"Non, bangun, non. Itu.. Diluar, ada temen non Celine nungguin". Ucap Bibi, berupaya sejak tadi membangunkan Celine.
Sang gadis menggeliat di kasurnya. "Siapa, Bi? Kio? Perasaan gak minta jemput".
"Bukan Den Akio.. Bukan Non Lunar juga. Katanya namanya Kievara, Non". Balas sang Bibi.
Mata Celine langsung melotot mendengarnya. "Kievara kata Bibi barusan?".
Bibi mengangguk. "Iya, Non. Itu, didepan gerbang dari tadi nunggu, mau jemput Non Celine katanya".
"Fuck". Sembur Celine, sang gadis langsung masuk kedalam kamar mandi, mencuci muka, menyikat gigi dan mengikat rambutnya asal menjadi cepolan.
Ia kemudian bergerak cepat keluar dari kamar, menuju ke gerbang rumahnya, tempat dimana Kievara sudah berdiri canggung didepan mobil dengan buket bunga di tangan. Saat mata mereka bertemu, Kievara sontak membenahi bajunya, berikut dengan rambutnya yang disisir klimis.
"Lo ngapain disini?". Tanya Celine dari balik pagar, tidak membukakan untuk sang lelaki.
Kievara tersenyum. "Jemput Celine. Yuk! Kekampus. Celine mau siap-siap dulu?".
Celine menghela nafas panjang. "Oh, god. Ini hari sabtu, siapa juga yang mau ke kampus?".
Kievara membelalakkan matanya. "Hah? Sabtu? Masa sih?". Sang lelaki mengecek ponsel, berikut tanggal yang tertera, seketika menepuk dahinya. "Astaga, Cel. Maafin—Kiev salah lihat tanggalan. Kelewat semangat pengen jemput Celine, jadinya gak lihat kalender dulu. Terus tadi buru-buru juga karena mau beli ini".
Kievara menunjukkan buket bunga darinya, yang tentu saja diabaikan oleh sang gadis. "Gak ada yang minta lo jemput".
"Kiev yang pengen, Celine.. Pengen berangkat bareng pacar". Pipi Kievara bersemu saat mengatakannya, malu-malu. "Kiev juga pengen Celine berangkat aman, gak naik taxi online. Udah Kiev siapin sarapan juga, dibikinin sama Mami, jadi bisa sarapan di mobil".
"What? Gak. Gue gak butuh. Udah, lo balik deh". Balas Celine singkat, hendak beranjak meninggalkan Kievara disana.
Namun, satu sosok keluar dari dalam rumah. "Siapa, Celine?".
Kievara melongokkan kepalanya ke arah datangnya suara, kemudian menatap Celine tanda bertanya. Celine menggeleng, tidak mengizinkan Kievara menjawab. "Bukan siapa-siapa, Ma".
"Pagi, tante. Kievara tante, pacarnya Celine". Sahut Kievara lantang, menuai pelototan dari sang gadis yang menghardiknya dengan tatapan.
Wajah Mama Celine terlihat terkejut, namun beliau tersenyum. "Oalah. Masuk, Nak. Kok gak disuruh masuk pacarmu, Cel?".
"Kiev boleh masuk, tante?". Tanya Kievara langsung dengan senyum sumringah.
Celine terus menggeleng, memberi gerakan non verbal tidak mengizinkan. Namun, sang Mama lebih dulu bergerak untuk membukakan pagar, membiarkan Kievara mendekat dan berkenalan dengan sang Mama. "Masuk, Nak. Ngobrol dulu didalam, yuk? Celine nih memang, masa pacarnya dibiarin aja diluar".
"O—Oke, tante. Makasih". Balas Kievara sembari berjalan mendekat untuk masuk kedalam rumah sang gadis, ditengah perjalanannya, Celine tak ayal memberi ancaman.
"Awas lo ya nanti. Berani-beraninya". Bisik Celine.
———
"Pagi banget kesininya, Kievara? Kata bibi udah nunggu didepan dari tadi ya?". Tanya sang Mama setibanya mereka didalam rumah, membuka obrolan.
Ketiganya duduk di meja makan, sang Mama dengan telaten menyiapkan sarapan ketiganya. Roti panggang dengan selai kacang dan stroberi, kesukaan Celine. Kievara memperhatikan bagaimana Celine lebih banyak diam, menyantap makanannya dan menghindari pandangan kedua orang disampingnya.
Celine diem aja.. Jangan-jangan Celine marah ya sama Kiev?
"Kievara?". Panggil Mama Celine lagi, membuyarkan monolog Kievara dengan dirinya sendiri.
"Eh—Iya, tante. Tadinya pengen jemput Celine ke kampus, tapi lupa kalau ini hari libur. Terlalu semangat soalnya". Balas Kievara.
Celine memutar bola matanya, berbeda dengan sang Mama yang terkekeh. "Pengen ketemu Celine banget ya?".
Sang lelaki kembali tersipu. "Iya, tante. Kangen".
Celine bersumpah ia hampir memuntahkan kembali makanan yang sedang dikunyah. Apa-apaan katanya? Kangen? Najis!
"Kamu laki-laki pertama yang Celine bawa kerumah sebagai pacar loh". Ucap Mama Celine, membuat Kievara tersenyum tak karuan.
Celine menyanggah. "Bukan Celine yang bawa kerumah ya, orangnya yang dateng sendiri".
Sang Mama kembali terkekeh. "Tante suka tanya, pacar Celine yang mana, kirain Akio.. Soalnya Kio doang yang suka diajak kerumah. Tapi kan Kio temen Celine dari kecil".
"Ma, udah deh. Enough with the storytelling". Sambar Celine. "Ini juga Kiev udah mau pulang, buru-buru kan lo?".
Nampaknya, si polos sama sekali tak menangkap maksud Celine. Jadilah ia menggeleng. "Enggak kok, Celine. Kiev gak buru-buru. Kan niatnya memang mau ketemu Celine".
Sang Mama makin terkekeh, namun tertahan. Wanita itu kemudian melirik buket bunga yang Kievara bawa. "Itu bunganya buat Celine?".
"Oh—Iya. Ini, tadi beli di florist deket rumah. Minta dirangkai pakai warna-warna yang cantik, soalnya buat Celine. Gak tau sih, Celine suka bunga atau nggak. Cuma, Kiev bawain aja. Siapa tau bikin Celine seneng". Balas Kievara.
Mama Celine memperhatikan, bisa melihat jelas bagaimana tulusnya seorang Kievara pada anaknya. Kievara bak seorang yang begitu asertif, menaruh kebahagiaan Celine diatas kebahagiaannya sendiri.
"Diterima dong, Celine. Celine ini suka bunga loh, dia setiap hari request bunga buat ditaruh di vas bunga kamarnya. Pas banget kamu bawa". Balas sang Mama.
Celine ingin pergi dari tempat itu saat itu juga, menyaksikan sang Mama yang memperlakukan Kievara begitu baik membuatnya mual. Apa-apaan, pikirnya. Kalau sudah begini, pasti akan ribet nantinya.
"Aku mau ke kamar". Ucap Celine begitu saja, beranjak dari duduknya.
Sang Mama menoleh. "Ajak itu Kievara keatas, ngobrol sana. Kievara ikut gih, asal pintu kamarnya tetap dibuka ya". Pesan sang Mama sembari mengerling, memberi pesan tersirat pada kedua anak dihadapannya.
"Ma? Please, deh. What are you even thinking? Gak mau, Celine gak mau ajak dia ke atas. Lo balik aja deh sana". Usir Celine pada Kievara.
Yang dibicarakan malah sejak tadi memerah, seperti kepiting rebus. "I—Iya, Celine.. Kiev pulang aja ya kalau gitu? Biar Celine bisa istirahat lagi. Kapan-kapan Kiev kesini lagi, ngobrol lagi".
"Beneran Kievara?". Tanya sang Mama.
"Iya, tante. Kiev pulang ya". Kievara kemudian bangkit untuk berpamitan, dan melirik kearah Celine. "Kiev pulang ya, Celine. Makasih udah mau ketemu. Kiev seneng".
"Whatever".
Dan didalam mobil, ketika Kievara sudah sendirian, lelaki itu gugup bukan main. Hampir saja ia diberi waktu berduaan dengan Celine di kamar. Padahal hubungannya baru berjalan selama beberapa hari. Jantungnya tak mau berhenti memacu kencang, seakan mau meledak. Bukan apa-apa, biar bagaimana pun, sepolos apapun ia, Kievara tetap laki-laki normal.
Kiev.. Berduaan di kamar Celine? Astaga.. Jangan mikir aneh-aneh. Kiev mikir apa sih? Aduh, jantung gak bisa normal rasanya. Udah. Jangan mikirin yang enggak-enggak. Kiev gak boleh mikir nakal. Batin Kievara bersuara.
———