Kepala Celine nyaris pecah rasanya saat ia membuka mata. Gadis itu mengusak kepalanya, berupaya mengusir denyutan yang tak mau henti, namun sulit. Ditengah upayanya untuk bangkit, sebuah tangan membantunya untuk duduk.
"Pelan-pelan, Cel.. Duduknya pelan aja, sakit ya kepalanya?".
Suara itu terdengar begitu familiar, Celine kenal sekali suara itu. Tapi, kenapa juga ia ada di kamar Celine. Dengan cepat, sang gadis menoleh, menemukan wajah khawatir Kievara yang tengah membenarkan posisi kacamata yang lelaki itu pakai. "Kok lo disini?".
"Minum dulu, Celine. Pasti mual ya? Ini Kiev udah bawain soup buat hilangin pengar, sama ada obat juga. Pasti sakit kepalanya, kan?". Ucap sang lelaki lembut.
Seakan tersadar dari sihir, sikap sang gadis berubah seratus derajat pada Kievara. Celine menjauhkan diri dari sang lelaki. "Gak usah merhatiin gue. Gue baik-baik aja".
Kievara malah tertawa mendengarnya. "Baik-baik aja gimana, kamu tuh? Mata Celine aja bengkak begitu, mukanya juga pucat. Pasti masih lemas dan pengar kan? Gak apa, Kiev rawat Celine hari ini, ya".
Celine sontak menoleh ke arah cermin di sisi kasur. Benar juga perkataan si culun, wajah gadis itu sudah serupa mayat hidup, begitu pucat tak terkira. "Fuck. Semalam gue ngapain aja sih? Gue gak ingat".
Pipi Kievara memanas mendengar pertanyaan sang gadis. "Mm—Itu.. Apa ya? Kiev bingung jawabnya, Cel".
"Kenapa? Gue black out? Atau make out sama orang? Lo liat?". Tanya Celine mengintrogasi.
Kievara menatap Celine penuh arti. "Celine beneran gak inget? Waktu.. Celine itu.. Hmm—Cium Kiev, terus naik ke pangkuan Kiev?".
Mata sang gadis otomatis membulat. "Cium?! What? Gue cium lo? Jangan ngarang, Kiev".
Oh, kilasan apa ini tiba-tiba melintas di pikiran Celine?
Pagutan mesra ditambah perilaku nakalnya pada seseorang yang juga membalas dengan sama panasnya. Walau pudar, kilasan itu terlihat jelas, wajah yang Celine beri ciuman itu.. Milik Kievara.
Inikah ingatannya akan kejadian semalam?
Gue cium Kiev? What The Fuck?
Celine menatap lawan bicaranya nyalang. "Pasti lo yang maksa gue kan? Lo pasti gak secupu itu, iya kan? Selama ini lo cuma pura-pura cupu, terus kemarin lo manfaatin kesempatan pas gue mabuk. Iya, kan?".
Kievara menggeleng. "Enggak, Celine. Itu sama sekali gak benar. Yang duluan cium Kiev itu Celine, bahkan.. Kamu yang ajarin Kiev buat balas cium, soalnya, menurut Celine, Kiev gak bisa ciuman. Kaku. Jadi diajarin dulu. Habis itu, kamu naik ke pangkuan Kiev, cium Kiev dalam banget".
Celine sampai menganga mendengarnya. Benarkah ia berlaku separah itu semalam? Pada seorang Kievara?
"Celine bahkan.. Mm—Gimana bilangnya ya? Bergerak-gerak di pangkuan Kiev, terus ajak Kiev ke hotel, katanya buat lanjutin sekalian ajarin Kiev. Tapi, Kiev nolak kok. Kiev cuma antar Celine pulang ke rumah aja". Lanjut Kievara membeberkan fakta yang sulit sekali Celine cerna.
Gadis itu menggeleng tak percaya. "Gue gak mungkin begitu ke lo, Kiev. Jangan ngaco".
"Beneran, Cel. Celine coba tanya ke Lunar atau Akio deh, mereka sempat lihat kita semalam". Balas Kievara lagi berupaya meyakinkan. Tanpa diduga, Kievara menakup wajah Celine, memaksa sang gadis menatapnya lebih baik. "Kiev gak bohong, Celine. Kiev itu sayang Celine banget.. Buat apa ngarang cerita kayak gini? Kiev paham Celine mabuk berat semalam, makanya mungkin jadi berlaku begitu. Tapi, kamu jangan takut.. Gak terjadi apa-apa kok. Kiev janji, Kiev gak akan nyakitin Celine. Kiev akan jaga Celine, pacar tersayang Kiev".
Celine seakan diingatkan akan kejadian semalam saat mata mereka terkoneksi, sepasang mata tajam yang ditutup oleh frame kacamata itu kini mematri padanya, membuatnya sulit bergerak. Entah siapa yang memulai, tapi Celine seakan tersihir saat Kievara menyapukan ibu jarinya lembut di pipi sang gadis.
"Kamu cantik banget, baru bangun aja cantik begini, Kiev gemas lihatnya. Mimpi apa Kiev dapetin kamu yah, Cel?". Gumam Kievara sendiri.
Apa-apaan ini? Kenapa juga pipi Celine terasa panas seketika?
Sang gadis langsung menepis tangan yang menakup wajahnya, Celine berupaya bangkit, sebab deru nafasnya seakan tercekat saat mata mereka terkoneksi begitu. "Gue mau mandi dulu, badan gue lengket. Lo mending keluar".
Kievara bergerak salah tingkah. "Oh, iya.. Kiev tunggu
dibawah ya, Cel".———
Seusainya sang gadis membersihkan diri, ia langsung bergerak turun ke lantai bawah, memastikan bahwa lelaki yang tak ia inginkan kehadirannya itu sudah tak ada disana. Tapi, matanya malah menangkap pemandangan lain. Celine melihat bagaimana Kievara menata beberapa bunga menjadi satu ikatan, kemudian memasukkannya kedalam vas bunga milik Celine, ditemani sang Bibi disampingnya.
Kening lelaki itu terlihat berkerut. "Begini ya, Bi? Diikat begini?".
"Iya, gitu aja, Den. Non Celine biasanya maunya rapi begitu". Balas Bibi menanggapi.
Celine memperhatikan bagaimana senyum terpatri di wajah Kievara saat rangkaian bunga di vas itu selesai. "Selesai! Cantik banget. Celine pasti suka". Mata sang lelaki kemudian menangkap sosok Celine yang sudah lebih dulu memandanginya sejak tadi. "Celine? Udah mandinya? Makanan dan obatnya udah dimakan belum?".
"Lo ngapain masih disini?". Tanya Celine tanpa basa-basi.
Namun, ketusnya Celine tentunya tidak mempengaruhi Kievara. "Kiev tadi bantu Bibi siapin bunga segar buat kamu sembari nunggu dibawah. Nih, baru aja jadi, bagus gak? Kiev taruh di kamar Celine ya?".
"Jangan masuk kamar gue sembarangan. Lo bukan keluarga gue". Balas Celine singkat.
Raut wajah Kievara berubah, senyumnya sontak menghilang. "Ah—Maaf, Cel. Aku.. Gak bermaksud gak sopan".
"Lo pulang aja deh. Ganggu aja, gak izin dulu main dateng ke rumah orang". Lanjut Celine, mengusir secara gamblang.
Sang Bibi yang sejak tadi menyaksikan percakapan keduanya, hanya bisa merasa iba saat menyaksikan bagaimana sinar di wajah Kievara perlahan meredup, lelaki itu bahkan menunduk, menatapi vas bunga di tangannya. Detik selanjutnya, Kievara menaruh vas bunga itu dan menoleh kearah sang Bibi. "Bi, ini titip ya, nanti ditaruh di meja Celine, kayak biasa mungkin, ya? Kiev kurang tahu juga. Sekalian Kiev pamit ya, Bi".
"Iya.. Den. Nanti Bibi taruh di kamar Non". Balas sang Bibi iba.
Gantian, Kievara menatap kearah Celine dengan senyum yang dipaksakan. "Kalau gitu.. Kiev pulang ya, Cel. Maaf kalau Kiev kesannya lancang karena langsung dateng gitu aja kerumah kamu. Kiev cuma khawatir dan pengen cek keadaan Celine aja, gak maksud apa-apa lagi. Takut Celine sakit karena semalam keadaannya mengkhawatirkan. Tapi, kayaknya Celine gak apa-apa, ya? Kiev jadi tenang".
Dengan perlahan, Kievara kemudian berpamitan sekali lagi. "Makasih ya, Celine, udah terima Kiev dirumah Celine walau Kiev lancang. Nanti, kalau ada apa-apa, telfon Kiev aja. Kiev pasti langsung datang. Sekarang, Kiev pamit ya, Cel. Kamu sehat-sehat, makanan sama obatnya diminum ya".
Celine menyaksikan bagaimana Kiev berbalik setelah menyampaikan pesannya, punggung lelaki itu mulai menjauh hingga akhirnya menghilang dibalik pintu utama. Setelahnya, Celine menghela nafas panjang. Entah mengapa, satu bagian di hatinya merasakan ada yang salah dengan sikapnya barusan. Hatinya seakan nyeri saat melihat ekspresi pilu Kievara tadi.
Apa gue.. Terlalu kasar ya? Ah, masa bodo lah. Ngapain juga mikirin dia.