Pelukan hangat itu tak kunjung usai, bahkan ketika Akio berjalan masuk ke kamar Celine sesampainya ia disana untuk menjemput sang gadis. Netra Akio membulat, merasakan keterkejutan yang mengaliri di seluruh permukaan tubuh. Akio sempat berhenti di ambang pintu, sebelum memilih masuk tanpa menghiraukan keduanya dan duduk di kasur.
"Masih lama apa nggak nih?". Ujar Akio lantang, tidak menghiraukan keterkejutan di wajah dua manusia di disampingnya yang langsung memisahkan diri secara kikuk.
Celine menoleh, lalu bergerak menjauh dari Kievara untuk menutupi wajah kemerahannya karena tertangkap basah. "Lo sejak kapan disitu?".
"Lumayan lama buat nontonin lo berdua pelukan kayak bucin". Dengus Akio, menaikkan sebelah alisnya pada sang gadis.
Buru-buru, Celine mengambil tas miliknya dan berjalan menuju ke pintu. "Udah, buruan deh. Jadi pergi gak sih?".
"Celine". Panggil Kievara sebelum sang gadis berhasil keluar dari kamarnya. Lelaki itu menyerahkan jaket sweater hangat miliknya yang sengaja ia buka, menyisakan Kievara dalam balutan kaos putih polos. "Bawa ini ya, nanti kalau dingin, bisa dipake. Takut Celine kedinginan".
Celine menggigit bibirnya, kemudian menatap kearah Kievara dan Akio bergantian. Gadis itu bingung sendiri, terhalang oleh gengsi yang menjunjung tinggi. "Gak usah deh, gue kan mau clubbing, bukan mau ke gunung. Lo pake sendiri aja".
Setelahnya, Celine berjalan cepat keluar dari kamar. Gadis itu tak lagi mengidahkan kedua manusia di belakangnya. Ia hanya sempat berteriak sambil berjalan keluar. "Kio, buruan deh! Lama banget lo!".
Dari tempatnya, Akio terkekeh sendiri. Lelaki itu kemudian bangkit dan melewati Kievara, tak lupa menepuk punggungnya dua kali. "Gak usah usahain ini itu, Celine gak kayak cewek dalam impian lo".
Disana, Kievara menatapi kepergian dua manusia itu setelah mengekor sampai pintu depan. Dan setelah memastikan Celine masuk ke mobil dengan aman, lelaki itu menundukkan pandangannya, menatap kearah sweater cokelat miliknya yang lagi-lagi mendapatkan penolakan.
"Kievara?". Suara lembut dari belakang Kievara membuyarkan lamunannya, membuat sang lelaki menoleh dan menemukan sosok Mama Celine disana, masih dengan pakaian kerjanya. "Kok gak ikut Celine sama Kio?".
"Eh—Tante, maaf Kiev gak lihat. Iya, Kiev gak ikut, Celine biar sama Akio aja". Balas Kiev sembari mencium tangan Mama Celine, sopan.
Sang Mama tersenyum, menatap kearah Kievara dengan tatapan keibuan. "Kiev buru-buru? Mau makan dulu gak? Kebetulan Papa Celine hari ini pulang, tadinya mau ajak Celine makan sama-sama, tapi anaknya pergi".
Kievara yang dibesarkan dengan kasih sayang dan budi pekerti yang tinggi, pantang sekali menolak yang namanya tawaran dari orangtua. Sebab maminya mengajarkan, sebisa mungkin jika diberi tawaran, jangan menolak, kalau pun menolak, harus sehalus mungkin agar tidak menyakiti orangnya. Disana, sang lelaki menggaruk belakang lehernya yang tak gatal, kikuk sendiri.
"Mm—Memang gak apa-apa, tante? Kiev belum pernah ketemu Om". Balas Kievara ragu.
Mama Celine menepuk pundaknya, memberinya ketenangan. "Ya, gak apa-apa dong. Sekalian kenalan, biar Papanya Celine juga kenal sama pacar anaknya".
Dengan kikuk, Kievara menyetujui. Lelaki itu mengangguk dan berakhir mengikuti sang Mama dari kekasihnya menuju ke meja makan, kemudian keduanya menyempatkan diri untuk berhenti di ruang keluarga, dengan sang Mama yang berceloteh mengenai anak gadisnya. "Itu, foto Celine waktu masih kecil. Ompong dia, lucu ya?".
"Cantik, Tante". Balas Kievara sembari tersenyum, memandangi potret anak perempuan dengan rambut sebahu dan sedang tersenyum ke kamera.
Sang Mama terkekeh. "Dulu, dia tuh gak bisa diam. Maunya main terus, aktif banget deh anaknya. Tante sama Om sampai kelimpungan".