Celine kebingungan sendiri setelah kejadian yang menimpanya tadi, berjalan gontai kembali kedalam rumah, dalam keadaan menahan airmata yang sudah memaksa untuk turun tanpa bisa ditahan lagi. Dengan segala upaya, Celine berjalan masuk, melewati kedua orangtuanya yang masih berada di ruang makan, dan berlari ke lantai atas, tempat dimana kamarnya berada.
Selepas membuka pintu kamar, gadis itu bahkan tak menutupnya kembali, lantaran begitu tergesa untuk melesakkan wajahnya ke bantal. Meredam tangisan dan teriakan karena rasa sakit yang ia rasakan barusan. Seakan menghantam dadanya begitu saja. Seumur hidupnya, ini mungkin kali pertama bagi Celine merasakan yang namanya dicampakkan.
Setelah puas berteriak teredam, gadis itu kemudian merebahkan diri, menatap kearah dinding kosong di sekeliling kamarnya, merasa asing dengan perasaan yang hinggap di dirinya. Nafas Celine tersengal, seakan kebingungan sendiri untuk melampiaskan perasaan. Bukan apa-apa, sebab Celine tidak terbiasa merasakan perasaan seperti ini.
Disana, sang Mama kemudian melangkah mendekat, mengikuti langkah anak gadisnya sejak tadi yang terlihat terburu. Mama Celine, menggunakan seluruh nalurinya untuk memberi suatu hal yang jarang ia berikan pada Celine biasanya, yaitu perhatian. Akibat kesibukannya, membuat kedua orang tua Celine kadang lalai terhadap putri mereka, selalu menganggap anak gadisnya itu baik-baik saja. Kenyataannya, Celine yang manis itu tumbuh menjadi seorang yang sulit menyampaikan isi hatinya, sebab tidak terbiasa, tidak memiliki tempat untuk menyuarakan, dan biasa menyimpan semua sendiri.
"Celine...". Usapan halus di punggung Celine, begitu lembut tersampaikan oleh sang Mama, memberi tahu bahwa saat ini, ada seseorang yang bisa mendengarkan dan bersedia untuk berada di sampingnya.
Mama Celine terus melakukan gerakan repetitif di punggung Celine, menyapa lelah di pundak anaknya, yang kini bercampur dengan segenap perasaan takut, sedih dan kehilangan. Namun, daksa sang Mama tetap membisu. Memilih untuk diam dan membiarkan Celine merasakan usapannya sebagai bentuk menenangkan.
Hingga isakan itu mulai terdengar, dengan punggung sang gadis yang bergetar, menahan tangisannya agar tak terdengar jelas. Selalu begitu sejak dulu. Celine tidak pernah membiarkan kedua orangtuanya melihatnya menangis, sebab selalu ingin dianggap kuat. Sampai-sampai, gemeletuk giginya terdengar karena menahan isakan.
"If you wanna cry, then cry, baby.. It's okay. Jangan ditahan. Anggap aja Mama gak disini". Ucap Mama Celine lembut, memberi tahu Celine agar tidak mengidahkannya.
Sekuat tenaga, Celine menggeleng, masih menekan tangisannya agar tak terdengar, jawabnya terbata. "G—Gak ap—a, Cel—ine gak apa-apa".
"Sayang.. Walau Mama sama Papa gak selalu ada buat Celine, kami selalu perhatiin kamu. Mama tahu, kapan Celine happy, kapan Celine sedih. Putri kecil Mama ini dari dulu, kalo nangis, sukanya ditahan. Dadanya nanti sesak. Keluarin aja, Cel. Gak apa-apa". Ucap Sang Mama meyakinkan. Wanita itu lantas tersenyum, mengecup kening putrinya dan kembali berucap. "It's okay to be sad, sayang. Gak selamanya Celine harus baik-baik aja".
Dan disitu, tangisan Celine akhirnya terdengar, tidak lagi tertahan. Segukannya begitu memilukan, pertama kalinya menangisi presensi seseorang yang sudah mengisi hatinya tanpa disadari. Lama ia menangis, membiarkan seluruh perasaannya kali ini tumpah tak tertahan, berlaku layaknya manusia normal yang juga bisa merasakan kehilangan.
Dari ambang pintu kamar Celine, sang Papa ikut hadir. Bersandar disana dan memandangi putri kecilnya yang tak terasa sudah beranjak dewasa. Sebab sudah bisa merasakan jatuh cinta yang sebenarnya dan merasa sakit saat kehilangan. Bukan lagi putri kecilnya yang selalu merasa bak jagoan dan tidak suka menangis. Celine-nya, sudah tumbuh begitu dewasa seiring dengan berjalannya waktu. Membuatnya menyadari kalau sebagai orangtua, ia pun sudah kehilangan banyak momen berharga di hidup Celine.
———
Celine mengerjapkan matanya saat hari sudah menjelang pertengahan malam. Tak terasa, gadis itu terlalu larut dalam kesedihan, rasa bingung dan berakhir menangis hingga tertidur karena kelelahan. Tidak sedetik pun, sang Mama meninggalkan putrinya itu, terus berada disamping Celine, mengelus punggungnya, dan berakhir meninggalkannya saat Celine sudah tertidur pulas.
Perasaan yang tidak menyenangkan itu, akhirnya kembali saat Celine terbangun dari tidur. Membuatnya memegangi dada yang baru kali ini terasa begitu sesak ketika mengingat kejadian yang baru terjadi. Melihat bagaimana sikap Kievara berubah seratus delapan puluh derajat terhadapnya, seakan tidak lagi menganggapnya sebagai Celine yang begitu dicintai.
Melihat sorot mata Kievara yang seakan kehilangan binar cinta untuknya, disana, Celine baru menyadari. Bahwa selama ini, ia sudah terlalu terbiasa mendapat cinta yang begitu banyak dari lelaki itu. Dan Celine, seperti layaknya manusia lain di muka bumi ini, tidak sekali pun pernah bersyukur telah dicintai sebegitu gilanya oleh seseorang.
Kesalahannya, memang nyatanya tak mungkin bisa dimaafkan.
Tapi jika boleh jujur, Celine sendiri sebenarnya sudah melupakan taruhan tololnya waktu itu. Begitu nyamannya bersama Kievara, membuatnya merasa hubungan yang ia mulai sebagai perangkap bodoh, menjadi hubungan normal yang selalu ia jalani dengan suka cita. Meski tidak pernah terlalu ia tunjukkan.
Begitu juga dengan Lunar, yang seakan begitu mengerti sahabatnya. Sama sekali tak pernah mengungkit perihal taruhan mereka yang sudah terjadi nyaris setahun lalu. Semua berjalan begitu normal. Hubungan yang awalnya palsu itu, perlahan mengajarkan Celine satu persatu, perasaan yang belum pernah Celine ketahui sebelumnya.
Sebab bersama Kievara, Celine belajar menerima kehadiran seseorang.
Bersama Kievara, Celine mengetahui bagaimana rasanya diperlakukan bagai satu-satunya wanita di muka bumi.
Bersama Kievara, Celine belajar menjadi seseorang yang memiliki perasaan.
Kievara berlaku bak karang yang diterpa ombak. Beribu kali lelaki itu mengalami penolakan tak menyenangkan, beribu kali juga ia memaafkan. Tak hanya itu, selama ini, bukannya marah atau menyerah, Kievara malah memperbaiki dirinya, berjuang lebih keras lagi agar bisa membuat Celine akhirnya bahagia.
Jika dihitung, pengorbanan Kievara nampaknya tidak akan cukup dihitung hanya dengan jari. Lelaki itu berpegang teguh pada satu keyakinan, yang akhirnya Celine runtuhkan di akhir. Yaitu ekspektasi akan hubungan mereka yang nyatanya berjalan panjang karena kesabaran Kievara.
Sabarnya Kievara memang seluas dunia, namun dunia pun nyatanya memiliki ujung. Disaat realita yang selalu Celine sembunyikan selama ini, ternyata harus Kievara dengar bahkan bukan dari mulut Celine sendiri. Dan sialnya, gengsi seorang Celine masih terlalu tinggi untuk mengejar Kievara dan meneriakkan perasaan terjujurnya pada lelaki itu, meski ingin.
Padahal, bila memungkinkan, Celine ingin sekali berlutut dan meminta maaf pada Kievara. Celine bahkan ingin memohon, meminta agar diberi kesempatan untuk meminta maaf dan menebus segala kesalahannya dahulu. Namun semua ia urungkan. Selain gengsi, Celine juga benar-benar tidak tahu bagaimana memulainya. Celine tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaan, sekali lagi, sebab tidak pernah melakukannya.
Kekusutan yang ia mulai ini, rasanya tidak memiliki jalan keluar. Sebab saat ini, untuk menatap Celine saja, Kievara enggan. Lelaki itu mungkin sudah jijik terhadapnya. Dan Celine mengerti betul mengapa.
Bila saja penyesalan bisa terjadi di depan, mungkin Celine akan menarik segala kelakuan bodohnya dulu. Sebab kini, ia benar-benar menyesal.
Teramat menyesal hingga berharap semua hanya mimpi, yang tak ingin ia lanjutkan.