Kemarahan Kafka

462 23 0
                                    


Cukup lama Ishana pingsan. Ziva menelepon Khadijjah yang sedang berada di masjid untuk segera datang. Ziva juga berusaha menelepon Ayah dan Abangnya, tapi hanya nada sambung yang terdengar. Bik Siti mengoleskan minyak kayu putih di hidung Ishana agar majikannya itu cepat sadar.

"Mungkin Abimu masih salat jenazah," ucap Kafka ketika melihat kecemasan di wajah gadis kelas lima sekolah dasar itu.

"Nanti Ustaz yang susul mereka,ya, setelah nenekmu datang."

Ziva hanya bisa mengangguk. Lalu dia duduk di sofa, di sisi ibunya yang masih pingsan. Tak lama Khadijjah datang. Ibunya Ishana itu tergopoh-gopoh masuk rumah dan menghampiri putrinya.

"Hana, apa yang terjadi?" lirihnya. Lalu tangannya bergerak mengusap dahi sang putri yang berkeringat.

Kafka menjelaskan apa yang terjadi. Khadijjah mengucapkan terima kasih karena Kafka telah menolong Ishana. Tak lama Ishana membuka matanya. Dia merasakan mual yang hebat. Perempuan itu berusaha bangun, tapi dicegah oleh Khadijjah.

"Hana, jangan bangun dulu. Kamu baru sadar," kata Khadijjah.

Ishana menurut karena merasakan tubuhnya lemas. Refleks dia memegang perutnya.

"Bayinya enggak apa-apa, kan, Bu, Bik?" tanyanya sambil memandang sang ibu dan Bik Minah bergantian.

"Enggak apa-apa Han, enggak ada pendarahan. Kamu hanya butuh istirahat," jawab Khadijjah.

Ishana merebahkan kembali kepalanya di sofa. Bik Minah memeberikan segelas teh manis hangat untuknya. Perempuan itu menyesap teh pelan-pelan berharap bisa mengurangi rasa mualnya.

"Kami pamit dulu, Ibu. Mau ikut mengantarkan jenazah Ustaz Zaki ke makam," kata Kafka.

"Aku ikut, Ustaz. Sekalian mau bilang Abi kalau Bunda sakit kata," kata Raka.

"Sebaiknya Raka di sini aja, jaga Bunda, ya. Nanti Ustaz sampaikan pada Abi kalau Bunda sakit," ucap Kafka.

Raka menurut dan kembali beranjak menghampiri Ishana dan memijat kaki sang bunda.

"Ibu minta tolong, ya, Ustaz. Sampaikan pada Ardi untuk segera pulang," kata Khadijjah.

"Baik Ibu, akan saya sampaikan. Kami pamit. Assalamualaikum." Kafka dan Nizam berjalan meninggalkan rumah Ardi.

"Waalaikumsalam," jawab Khadijjah dan Hana bersamaan.

Cukup lama Ishana berbaring di sofa menunggu Ardi pulang. Kepalanya masih terasa berat jika bergerak. Raka dan Ziva sudah masuk ke kamar masing -masing. Khadijjah memutuskan untuk menginap karena khawatir dengan keadaan putrinya. Melihat wajah Khadijjah yang letih, Ishana meminta ibunya untuk tidur karena hari sudah semakin larut.

"Tidurlah, Bu. Biar Hana saja yang menunggu Mas Ardi,"

"Biar Ibu temani kamu saja," jawab Khadijjah.

"Nanti Ibu sakit. Hana sudah mendingan, kok," ucap Hana.

Lalu perempuan itu bangun dan duduk.

"Sebentar lagi, Hana juga mau masuk ke kamar, Bu," lanjutnya.

"Baiklah kalau begitu. Ibu tidur dengan Ziva, ya," kata Khadijjah.

Ishana mengangguk.

Sepeninggal Khadijjah, Ishana menyandarkan tubuhnya pada sofa. Dia meraih ponselnya di meja dan mengetik pesan untuk Ardi.

"Mas, sudah selesai acara pemakamannya? Maaf aku tidak bisa ke sana. Sampaikan duka citaku pada Salwa, ya."

Pesannya hanya centang satu. Ishana menunggu beberapa saat, tapi tidak ada balasana dari suaminya. Dia mengetik lagi.

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang