Semenjak hari itu, Celine tidak lagi mendapati kabar dari seorang Kievara. Tidak hanya itu. Lelaki itu juga menghilang begitu saja, tidak terlihat sekalipun di hadapan Celine, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Setelah kejadian konfrontasi kala itu, Celine tidak bisa menemui Kievara. Entahlah, rasanya ia tidak memiliki muka untuk sekedar berhadapan dengan seorang Kievara setelah kejadian hari itu.
Dua hari tepatnya Kievara menghilang. Sama sekali tidak memberi pesan ataupun menemui Celine untuk meminta penjelasan lain, hanya menghilang dan muncul di hari ketiga, tiba-tiba saja mendatangi kediaman Celine tepat pada saat weekend, dimana memang ia biasanya berkunjung untuk menjemput Celine atau menghabiskan waktu dengannya.
"Kiev?". Celine sempat terperangah saat menemukan Kievara berdiri dibalik pagar rumahnya, menatapnya lurus seakan menelisik kedalam jiwanya.
Gadis itu sendiri sampai berlarian keluar saat diberitahu oleh Bibi bahwa Kievara mendatangi kediamannya hari itu. Sempat tak percaya karena mengira Kievara masih dalam kondisi marah dan tidak mau menemuinya, namun ternyata, presensinya nyata. Kievara yang ia lihat didepan matanya itu benar nyata.
"Mama sama Papamu ada, Cel?". Tanya Kievara dengan nada datar, tidak memasang ekspresi apapun di wajah tampannya.
Celine salah tingkah sendiri. "A—Ada. Tumben kesini gak bilang dulu?".
"Aku boleh ketemu mereka?". Balas Kievara tanpa menjawab pertanyaan Celine tadi.
Celine mengerutkan kening, merasa tidak mengerti kenapa Kievara begitu ingin bertemu dengan orangtuanya setelah menghilang selama dua hari penuh. "Mm—Boleh sih. Masuk aja".
Kievara lantas membuka pintu pagar yang menghalangi mereka, kemudian melangkah masuk, melewati Celine begitu saja untuk berjalan masuk kedalam rumah. Sama sekali tidak menunggu Celine terlebih dahulu maupun menoleh kearah sang gadis yang berjalan dibelakangnya. Dilihat dari manapun, jelas ada yang salah dengan perilaku Kievara hari ini.
Celine mengikuti langkah Kievara yang terburu, masuk kedalam rumahnya untuk kemudian bertegur sapa dengan Papa dan Mama Celine yang kebetulan tengah menikmati makan siang mereka. Kedua manusia itu menoleh kearah presensi Kievara yang memberi anggukan. "Om, Tante. Maaf, Kiev ganggu makan siangnya ya".
Kievara menanti jawaban dari sang pemilik rumah, yang kemudian bersambut. Mama Kievara tersenyum ramah. "Eh, ada Kievara toh. Sini, nak, duduk. Makan bareng sama kami".
Sedang Papa Kievara melirik sekilas, sebelum melanjutkan makan siangnya. Lelaki itu memang tidak pernah terlalu ramah, persis sekali seperti Celine. Detik selanjutnya, Kievara menggeleng. "Kievara kebetulan gak lama nih, Tante. Cuma mamir sebentar aja, mau ngobrol sedikit".
Setelahnya, Kievara menarik bangku untuk setelahnya duduk, mencampakkan Celine. Tidak seperti biasanya, lelaki itu sama sekali tidak memedulikan kehadiran Celine disana. Berlaku bak Celine tidak ada. Papa Celine sendiri kini memperhatikan, kemudian angkat bicara. "Mau bicara apa? Kayaknya penting".
"Lumayan penting, Om. Tapi cuma sebentar aja kok. Kievara mau pamit aja". Balas Kievara lantang, sama sekali tidak menoleh pada Celine yang kini duduk disampingnya dan memasang tampang bingung. "Kievara mau berterimakasih sebelumnya, karena udah diterima dengan baik selama beberapa bulan ini di keluarga ini. Niat Kievara datang kesini hari ini, sebenarnya cuma mau pamit, karena sekarang Kievara dan Celine sudah gak sama-sama".
Kievara menghentikan bicaranya sejenak, kemudian menarik nafas, seakan sesak di dadanya saat kata-kata tadi keluar dari mulutnya. Lelaki itu kemudian melanjutkan bicaranya. "Kievara merasa harus kesini, berpamitan, bukan sama Celine karena mungkin Celine pun gak peduli. Tapi sama Om dan Tante, karena rasa tanggung jawab. Kievara selama ini jemput Celine dengan baik-baik, jadi rasanya, Kiev punya kewajiban untuk pamit dengan baik-baik juga, sebagai seorang laki-laki. Makasih banyak Tante, Om".
Celine menatap tak percaya pada lelaki disampingnya yang sejak tadi jelas tak menganggapnya. Netra Celine membesar seketika, tak menyangka kata-kata tadi akan keluar dari mulut seorang Kievara. Celine gelagapan seketika, tak mampu berbuat banyak namun berupaya menunjukkan bahwa ia tidak menyetujui pembicaraan tadi dengan menggelengkan kepala.
Diam mengisi meja makan siang itu, membuat masing-masing disana seakan tenggelam dalam pikirannya. Dan disanalah, Papa Celine yang menjadi pemecahnya. "Saya ngerti. Makasih sudah mau repot datang kesini dan berpamitan secara resmi. Belum pernah saya lihat ada laki-laki seumurmu di zaman sekarang yang masih berlaku demikian. Maafin Celine kalau banyak merepotkan, mudah-mudahan keputusan yang kalian ambil sudah yang terbaik, Kievara".
Netra Celine bergerak kearah sang Papa, masih menggeleng seakan memberi isyarat. Namun, sebagai sesama lelaki, Papa Celine tentu tahu bahasa tubuh yang Kievara tunjukkan. Maka ia mengabaikan putrinya yang kini seakan tengah dilanda kebingungan sendiri. Diantara itu, sang Mama ikut bersuara. "Tante.. Sedih dengernya. Tante itu udah anggap kamu kayak anak Tante juga Kiev.. Kamu anak yang baik. Tapi, pasti keputusan ini kalian ambil dengan pemikiran yang matang. Jadi, kami gak bisa bilang apa-apa. Makasih ya, Nak. Sudah mau kesini dan berpamitan".
"Sama-sama, Tante. Kedepannya, mungkin Kiev gak akan kesini lagi. Jadi, Kiev juga minta maaf kalau banyak salah dan belum bisa memenuhi ekspektasi semuanya. Mudah-mudahan akan ada orang yang cocok dan sepadan untuk Celine". Balas Kievara, menelan salivanya sendiri karena perasaan sakit yang mendera dadanya saat berbicara. Lelaki itu kemudian membawa senyum ke wajahnya. "Kalau gitu, Kievara sekalian pamit pulang ya, Om, Tante. Mesti buru-buru juga karena ada urusan lain. Maaf sekali lagi karena udah ganggu makan siangnya".
Disana, Kievara kemudian berdiri, memberi anggukan hormat terakhir pada Papa dan Mama Celine yang juga mengangguk. Terakhir, Kievara menoleh kearah Celine dan berbicara dengan tanpa ekspresi. "Aku pamit, ya, Cel. Jaga diri baik-baik".
Dilihat dari manapun, Celine tahu, pamitan Kievara untuknya hanyalah sebuah formalitas belaka, sebab lelaki itu sama sekali tak menunjukkan eskpresinya. Saking asingnya, Kievara yang Celine lihat nampak seperti bukan Kievara yang ia kenal. Begitu dingin dan tak berekspresi.
Langkah Kievara setelahnya terlihat terburu, berjalan keluar dengan Celine yang mengejarnya dari belakang. "Kiev, tunggu! Apa-apaan sih barusan? Kenapa pamitan segala ke Papa sama Mama?".
Kievara berhenti, menghela nafas berat dan berbalik kearah Celine. "Aku cuma berlaku sopan seperti laki-laki sebenarnya, Cel. Bukan laki-laki pengecut yang hilang gitu aja tanpa penjelasan ke orangtuamu setelah kita putus. Jadi kamu juga gak perlu repot jelasin kalo ditanya. Isn't it enough? Atau aku salah lagi? Aneh ya, rasanya aku selalu aja salah".
"Memang mau kemana sampai harus pamit? Lo kemana aja dua hari ini? Kita perlu ngobrol". Balas Celine tak terima.
Sang lelaki menggeleng yakin. "Maaf, Cel, aku ada urusan. Udah ditungguin driver. Tugas dan tanggung jawabku sudah selesai disini. Aku pamit".
Kievara melangkah menjauh, sempat ditahan oleh Celine yang menarik lengannya, namun ditepis begitu saja tanpa perasaan. Kievara jelas bukan lagi lelaki lembut yang dulu memperlakukan Celine bak satu-satunya. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Celine menjatuhkan airmatanya dan memanggil namanya untuk yang terakhir kali. "Kiev, dengerin penjelasan gue dulu!".
Kievara seakan tuli, lelaki itu masuk kedalam kursi penumpang mobil alphard yang membawanya kesini, tidak memedulikan panggilan Celine yang berulang untuknya. Hingga saat mobil itu menjauh, tangisan Celine makin jadi, membuatnya sampai menunduk karena perasaan asing yang hinggap di dadanya untuk yang terakhir kali.
Perasaan takut yang teramat sangat untuk yang pertama kalinya untuk Kievara.
Celine takut kehilangan Kievara.