintu tersebut. Namun, Ibu nya tetap membuka pintunya.

Ia memejamkan kedua kelopak matanya, "Luna, buka mata kamu." Ibunya melihat Luna yang sedang memejamkan matanya.

"Luna," Dengan perlahan Luna membuka kelopak matanya.

"Kamu lihat di sana," Yunita menunjuk piano yang ditutupi oleh kain putih dengan dagunya.

"Dulu di sana kamu bermain piano dengan begitu cerianya," Yunita mulai mengenang masa kecil Luna, "Jari-jari mungil kamu yang menekan tuts-tuts piano dengan tanpa rasa takut sedikitpun."

Luna memperhatikan sang Ibu yang pandangannya masih menatap lurus ke depan, "Setiap kali kamu berhasil memainkan musik-musik klasik, kamu dengan semangatnya mengajak Mama untuk melihat keberhasilan kamu, Sayang." Sekarang giliran Luna yang fokus memperhatikan piano.

Hanya 1 menit keheningan yang mengisi waktu mereka berdua. Ibunya yang sibuk mengingat masa kecil Luna, sedangkan Luna yang sibuk dengan pikiran dan hatinya.

"Apa ... Luna bisa memainkan piano seperti dulu?" Ia bertanya pada Yunita tanpa menolehkan pandangannya dari piano.

"Tentu, sayang, kamu bisa memainkannya seperti dulu," Luna dan Yunita sama-sama terperanjat saat mengenali suara yang berbicara barusan.

"Pa-papa?" Sang Ayah tersenyum.

"Maafkan Papa atas perbuatan Papa waktu dulu," Ia meminta maaf kepada Luna.

Dulu Luna sudah sangat meminati alat musik piano saat ia baru berumur 7 tahun. Mengetahui hal tersebut, kedua orang tuanya sangat senang dan langsung membelikan piano untuk putri semata wayangnya.

Selain itu, Yunita dan Adi juga mendaftarkan les piano untuk Luna. Saat sudah berhasil menguasai salah satu musik klasik, Luna akan meminta kedua orang tuanya untuk menyaksikan keberhasilannya.

Setiap ingin berangkat sekolah, Luna menyempatkan diri untuk bermain piano, begitupun juga saat pulang sekolah.

Ketika ada lomba Seni di sekolah, Luna pasti akan mengikuti lomba tersebut dan semuanya berhasil juara 1.

Sampai suatu hari di sekolah ada lomba Pentas Seni, dengan semangat Luna mendaftarkan dirinya dalam lomba tersebut. Ia berlatih dan terus berlatih sampai hari itu tiba.

Namun, sayangnya ia kalah dalam perlombaan piano itu. Luna mendapatkan juara ke 2 dan juara pertamanya dimenangkan oleh orang lain.

Adi sangat marah besar kepada Luna saat mengetahui bahwa anaknya itu tidak mendapatkan juara 1.

Ia terus memaksa Luna belajar bermain piano sampai tidak ada satupun yang bisa mengalahkannya dalam lomba.

Namun, suatu hari Luna sudah tidak sanggup lagi menghadapi itu semua, ia menangis sejadi-jadinya. Sudah tidak perduli jika bagaimana nantinya ia akan dimarahi oleh sang Ayah.

Dirinya juga jadi takut untuk bermain piano dan bertemu dengan sang Ayah. Luna takut dengan Adi, ia berubah menjadi sosok yang tidak Luna kenali. Bahkan Luna merasa bahwa ada sosok monster yang tumbuh dalam raga sang Ayah.

Untung saja ada sang Ibu yang selalu bisa membuat hati Luna menjadi tenang. Yunita membawa anaknya ke Psikiater karena selain takut untuk bermain piano dan takut dengan sang Ayah, ia juga takut saat mendengarkan alunan musik piano.

Semakin Luna bertambah umur, ia mulai bisa menghilangkan sedikit rasa ketakutannya. Setiap Adi ada di dalam rumah, Luna tidak pernah mengajak Ayahnya berbicara, bahkan menatapnya saja tidak.

Jadi, itu alasan Luna tidak pernah mau membahas piano. Tidak ada salahnya seorang Ayah ataupun kedua orang tuanya menginginkan anaknya menjadi yang terbaik.

Namun, letak kesalahannya adalah saat ia memaksa anaknya menjadi yang terbaik dengan tindakan kasar sampai anak itu merasa takut.

"Luna, boleh memainkan piano nya sesuka hati dan Ayah tidak akan memaksa Luna lagi," Kedua mata Luna berkaca-kaca saat mendengarkan ucapan Adi.

"Apa omongan Ayah bisa Luna pegang?" tanya Luna sambil menatap kedua bola mata sang Ayah.

"Tentu," jawab Adi dan berakhir Luna memeluk sang Ayah dengan begitu eratnya. Sudah lama ia tidak merasakan pelukan hangat dari Ayahnya.

Yunita senang akhirnya putri semata wayangnya sudah tidak merasakan takut lagi kepada Ayahnya. Ia juga bersyukur akhirnya usahanya selama ini untuk mengobati rasa takut Luna ke Psikiater tidak menjadi sia-sia.

Ia juga sangat senang akhirnya Luna bisa memainkan piano lagi. Dulu ia sangat bersedih karena Luna takut dengan Piano. Padahal hobi Luna adalah bermain piano.

-

-

-

-
TBC
——————_

Halo, gaess, selamat bulan Ramadhan dan selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang melakukannya...

Seperti biasa jangan lupa tinggalkan jejak kalian di komen dan di klik BINTANGNYA🌟
Di sini
👇👇

Diary FannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang