Fabio adalah pemuda yatim piatu. Orang tuanya meninggal karena perampokan yang terjadi saat dirinya berusia 10 tahun.
hidup sendirian, Fabio menjadi pribadi tak banyak bicara. dia juga sekolah sembari bekerja untuk membiayai kehidupannya.
Entah bag...
Setelah perdebatan yang rumit, Akhirnya Darius dan Sergio sampai di rumah sederhana mereka. Bawahan abangnya tidak banyak seperti pada awal abangnya datang. Hanya ada satu di setiap pojok rumah, dan 2 di depan berjaga jaga.
Mereka turun dari mobil setelah di bukakan oleh bodyguard. Bak slow motion, Sergio keluar dengan keren. Itu menurutnya.
Padahal bagi mereka, Sergio terlihat lucu karena pipi tembem yang mengkilat akibat pancaran sinar matahari.
Darius terkekeh melihat adiknya yang menggunakan punggung tangannya untuk menhalau sinar matahari.
Dia menggandeng tangan Sergio lalu berjalan masuk. Namun langkahnya terhenti dan menatap tajam penjaga, "Aku sudah pernah berkata, jika tidak ada yang boleh masuk, bahkan membuka pintu rumah, dan apa ini!?" ujarnya datar. Pintu rumah mereka terbuka dengan lebar.
Bawahan tersebut menunduk hormat, "Mohon maaf Tuan, di dalam sana, terdapat Tuan muda Matteo yang sedari tadi datang," jawabnya sopan.
Satu alis Darius terangkat, "Matteo?"
Dia mengambil lengan Sergio dan masuk kedalam. Tetapi dia harus menoleh kebelakang di karenakan tangan yang sedari tadi dia genggam tidak ada. Adiknya itu menghilang entah kemana.
"Tuan kecil sudah masuk ketika anda berbicara Tuan," jawab bawahan satunya seolah memgerti kebingungan tuannya.
Darius berdehem sebentar kemudian masuk dengan langkah tegas.
"Sedang apa kamu disini Matteo?" tanyanya ketika melihat keberadaan adik pertamanya.
Matteo menyeduh kopi yang di buat sendiri olehnya, "Tentu saja meminum kopi."
Darius mendengus mendengar jawaban Matteo, "Setelah menghabiskan kopimu, pulanglah."
Matteo kesal karena abangnya secara terang terangan mengusirnya, "Aku akan tinggal disini," ujarnya.
Darius melototkan matanya, "Kau tidak di undang!"
"Siapa yang ingin undangan? Aku hanya tinggal disini, bukan mau party." Matteo mengangkat bahu acuh.
"Abang, Aku lapar!" sebelum menjawab ucapan Matteo, Sergio berteriak dari dalam mengatakan jika dirinya lapar.
Matteo tertegun sekaligus iri. Kapan dia akan di panggil dengan nada merengek seperti itu. Jika dulu dirinya kesal dan benci.. Maka sekarang dia mengharapkan rengekan yang sudah lama tidak dia dengar.
Darius pun menuju kedapur, tempat favoritnya. Untuk saat ini dia biarkan adik pertamanya itu, Sergio lebih utama, adiknya itu tidak boleh melewati jam waktu makan.
Matteo mengikuti abangnya, dia duduk di meja makan. Memandang abangnya yang lihai dalam memasak. Matteo tau jika abangnya itu suka masak, tetapi jarang sekali masak.
Namun lihat sekarang, hanya karena Sergio merengek lapar, abangnya langsung pergi ke dapur dan berkutat dengan bahan masakan. Abangnya dapat di andalkan.
Bisakah dia di andalkan juga?
"Jangan pandang abang seperti itu. Bahkan ketika kamu menatapku sampai matamu keluar darah.. Abang tak akan menyukai pria seperti dirimu," celetuk Darius ambigu.
Matteo mengangkat ujung bibirnya memandang Darius jijik, "Abang fikir aku menyukai bongkahan dada yang datar!"
Darius mengangkat bahu, "Tidak ada yang tau."
"DARIUS SIALAN!!"
***
"Ibu.." Kenzo merengek. Sungguh dia tak habis fikir. Ketika bangun dia di suguhkan oleh surat yang menyatakan jika dirinya dan istrinya resmi bercerai.
Padahal hanya ia tinggal tidur. Dia tidak pergi ke pengadilan atau apapun.
Ibunya gila. Tetapi, dia ibunya. Apakah dia juga gila?
Anne tidak menjawab, dia hanya mengelus rambut Kenzo dan memfokuskan dirinya pada layar televisi.
"Ibu, ibu tidak bisa memisahkan Ken sama Nara ibu!" rengek Ken menarik narik lengan Anne. Bibirnya melengkung.
Padahal dia mendapatkan pengalaman baru dan terbebas dari kekangan ibu dan adiknya. Tetapi.. Ah sudahlah.
"Ibu. Ibu denger Ken?"
Anne menghela nafas, dia mematikan saluran televisi dan memusatkan perhatian pada putra sulungnya. "Nara bukan jodohmu Ken. Kamu dan gadis itu sama sama di manja dan sama sama kesayangan, Jadi kalian akan keras kepala jikaa suatu saat ada masalah, Ibu hanya mengantipasi kejadian itu dari sekarang. Ibu harap Ken mengerti hm?" ujarnya menjelaskan yang tentu saja itu semua omong kosong.
Dia mengelus pipi Ken. Wanita itu menampilkan raut wajah sesedih mungkin agar putranya percaya.
Ken pun diam, dia memikirkan perkataan sang Ibu. Memang bener, ketika dia beradu argumen dengan Nara. Dia dan istrinya itu tidak ada mau yang mengalah.
Ken pun menunduk sedih.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.