Keinginan Arjuna

924 48 1
                                    


Ishana menatap ke arah Khadijjah dan Ziva yang tertidur lelap. Arjuna baru saja meneleponnya menanyakan kabar dan mengatakan bahwa Raka menginap bersamanya di hotel. Besok pagi dia akan mengunjungi Ishana sambil mengantarkan Raka. Baru saja Ishana akan menyimpan ponselnya, benda itu berdering singkat. Ardi mengiriminya pesan.

"Assalamualaikum, Sayang maaf ya aku enggak bisa menemanimu malam ini. Besok pagi sebelum ke kampus aku ke Rumah Sakit. Kamu tidur yang nyenyak ya. I love you, Hana."

Setelah membaca pesan dari suaminya, Ishana menyimpan kembali ponselnya. Ketika hendak bersiap tidur, pintu kamar rawat inapnya terbuka, Pak Husen, supirnya datang membawa dua buah koper.

"Assalamualaikum, Bu, ini saya bawa pakaian Ibu dan Neng Ziva. Tadinya mau dibawa Umi Halimah, tapi beliau mendadak ada tamu. Jadi saya yang mengantarkan ke sini," ucap Pak Husen.

"Waalaikumsalam, Pak. Simpan saja di situ, Pak. Terima kasih ya," jawab Ishana.

"Bapak suruh saya menungggu Ibu di sini, barangkali Ibu ada perlu apa-apa nanti. Saya di luar ya, Bu. Ibu silakan istirahat lagi." Pak Husen membalikkan badan lalu beranjak ke luar kamar.

"Eeh, sebentar, Pak. Bapak di rumah 'kan? Pak Husen bawa mobil saya atau mobil Bapak?" tanya Ishana.

Pak Husen menoleh dan terdiam sejenak.

"I-itu, Ba-pak .... Bapak ada di rumah Ibu Salwa, Bu. Tadi Bu Salwa sama Umi Halimah ada di rumah Bapak. Tapi habis Isya, Bapak ada di rumah Bu Salwa," terang Pak Husen terbata-bata.

"Oh, ya sudah, jawab Ishana singkat.

"Saya tunggu di luar, ya, Bu." Pak Husen pamit dan berjalan ke luar kamar.

Ishana menghela napas pelan. Kini dia mengerti kenapa Ardi tidak mengatakan alasannya tidak bisa menemaninya malam ini. Perempuan itu menyadari bahwa kini bukan hanya dia satu-satunya istri Ardi. Ada perempuan lain yang harus suaminya perlakukan sama. Ishana menyeka sudut matanya yang mulai basah. Dia membaringkan diri dan memejamkan mata, berusaha untuk tidur.

***

Ishana terduduk di atas kursi rodanya sambil menatap sinar matahari yang baru saja terjaga dari peraduannya. Perempuan itu mengeratkan cardigan panjangnya. Hawa dingin sisa dari hujan deras semalam masih sangat terasa. Bahkan pohon-pohon dan rerumputan di sekitar taman rumah sakit masih basah oleh tetes airnya. Jemarinya terulur meraba perutnya yang kini tampak rata, tak seperti hari-hari sebelumnya dimana ada kehidupan lain di dalamnya yang membuat dirinya dan Ardi diliputi kebahagiaan. Hati Ishana terasa sesak. Tenggorokannya tercekat menahan kristal bening yang menggenang di pelupuk matanya.

Sebuah kenyataan pahit menamparnya dengan keras. Bayinya tidak bisa bertahan dan terpaksa harus pergi meninggalkannya bersamaan dengan suaminya melangsungkan pernikahan denga Salwa. Ishana menarik napas pelan. Harusnya dia bisa lebih kuat menghadapi kenyataan bahwa Ardi menikah lagi. Harusnya dia bisa mempertahankan bayinya. Ada rasa sesal di hatinya. Tanpa sadar air mata sudah membasahi cadarnya.

"Ibu Ishana, sedang apa di sini? Saya mencari ke ruangan, tapi kata putri Ibu, Ibu sedang berada di sini. Ayo kembali ke kamar, Ibu harus sarapan dan minum obat."

Dengan sigap, Ishana mengusap jejak air mata dengan jarinya. Ishana mendongak menatap perempuan yang berdiri di depannya, Suster Gita.

"Sebentar saja suster. Saya hanya ingin menghirup udara segar," jawab Ishana.

"Di luar udaranya sangat dingin. Ibu Ishana bisa masuk angin nanti," kata suster Gita.

"Beri saya waktu 15 menit lagi. Nanti aku akan segera kembali," ucap Ishana dengan senyum dipaksakan.

Imam Kedua (Renew from Rindu untuk Ishana)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang