Chapter 22 - Not In The Best Condition

419 74 7
                                    

Semalam, Kievara kesulitan tidur. Lelaki itu benar-benar gelisah selama semalaman penuh, matanya tak sedikitpun menunjukkan gejala mengantuk bahkan sampai pagi menjelang. Dan ketika matahari sudah menunjukkan cahayanya, Kievara merasakan tubuhnya seakan terbakar.

Rasa panas itu menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya bergerak tak nyaman di kasur. Sebenarnya, Kievara sudah dapat merasakan kondisi tubuhnya menurun. Namun, hari ini nampaknya sudah mencapai puncaknya. Ia jatuh sakit.

Panas di sekujur kulit sang lelaki membuatnya kesulitan bernafas hingga nafasnya megap. Matanya dibiarkan terpejam, sebab jika terbuka, Kievara akan terus mengeluarkan airmata akibat suhu tubuhnya yang begitu tinggi.

Suara ketukan lembut di pintu terdengar, panggilan dari sang Mami berulang kali itu pun tak mampu Kievara respon saking lemasnya ia. Merasa tak ada respon, sang Mami membuka kenop pintu, dan terbingung saat menemukan Kievara yang masih terbaring di tempatnya. Padahal, biasanya anak lelakinya itu sudah bangun pagi-pagi sekali.

"Sayang, gak kuliah hari ini?". Ucap sang Mami sambil mendekati Kievara, kemudian terkejut sendiri saat menemukan wajah anak lelakinya yang sudah merah padam. "Kievara, kenapa? Kamu sakit, sayang?".

Dan tatkala Mami memegang dahi Kievara, wanita itu memekik. "Astaga! Panas sekali, sayang. Kamu demam, kenapa gak bilang Mami?".

Kievara benar-benar sudah tak bisa merespon, seluruh tubuhnya terasa begitu lemah tak berdaya. Dengan telaten, sang Mami langsung membawakan sebuah baskom dengan kompresan untuknya, dan membawa kain itu untuk ditaruh di dahi sang anak. "Mami panggil dokter ya, sayang? Kiev tahan sebentar ya".

Kievara mengiyakan, namun dalam hati. Sebab saat ini, untuk membuka mata saja terasa berat untuknya. Lelaki itu benar-benar dalam keadaan yang tidak baik, baik secara fisik maupun perasaannya.

———

"Apa-apaan kalian semalam nggak ajak gue?". Sungut Lunar setibanya ia di kantin, menuai tatapan risih dari kedua sahabatnya. "Mana kabarnya Akio yang traktir, pilih kasih banget pertemanan ini, gak suka".

"Pagi-pagi udah berisik aja lo". Sahut Akio balik, tidak terlalu memedulikan.

Tatapan sebal Lunar beralih, dari Akio ke Celine. "Lo juga, Cel! Sengaja ya, mentang-mentang lo sama Akio sahabatan duluan?".

Celine menatap malas, sebelum melempar fries yang ia dan Akio makan bersama. "Berisik banget nih orang, salahin Akio lah, dia yang punya acara".

Lunar menyilangkan tangan didepan dadanya. "Gue cari geng lain aja apa, ya? Geng ini mulai gak menganggap gue".

Akio menaikkan satu alisnya. "Udah, pesen deh makan sana, gue yang bayar".

Netra Lunar otomatis membulat, binar di matanya pun kembali. "Beneran? Apa aja boleh? Gak dibatasin kan?".

"Iya". Sahut Lunar seadanya.

Dalam seketika, mood Lunar berubah. "Makasih, ganteng! Be right back!".

Celine yang melihat kelakuan Lunar jadi geleng-geleng sendiri. "Kelakuan temen lo tuh diluar angkasa ya kadang". Akio tidak menanggapi, namun turut setuju. Sedetik kemudian, Celine menatap kearah Akio dengan tatapan menyelidik. "Kio".

"Hm". Sahut Akio seadanya.

"Semalam tuh gue aneh-aneh gak sih?". Tanya Celine dengan nada serius.

Akio menelan makanannya spontan. "Aneh-aneh apaan?".

Celine berupaya mengingat, namun yang muncul hanyalah sekelibatan kabur. "Gue kayak ngerasa... Nyium orang waktu di club, tapi gak inget. Lo kan jagain gue semalam, gue bener nyium orang gak sih?".

Akio menggeleng. "Enggak".

"Beneran?". Balas Celine, berupaya meyakinkan.

"Iya, Celine. Kan gue yang jagain lo". Balas Akio singkat.

Celine masih mengerutkan kening, belum sepenuhnya yakin. "Tapi...".

"I'm back bitches!". Seru Lunar menghampiri dengan nampan berisi makanan penuh dan menggunung.

"Anjrit?! Lo pesen makanan buat sekomplek?". Pekik Akio tak percaya, matanya sampai membulat.

Lunar memanyunkan bibirnya. "Kan, lo yang bilang boleh pesen apa aja, Ki, ya gue pesen. Gimana sih? Jadi laki-laki tuh omongannya harus bisa dipegang".

"Kalo ngomongnya sama anemon laut kayak lo mah mana bisa". Gerutu Akio balik, kemudian dilanjut dengan adegan rebutan makanan karena Akio menyomot makanan tiba-tiba di nampan Lunar.

"Heh! Gak ada yang bolehin ambil!". Maki Lunar pada Akio.

"Gue yang beli, terserah gue lah". Sahut Akio santai.

Dan di tempatnya, Celine terus menatap kearah Akio, merasa tidak yakin akan jawaban sahabatnya yang satu itu. Sebab Celine nyaris seratus persen yakin, semalam tadi, seseorang memang menciumnya. Terbukti dengan bibirnya yang kemerahan dan bengkak di pagi hari tadi saat terbangun dari tidur.

———

"Celine..".

Suara putus-putus Kievara sejak tadi tak mau berhenti terucap. Di tengah kondisinya yang tak bisa bangun dari tempat tidur, Kievara tidak putus meracau sendiri, diluar kesadarannya. Sang Mami yang mendengarnya jadi sendu sendiri, mendapati anak lelakinya yang seperti kesakitan.

Ada perasaan tidak tega yang terus menusuk melihat anak lelaki satu-satunya yang paling disayang itu menderita. Sebab sejak kecil, Kievara itu tumbuh dengan cinta dan segala hal yang tidak pernah kurang dari kedua orangtuanya. Segala hal yang Kievara ingin dan butuhkan, selalu dipenuhi. Hal itu membuatnya tidak pernah merasakan kehilangan atau pun kekurangan, baik dari segi apapun.

Tapi kini, wanita itu tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu sang anak. Sebab, mengenal sosok Celine yang selalu Kievara ceritakan itu saja tidak, lantas bagaimana caranya bisa menghubunginya?

"Kiev mau ketemu Celine, ya, sayang? Kalau gitu harus cepat sembuh ya...". Ucap sang Mami lembut, mencoba mengajak anak lelakinya itu berbicara.

Kening Kievara berkerut seketika, alisnya ikut saling menaut. Dengan perlahan, Maminya mengelus lembut dada Kievara, berupaya menenangkan gelisah yang terus tercipta disana. Ikatan batin itu begitu nyata, membuat keduanya bisa merasakan apa yang tidak bisa terucap. Dan bagai sihir, sentuhan perlahan itu berhasil mengantarkan Kievara hingga tenang dan tak lagi meracau.

Detik selanjutnya, dengkuran halus mulai terdengar, membuat sang Mami bernafas lega. Dari luar, suara ketukan lain terdengar, membuat wanita yang masih berjaga di kasur Kievara menoleh.

"Gimana keadaannya, Mi?". Ucap Papi Kievara dari balik pintu, yang selanjutnya berjalan masuk perlahan, takut membangunkan sang anak. "Papi langsung buru-buru cari flight begitu dengar. Takut Kiev kenapa-kenapa. Apa kata dokter?".

"Kiev kena tifus, Pi, lambungnya juga ada luka. Katanya dia kecapekan banget, terus makannya juga gak teratur sampai lambungnya luka. Tadi, dokter suggest untuk dirawat di rumah sakit, tapi Kievara sempat bangun dan seperti nolak. Jadi, Mami putusin untuk dipasang infus dulu sementara dan perlengkapan seadanya disini. Nanti kalau gak ada perkembangan, baru dirawat inap". Balas sang Mami dengan tatapan sendu, menatap kearah anak mereka.

Lelaki yang berdiri di samping kasur Kievara itu menghela nafasnya. Selanjutnya, Papi Kievara memutuskan untuk memeluk sang istri, sebab mengetahui betul betapa kuatnya ikatan batin antara dua manusia di hadapannya. "Ya sudah, gak apa. Kita jagain bareng ya, Mi. Mami jangan kecapekan".

"Kerjaan Papi gimana?". Balas sang wanita bingung.

Papi Kievara menggeleng. "Kievara lebih penting dari pada itu semua. Bisa Papi urus nanti waktu dia sudah sembuh. Sudah, Mami gak usah pikirin itu".

Pada akhirnya, sang wanita mengangguk. Keduanya masih terus saling memeluk, menguatkan satu sama lain untuk anak mereka. Bukan hal yang berlebihan memang, sebab selama ini, selama mereka hidup di dunia, Kievara memang selalu menjadi anak lelaki mereka yang ceria dan jarang sakit sampai seperti ini.

Baru kali ini, Kievara sampai tergeletak tak berdaya di kasur, kehilangan nyaris seluruh tenaganya untuk sekedar membuka mata.

———

YOU & US Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang