2 Rahasia

3 0 0
                                    

Perjalanan yang harusnya bisa Lindri lewati hanya dengan lima belas menit, berubah menjadi dua puluh lima menit akibat Fian yang terus-terusan mengajaknya ngobrol meski sedang berkendara. Walaupun Lindri tidak begitu suka dengan caranya sepreti itu, tapi dia juga tidak bisa menolak. Padahal Lindri sudah beberapa kali mengingatkan kalau bahaya, Fian dengan enteng menjawab, “Santai aja, udah malem sepi kok.” Akhirnya Lindri hanya membiarkan saja.

“Gue pulang dulu ya, Lin,” pamit Fian.

“Iya, hati-hati dan makasih ya.”

Fian mengacungkan jempolnya ke udara. Lindri pun dengan cepat memasukkan motornya ke dalam garasi rumah. Saat akan menutup garasi, seseorang belok ke arah rumahnya. Karena pencahayaan yang silau, Lindri jadi tidak bisa tau itu siapa. Tapi detik ketiga, motor itu dimatikan barulah dia tau siapa pelakunya.

“Pulpen gue, Lin.”

Rahang Lindri hampir jatuh ke tanah karena tidak habis pikir dengan Firhan yang menyusul ke rumahnya hanya gara-gara pulpen yang ketinggalan. “Serius lo ngikutin gue cuma karena pulpen, Han?”

“Iyalah, pulpen satu-satunya gue itu. Gue beli tiga waktu itu, tapi hilang padahal belum sehari. Aneh banget kan, biasa tuyul nyuri uang tapi tuyul di kelas malahan nyuri pulpen.”

“Kan besok bisa, Han.” Meski begitu, Lindri tetap membuka tasnya dan mencari keberadaan pulpen yang katanya milik Firhan. “Bearti lo dari tadi ngikutin gue dong? Lo sebelumnya gak tau rumah gue, kan?” Lindri menyerahkan pulpen biru yang isinya sudah setengah kepada Firhan. “Yang ini, kan?”

Firhan menelitinya, lantas mengangguk saat menemukan ada bekas tipe-x di belakangnya. “Iyalah, untung lo berdua Fian lama naik motornya.”

“Besok emangnya gak bisa, ya?”

“Gak bisa, gue mao pake buat nulis.”

“Ada tugas lagi buat besok?”

“Gak ada.”

“Terus?”

“Nulis diary.”

Wajah Lindri kaget. “Serius, Han?”

Firhan bukannya menjawab, dia justru tertawa. “Gue balik dulu ya, makasih, Lin.” Firhan membelokkan motornya ke arah luar rumah. “Oh iya, besok-besok jangan ngobrol sampingan gitu pakai motor, bahaya.” Setelah itu Firhan langsung pergi dari hadapan Lindri. Meninggalkan Lindri yang hanya menggeleng mengingat kelakuan Firhan yang aneh.

“Ada-ada aja, cuma pulpen.”

*

Bahkan, dalam mimpi pun Darwin tidak pernah berpikir akan dikepung empat perempuan dengan tatapan membunuh saat baru datang sekolah. Parahnya lagi, Darwin langsung ditarik ke kantin samping sekolah yang bangunannya sudah agak miring ke kiri namun masih menjadi idola para siswa, apalagi mereka yang mencari tempat merokok yang aman. Beberapa siswa yang ada di sana pun mengarahkan perhatian ke mereka berlima.

“Jangan mainan keroyokan, elah. Kalo kayak gini gue juga bakalan kalah.” Darwin menunjukkan wajah melasnya. Memang sih, empat perempuan ini wajahnya enak dipandang, tapi tidak bisa disangkal kalau kelakuan mereka itu lumayan bar-bar!

“Makanya kasi tau kita siapa yang nyebarin sayembara itu,” ujar Tita sudah geram. Pasalnya, sudah ketiga kali mereka bertanya hal yang sama, tapi jawabannya selalu sama.

“Gak tau gue! Demi Tuhan!” Ucap Darwin bersungguh-sungguh. “Lo pada tau kan gue bukan anak futsal?”

“Ya makanya makin aneh kalo lo yang bukan anak futsal bisa tau, Darwin.”

SAYEMBARA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang