Maafkan Aku, Hana

671 32 0
                                    


Ardi sampai di rumah ketika Ishana sudah terlelap. Lelaki itu memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum tidur. Setelah mandi dan berpakaian, lelaki itu naik ke kasur dan membaringkan diri di sisi sang istri. Tangannya mengelus pipi Ishana, lalu beralih mengusap perut istrinya. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya."Maafkan aku, Hana," lirihnya.

 Ardi menyadari sepenuhnya bahwa perbuatannya tadi salah. Namun, lelaki itu tidak punya pilihan lain. Dia merasa kasihan pada Salwa. Kini, dia harus benar-benar menikahi gadis itu. Perasaan bersalah juga hadir untuk Kafka. Ardi yang meminta Kafka untuk taaruf dengan Salwa demi agar gadis itu tidak mengganggunya. Namun, justru dirinyalah yang akhirnya akan menikahi Salwa. 

Kafka benar, aku memang pria berengsek, ucapnya dalam hati. Ardi meraih tangan Ishana dan menggenggamnya erat. Dikecupnya pelan punggung tangan perempuan yang sangat dicintainya itu. Ishana menggeliat sebentar dengan mata yang masih terpejam. Tubuhnya kini menghadap Ardi. Lelaki itu tersenyum dan membelai rambut sang istri. Untuk sementara, Ardi tidak akan menceritakan hal ini pada istrinya. Dia khawatir Ishana akan syok, bahkan mungkin stres dan berakibat buruk pada kandungannya. Mereka berdua sangat mengharapkan anak yang sudah lama mereka tunggu. Lelaki itu merapatkan tubuhnya pada sang istri dan memeluknya erat dan berusaha untuk tidur. 

Ardi terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Baru saja dia hendak beranjak, tiba-tiba Ishana bergerak gelisah dan terdengar isakan kecil dari bibir istrinya. Dengan perlahan, Ardi mengulurkan tangannya dan mengusap kepala Ishana agar istrinya itu kembali tenang dalam tidurnya. Perlahan, Ishana membuka mata dan langsung memeluknya erat. 

"Mas Ardi," panggil Ishana lirih."Tenanglah, Sayang. Aku ada di sini," bisik Ardi di telinga Ishana, lalu mengecup puncak kepala istrinya itu. 

"Kamu mimpi buruk, ya?" tanya ardi ketika isakan Ishana kembali terdengar. 

"Aku mimpi buruk, Mas. Kamu pergi meninggalkanku," kata Ishana disela isak tangisnya.Ardi tercekat. Diusapnya pipi sang istri. 

"Sstt, kamu jangan ngomong gitu. Aku enggak akan meninggalkanmu, Sayang," ucap Ardi berusaha menenangkan sang istri. "Sudah, jangan menangis lagi, ya." 

"Aku benar-benar takut, Mas. Mimpi itu kayak nyata. A-aku─," ucapan Ishana terhenti ketika Ardi menutup mulut istrinya itu dengan telunjuknya."Aku tidak akan meninggalkanmu, Hana. Aku janji akan selalu menjaga kamu dan calon anak kita," ucap Ardi.Lalu lelaki itu mendaratkan ciuman di kening Ishana. 

"Udah tenang? Salat Subuh dulu, yuk," ajak Ardi.

"Kamu enggak salat di masjid, Mas?" tanya Ishana. "Aku rindu lho sama suara kamu mengumandangkan azan."Ardi terkekeh, lalu mengelus pelan perut sang istri."Sepertinya anak Abi di sini ingin mendengarkan suara azan Abinya, ya, Han."Ishana tersenyum dan ikut mengelus perutnya. 

"Hari ini aku salat di rumah saja. Besok, ya, Nak, Abi yang azan di masjid kayak biasanya," ucap Ardi. Kemudian mengecup perut sang istri sebelum beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. 

Ardi keluar dari kamar mandi dan melihat Ishana masih di tempat tidur sambil memijat pelipisnya. 

"Sayang, kamu kenapa? Pusing?" Ardi menghampiri sang istri dan meraba keningnya."Kalau pusing, salatnya sambil duduk aja, ya," lanjutnya. 

"Insya Allah, aku masih sanggup untuk berdiri, kok, Mas," jawab Ishana.Dengan hati-hati Ardi menuntun sang istri menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah Ishana selesai, Ardi membawa sang istri untuk duduk di pinggir tempat tidur. Dengan telaten, lelaki itu membantu Ishana untuk memakai mukenanya. Kemudian Ardi menggelar sajadah untuknya dan sang istri. Setelah selesai, Ardi bergegas memakai sarung dan pecinya. Keduanya pun melaksanakan salat Subuh berjamaah. 

Ishana sedang melipat mukenanya ketika melihat luka lebam di pipi dan sedikt luka di ujung bibir sang suami. Dengan mukena yang masih di tangan, perempuan itu menghampiri suaminya."Ini kenapa, Mas? Kamu abis berantem? Sama siapa?" Ishana meraba pipi Ardi. 

Ardi diam sejenak, tak tahu harus menjawab apa."Mas?" panggil Ishana. 

"Eeh, i-tu semalam aku menolong seorang Bapak di dekat rumah sakit. Bapak itu mau dipukul oleh orang-orang kayak preman gitu, Han. Tapi malah aku juga kena," jawab Ardi berbohong.

 "Ya ampun, kamu ini, Mas. Kamu tuh terlalu baik sampai orang enggak dikenal pun kamu tolongin," ucap Ishana sedikit kesal. "Aku obati ya. Sebentar aku ambil dulu di bawah," ucap Ishana. 

Lalu perempuan itu menyimpan mukenanya dan berjalan membuka pintu kamar. Namun, langkah Ishana terhenti ketika Ardi meraih tangannya."Sayang, kamu tahu 'kan kalau kamu tidak boleh banyak bergerak. Biar nanti aku yang obati sendiri, ya." Ardi membimbing Ishana kembali ke tempat tidur. 

 "Sekarang kamu istirahat aja. Urusan dapur biar Bik Minah yang urus. Aku akan membantu menyiapkan sarapan dan bekal anak-anak." 

 "Tapi, Mas. Aku pasti bosan di kamar terus. Lagipula aku masih kuat, kok kalau hanya bikin sarapan dan bekal anakanak," protes Ishana.

Ardi menggeleng."Aku enggak mau terjadi apa-apa sama anak aku kalau bundanya terlalu lelah," kata Ardi sambil menyelimuti sang istri. Lalu lelaki itu berjalan keluar kamar untuk membuat sarapan dan bekal anak-anak mereka. 

***

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang