10 Teka-Teki Hesa

3 0 0
                                    

Acara 17-an tidak berhenti dalam satu hari saja. Keesokan harinya, sekolah kembali ramai karena hari ini menjadi penentuan siapa yang akan jadi juara dari setiap lomba yang diadakan. Tetapi, pagi hari mereka dimulai dengan jalan santai melewati rute biasanya.

Empat sekawan itu sudah siap sedia dari tadi, Tita dengan Lindri, Jihan dan Kelia. Mereka selalu bersama, mengobrol gosip-gosip terbaru yang ada, sampai mengomentari orang-orang yang mereka temui di jalan.

“Eh, bearti tarik tambang kelas kita tanding lagi ya hari ini?”

“Iya, kan nyari juara empat besar dulu, baru cari siapa juaranya.”

“Yah, gimana nasib kelas kita kalo Firhan masih gak bisa main, ya?” Tanya Jihan bingung.

Tita menoleh, “Emang kelas kita menang karena dia? Gak juga, kan?”

“Iya juga sih.”

“Ngomong-ngomong Firhan, kayaknya Fian masih ada dendam sama tuh bocah,” Tita membuka obrolan perihal insiden saat tanding futsal kemarin. Jihan dan Kelia langsung melihat Lindri dengan pandangan menuduh.

“Gara-gara Lindri pasti.”

“Iya, gue setuju.”

Lindri menoleh ke belakang, “Apaan? Urusan gue dengan Fian udah selesai.”

“Udah selesai memang, dendam Fian yang belum selesai,” jelas Tita dengan wajah dongkol.

“Gak lah, mungkin ada urusan lain kali antara mereka. Jangan sok tau ibu-ibu,” Lindri mengingatkan.

Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan rombongan anak kelas XII laki-laki yang melewati mereka. Ternyata di antaranya ada Hesa. Lelaki itu langsung menyapa Lindri dan yang lain.

“Halo.”

“Eh, Kak Hesa,” jawab Lindri dan Tita hampir bersamaan. Lindri langsung menyenggol perut Tita beberapa kali dengan wajah malu-malunya. “Nyamperin lo tuh,” bisik Tita.

“Lin, jalan sama gue, keberatan gak?”

Lindri menganga, menoleh Tita, perempuan itu lantas melepas gandengan tangan Lindri dan sedikit mendorong perempuan itu maju. Lindri yang tidak siap hampir tersandung kakinya sendiri, tapi Hesa lebih cepat menahan lengannya. Teman-teman dari Hesa sontak menyoraki mereka, bersiul-siul. Lindri semakin malu. Hesa memasang wajah biasa saja, hanya tersenyum tipis.

“Modus banget lo, Lin,” goda Jihan. Rasanya Lindri ingin menggunakan panci untuk menutup wajahnya sekarang karena begitu malu.

“Itu muka apa udang rebus,” kali ini Kelia pun ikut andil menggoda Lindri.

“Kak, bawa aja tuh Lindri, kita udah gak pake lagi kok!”

“Sembarangan,” Hesa menoleh ke belakang, melihat Jihan yang barusan berbicara. “Bukan barang nih temen lo.”

Mereka bertiga lantas tertawa, sedangkan Lindri semakin malu. Dia menutup wajahnya yang mungkin sudah semerah planet Mars

Selanjutnya, Hesa justru menarik Lindri untuk berjalan berdampingan. Semakin mereka menjadi bulan-bulanan. Tita jadi ikutan Jihan dan Kelia, jadi mereka bertiga gandengan, meninggalkan Lindri dengan Hesa.

“Biarin aja, mereka iri,” bisik Hesa. Lindri hanya mengangguk pasrah, tangannya sudah digenggam erat oleh Hesa. Rasanya hangat dan menyenangkan. Lindri harap, ini bukan hanya sementara, bukan hanya drama yang Fian lakukan waktu itu. Semoga saja.

*

Disaat murid yang lain harus memutari jalan utama, sesuai rute yang sudah ditentukan, Hesa justru mengajak Lindri untuk memotong jalan lewat sebuah gang.

SAYEMBARA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang