Aku, Kamu dan Dia

934 47 1
                                    

Luka tercipta dari seseorang yang kita anggap istimewa.

Ishana disibukkan dengan pekerjaan kantornya. Setelah melewati hari yang panjang, Ishana kembali ke rumahnya untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum menjemput Arjuna di bandara nanti. Dia memilih untuk berendam di bathup yang sudah penuh busa dengan aroma tropis yang begitu menenangkan. Ishana berusaha untuk setidaknya membuat tubuhnya rileks walau hatinya kini sedang kalut. Dia mengingat kembali kenangan malam di mana Arjuna melamarnya setelah lima tahun pacaran.

"Hana, maukah kemu menikah denganku, menghabiskan sisa umur selamanya denganku?" Arjuna berlutut di hadapannya.

"Aku tak bisa menjanjikan hidup kita akan bergelimang harta, tapi aku bisa menjanjikan seluruh hatiku untukmu," sambungnya sambil menggengam kedua tangan Ishana.

Kemudian dia memasangkan cincin di jari kiri Ishana. Malam itu mereka makan malam di apartemennya. Sebuah lamaran yang romantis dan cukup meyakinkan Ishana untuk menerimanya. Namun, kini Arjuna menyebabkan kesedihan untuknya. Hati sang suami mulai terbagi. Ishana semakin bingung untuk menentukan sikap. Apa yang terjadi dengan kedua buah hatinya jika dia memilih berpisah. Tetapi untuk tetap melanjutkan pernikahannya dengan Arjuna, Ishana rasanya juga tidak sanggup. Bayangan perselingkuhan laki-laki itu dengan sahabatnya sendiri hampir tiap saat berkelebat di benak Ishana.

Deringan telepon yang berulang kali membuat Ishana menarik badannya dari bathup dan menguyurnya dengan shower secepat mungkin, lalu meninggalkan kamar mandi. Ada pesan yang dikirim Arjuna untuknya. Sang suami memberitahunya bahwa pesawatnya sudah tiba beberapa menit yang lalu dan dia menunggu di salah satu kafe di dalam bandara. Ishana pun bergegas bersiap.

Sesampainya di bandara, Ishana bergegas menuju suatu kafe yang disebut Arjuna dalam pesannya. Dilihatnya sang suami tengah berdiri di depan sebuah meja membelakanginya. Ishana memeluk Arjuna dari belakang. Laki-laki itu membalikkan badan. Senyum tipis menghiasi wajah manis Ishana ketika sang suami memeluknya.

"Sayang, bikin kaget aja," kata Arjuna. "Kamu sendiri? Anak-anak mana?"

"Anak- anak di rumah, Mas," jawab Ishana.

Arjuna meraih tangannya dan mengecupnya pelan.

"Kangen," katanya.

Ishana hanya tersenyum samar.

"Yuk, pulang," ajak Arjuna sambil menyerahkan paper cup berisi vanilla latte kesukaan Ishana.

"Buat aku? Terima kasih, Mas," kata Ishana pelan. Arjuna tersenyum, lalu tangannya menggenggam tangan sang istri dan satu tangannya meraih koper. Kemudian mereka berdua berjalan menuju parkiran mobil.

Dalam perjalanan pulang, Ishana terus menatap suaminya.

"Mas, gimana meeting kamu di Surabaya? Lancar?" tanyanya.

"Kok, tumben kamu meeting di luar kota sendiri? Biasanya sama Irfan." Ishana memberondong Arjuna dengan pertanyaan. Arjuna meliriknya sekilas. Kemudian kembali fokus menyetir.

"Mas, kok enggak jawab, sih?" protes Ishana.

Arjuna hanya tersenyum. Tangan kirinya terulur, menggenggam erat jemari istrinya.

"Pertanyaan kamu enggak penting buat aku jawab. Kamu kangen aku enggak?" tanya Arjuna, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ya, jelas kangen," lirih Ishana.

"Apa Sayang? Kangen enggak?" tanya Arjuna lagi.

Ishana mengangguk pelan.

"Kita makan malam dulu, ya, " kata Arjuna.

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang