13. Moodbooster

1 0 0
                                    

Istirahat kedua, Lindri hanya diam di kelas. Membaringkan kepalanya di atas tangannya sendiri sambil menggulir layar gawainya. Dia memilih untuk tidak ikut ke kantin. Mengingat kejadian tadi rasanya Lindri ingin menghilang saja dari dunia. Hesa benar-benar brengsek. Dia tidak hanya membuat Lindri takut, tapi juga mempermalukannya.

“Gak ke kantin?” Firhan sudah duduk di bangku samping Lindri. Tanpa bersusah payah untuk menegakkan badannya, Lindri hanya menggeleng. Wajahnya masih kelihatan lesu.

“Ntar sore lo sibuk gak?”

Lindri menoleh ke Raha. “Gak, kenapa?”

“Ikut gue jogging.”

“Gak ah, capek.”

“Lo duduk aja, atau jalan.”

“Di mana?”

“Alun-alun.”

Lindri merubah posisi duduknya. “Di situ sih enaknya jajan, Han, bukan olahraga.”

“Lo mah jajan mulu.” Lindri nyengir, Raha pun tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum. “Gimana? Mau gak?”

“Tapi gue jajan aja.”

“Iya, terserah lo mau ngapain, asal jangan ilang aja nanti pas gue tinggal lari.”

Lindri mengacungkan ibu jarinya, menandakan dia setuju.

Firhan tersenyum tipis melihat wajah Lindri yang tidak lagi murung. Dia sebenarnya tau kejadian di kantin barusan, berkat informasi dari Tita. Makanya Firhan tiba-tiba bisa berinisiatif mengajak Lindri olahraga nanti sore. Entahlah ... hanya itu satu-satunya ide yang di pikir.

“Mau ke mana kalian?” Tiba-tiba Billy muncul dan berdiri di belakang Lindri. Firhan menghela nafas, sedangkan Lindri menutup wajahnya. “Lo jadi kan pulang sama gue?”

“Bukan urusan lo gue mau ke mana,” jawab Lindri sedikit ketus. “Iya, gue pulang sama lo.”

Tidak ingin menjadi obat nyamuk, Firhan pun bangkit dari duduknya, tanpa Lindri dan Billy sadari dia sempat memasukkan sebuah pulpen ke dalam tas Lindri yang sedikit terbuka, lalu pergi dari sana.

“Gue boleh ikutan kalian-“

“Gak,” jawab Lindri cepat. Mulai jengah dengan Billy yang selalu ingin tau perihal Lindri.

“Kasar amat.”

“Bodo amat.”

*

Sepertinya Billy sudah menyiapkan semuanya dengan matang, mulai dari motor butut yang biasa dipakai sekarang berubah menjadi motor keluaran terbaru. Helm untuk Lindri sudah disediakan.

“Udah, Lin?”

“Udah.”

Motor itu pun berjalan keluar gerbang sekolah. Lindri melipat tangannya di depan perut, tidak berniat untuk sekedar berpegangan dengan Billy. Ternyata Billy tipe pengendara yang baik dan benar. Lajunya normal dan nyaris seperti siput. Lindri jadi geram lama-lama, mungkin kalo posisinya di bonceng Firhan dia tidak mungkin merasa sebosan ini.

Eits, Firhan? Lindri menoyor kepalanya sendiri, bagaimana dia jadi membawa-bawa Firhan dalam percakapan di otaknya?

“Lin?”

“Eh ... iya? Kenapa, Bil?”

“Makan dulu gak?”

“Gak usah Bil, gue masih kenyang.”

“Yaudah.”

Sisa perjalanan hanya tersisa Billy yang terus mencari topik, sedangkan Lindri hanya menjawab seadanya. Lindri benar-benar tidak bisa basa-basi perihal nyaman atau tidaknya berbicara sama orang. Percakapan Billy hanya tentang gosip yang ada di kelas, yang biasa Lindri bahas dengan ketiga sahabatnya.

SAYEMBARA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang