18. Epilog

1 0 0
                                    

Pelajaran olahraga selalu menjadi momok tidak menyenangkan untuk Lindri, kecuali melihat Firhan sedang main futsal setelah selesai materi. Rasanya Lindri ingin memberhentikan waktu dan terjebak dalam situasi seperti itu terus. Setidaknya lebih baik seperti itu ketimbang harus lebih dekat tapi Firhan hanya diam dan bersikap biasa saja padanya.

“Ngelamun lo,” tegur Kelia yang baru saja meminum air bekalnya.

Lindri hanya diam, masih menatap Firhan yang sekarang tengah duduk di tepi lapangan menunggu pergantian pemain selanjutnya.

“Samperin, gih. Ngapain jadi canggung sih kalian berdua, udah pada tau juga perasaan satu sama lain.”

“Tapi gak sesederhana itu, Kel.”

“Kalian berdua aja yang bikin ribet. Udah sana, bawain air minum kek.”

“Picisan banget,” komentar Lindri.

“Yaelah, itu namanya perhatian, Lindri. Aneh lo.” Kelia akhirnya bangkit dari duduknya, lebih baik menghindar sekarang dari pada darahnya semakin tinggi karena berdekatan dengan Lindri.

Tinggallah Lindri yang masih duduk sendiri. Perkataan Kelia sedikit menyentil egonya, tapi dia tidak melakukan apa yang Kelia sarankan kepadanya. Dia berjalan mendekati Firhan sembari menahan gugup.

“Han,” panggilnya tanpa bersusah payah untuk duduk. Firhan mendongak, tetesan keringat di pelipisnya berhasil membuat Lindri gagal fokus.

Ganteng banget, ya Tuhan.

“Apa, Lin?” Bahkan suara Firhan yang biasa saja membuat Lindri susah menelan air ludahnya seketika. Tahan, Lin.

“Lo marah sama gue?” Dari banyaknya rencana dalam kepala, entah kenapa justru pertanyaan konyol itu yang keluar dari Lindri.

Bukannya menjawab, Firhan justru berdiri. “Gak, gue gak marah sama lo, Lin.” Tanpa diduga, Firhan mengacak rambut Lindri lembut. Sebentar, namun efeknya sungguh panjang, bahkan saat Firhan sudah pergi dari hadapannya, Lindri masih terpaku. Tidak bisa bergerak, seolah kakinya tertancap di bumi. Detak jantungnya menggila, sudah pasti pipinya memerah.

“Duh, jantung gue,” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.

Tiba-tiba Firhan kembali menoleh Lindri. “Kapan lo mau ngomong sama Seno?”

“Hmm ...” Lindri tampak berpikir. “Malam ini mungkin.”

“Gue ikut.”

“Gak, gak usah, Han. Biar gue aja sendiri, gak-“

“Yaudah, biar gue yang nemuin dia langsung,” ujar Firhan sambil berlalu. Dengan cepat Lindri berlari mengejar Firhan.

“Gue sendiri aja, Han. Biarin gue yang nyelesaikan masalah gue sendiri.”

“Gue ikut.”

Lindri berhenti, Firhan pun mengikuti.

“Emang lo mau ngapain ngikut?”

“Gak ngapa-ngapain. Pulangnya kita bisa jalan, kan? Lo gak mau jalan sama gue?”

Lindri ternganga. “Kalo ngajak jalan bilang dari tadi, sih. Kirain mau ngapain,” ujarnya tersenyum malu. Firhan pun tidak dapat menyembunyikan tawanya. “Ketawa lo, malu gue.”

“Suka kan lo gue ajak jalan,” godanya.

Lindri berdehem, wajahnya terlihat berubah serius. “Gak sih, biasa aja.”

Firhan melengos, dipitingnya leher Lindri, tidak kuat tapi mampu membuat Lindri berteriak karena kaget. Siang itu, ketiga sahabat Lindri hanya menjadi penonton dari depan kelas.

SAYEMBARA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang