Resah

486 23 0
                                    


Sudah satu minggu lebih, Ishana menyembunyikan penyakitnya pada Ibu dan juga kedua mertuanya. Dia meminta Ardi untuk tidak menceritakan kondisinya pada Abah dan Umma sebelum dirinya siap. Ishana selalu berkomunikasi dengan dokter Vina melalui ponsel untuk menanyakan kelanjutan pengobatannya. Ardi menjadi lebih posesif terhadap Ishana. Dia melarang Ishana melakukan pekerjaan berat. Lelaki itu bahkan mencari pembantu rumah tangga untuk membantu sang istri. Namun perasaan Ishana menjadi lebih sensitif. Dia jadi mudah mengeluarkan air mata dan sering menyendiri di kamar.

Seperti saat ini. Setelah salat Ashar, Ishana tidak langsung keluar kamar. Dia memilih untuk membaringkan tubuhnya di kasur. Dia mengabaikan panggilan Bik Minah dan ketukan pintu dari Ziva. Ishana memejamkan mata, berusaha untuk tidur, mengistirahatkan pikirannya yang lelah. Namun, justru air mata tiba-tiba menetes di pipinya.

"Sayang, kamu tidur?" Suara Ardi terdengar dari belakang punggungnya. Ishana segera mengusap air matanya.

"Sayang, hei? Kamu menangis?" Ardi membalikkan tubuh sang istri menghadapnya. Lelaki itu menghapus sisa air mata di pipi sang istri.

"Mas, kok sudah pulang jam segini?" tanyanya sambil bangkit dan duduk.

"Kamu kenapa?" tanya Ardi. Ziva bilang kamu belum keluar kamar. Bik Minah bilang kamu belum makan siang." Ardi memegang bahu sang istri.

Ishana memeluk Ardi dan menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami untuk mencari kenyamanan. Ardi tertawa pelan. Dia membalas pelukan istrinya dan mengelus punggung Ishana dengan sayang.

"Ada apa?" tanyanya sekali lagi.

"Mas, kamu pasti menginginkan seorang anak. Anak yang lahir dari rahim aku," ucap Ishana.

Ardi melepaskan pelukannya dan menatap sang istri nanar.

"Apa-apaan ini Hana? Aku sudah mengatakan berkali-kali bahwa Raka dan Ziva sudah cukup untukku. Mereka anak-anak aku juga," kata Ardi dengan sedikit emosi.

"Tapi, Mas, Abah dan Umma pasti menginginkan keturunan dari kamu, Mas. Mereka pasti kecewa kalau tahu penyakitku," ucap Ishana.

Ardi kembali merengkuh sang istri ke dalam pelukannya.

"Kamu jangan terlalu banyak pikiran, Hana. Enggak baik untuk kesehatanmu. Aku sungguh enggak apa-apa tidak memiliki anak kandung. Aku yakin, Abah dan Umma juga akan mengerti. Nanti kita jelaskan sama-sama, ya," ucap Ardi menenangkan sang istri.

Sesungguhnya hati lelaki itu sedang resah karena kemarin sang ayah menanyakan perihal Ishana yang tak kunjung hamil. Bahkan Kyai Anwar memintanya untuk menikah lagi jika Ishana tidak bisa memberikan keturunan. Namun, Ardi menolak keinginan sang ayah. Dia sangat mencintai Ishana dan tidak berniat untuk melakukan poligami. Lelaki itu ikhlas menerima kondisi Ishana.

Ishanapun segera menyiapkan baju untuk sang suami. "Sebentar lagi Maghrib, Mas. Kamu mandi dulu, ya, Mas. Mau salat di masjid, kan?" tanya Ishana.

Ardi melepaskan pelukannya, lalu menatap sang istri.

"Aku mencintaimu, Hana. Kamu dan anak-anak adalah kebahagiaan aku, ucapnya.

Lalu lelaki itu mendaratkan kecupan di kening sang istri.

"Tolong bilang Raka agar bersiap-siap," lanjut Ardi.

"Abang sudah di masjid, Abi." Tiba-tiba Ziva sudah berada di kamar mereka.

Ardi lompat dari ranjang dan mengelus kepala Ziva.

"Baiklah, kalau begitu Abi mandi dulu ya. Bunda tolong siapkan baju koko dan sarung Abi, ya," kata Ardi sambil berjalan menuju kamar mandi.

Ziva menatap sang Bunda.

"Bunda habis nangis?" tanyanya.

"Enggak, Sayang. Bunda enggak enak badan, kayaknya mau flu," jawab Ishana sambil turun dari ranjang.

"Ziva ambil wudu dulu ya, nanti salat bareng Bunda."

Ziva mengangguk dan berlari keluar kamar

***

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang