Mempunyai orang tua yang baik, karir yang bagus, kendaraan punya, berpendidikan tinggi, dan suami baik, Sandra pasti akan dibilang wanita yang beruntung. Tak perlu berkeluh kesah, pasti semua orang juga akan mengatakan Sandra harus bersyukur.
Mereka tidak tahu, hidupnya ini hanyalah bayangan semata, ada perasaan yang masih mengganjal di hatinya, sampai Sandra tidak bisa bebas dan mengekspresikan dirinya. Cinta dan kasih sayang, Sandra terima dari orang tuanya. Hanya saja, selama dia masih hidup di dunia, Sandra hanya ingin kejujuran. Biarlah orang-orang menatapnya dengan pandangan berbeda-beda, tapi kalau bisa membuat Sandra tenang, Sandra tidak akan peduli pada mereka.
Sandra, wanita yang sudah berjuang dari nol dalam hal karir maupun ilmunya. Inginnya mendapatkan satu saja kebahagiaan bersama Fahmi, tapi Allah tidak mengizinkan. Sandra masih menebak, ke mana dia akan terus berjalan di lorong yang masih gelap dan tidak ada cahaya ini.
"Kak Sandra dari tadi ngelamun aja, mau dibawain makanan atau minuman?" tanya Febri, menawarinya hanya untuk membuat Sandra tersadar.
Kebetulan, Febri dari pagi ada di ruangannya, yang sedang memisahkan berkas-berkas yang penting dan tidak penting. Misalnya, berkas yang menawari Sandra menjadi donatur, berkas kerja sama, atau pun hal lainnya.
"Gak usah," tolak Sandra.
"Oh iya, kemarin Kak Sandra cocok banget sama suaminya. Pegawai wanita yang lain sampai terpesona sama suami kak Sandra," ujar Febri, memulai percakapan.
"Cocok?"
"Iya, tadinya kita pikir kak Sandra pacaran. Eh taunya udah jadi suami istri, emang ya kalau gak tahu faktanya itu kita harusnya diem. Maaf ya kak San, Febri sempat berpikir kayak gitu." Febri jujur, dia juga merasa malu.
"Gak papa."
Sandra mulai melamun kembali, memikirkan Arnes yang alasannya mengapa dia setuju menikah dengannya. Sandra merasa aneh, kenapa Arnes menyetujui kalau saja dia yang mengajaknya bercerai waktu itu. Apa yang sebenarnya dipikirkan Arnes. Apa di sini, cuman Sandra saja yang berkorban atas pernikahannya.
[•••••]
"Nes, misalkan proyek ini selesai. Lo mau kasih apa sama istri, lo?" tanya Ditto. Ngomong-ngomong dia sudah minta maaf atas kelakuannya yang membuang bekal Arnes waktu itu begitu saja.
"Gak tau."
"Kenapa sih, perasaan dari tadi murung mulu. Berantem sama istri, lo?"
"Dit, lo gak usah berpikir gue sama Sandra kayak pasangan suami istri yang lain. Lo tau juga, gue nikah atas perjodohan mendadak. Jadi kalau lo sadar gue aneh karena gak tau apa-apa tentang Sandra, itu wajar. Kita belum saling terbuka dan belum bisa mengakrabkan diri," kata Arnes, memberitahu sedikit apa yang terjadi.
Ditto yang masih lajang tentu tidak tahu menahu harus apa. Tapi dia kasihan, pernikahan Arnes pasti tidak ada cinta di dalamnya. Dia tidak membayangkan, bagaimana canggungnya ketika di rumah berdua.
"Kalau Allah sudah menetapkan lo sebagai takdir hidup Sandra, pasti suatu saat nanti kalian bakalan bersatu saling mencintai." Entah, Ditto berkata seperti itu juga tidak tahu kedepannya bagaimana, dia hanya mengatakan sedikit kata untuk tidak diam saja melihat temannya terlihat murung.
"Gak bisa berharap ataupun berbuat apa-apa, gue cukup menuruti apa maunya Sandra aja." Dari awal, Arnes memang sudah pasrah, tidak menuntut ini itu kepada Sandra. Cukup berperilaku baik, dan saling menghargai keputusan.
Kepikiran tentang Sandra tidak akan ada habisnya sedari awal. Sandra terus saja ada di otaknya setiap saat di mana pun Arnes berada. Baru kali ini, Arnes memikirkan seseorang sampai tidak lepas dalam kurun waktu paling lama satu hari.
Arnes tahu Sandra sakit hati melihat Fahmi menikah dengan wanita lain. Tapi kenapa Sandra tak memberontak ketika orang tuanya menjodohkan dengan dirinya. Kalau terkait hal itu, Arnes masih berpikir, mungkin saja Sandra dididik untuk tidak memberontak begitu saja. Pasti dibalik pernikahan nya ini, ada satu alasan kenapa Sandra mau menikah dengannya.
Lagi pula, Arnes juga tak mempersalahkan kejadian kemarin waktu Sandra tiba-tiba berperilaku manis kepadanya. Meski awalnya, Arnes berpikir kata-kata itu memang benar dari hati Sandra. Tapi tidak mungkin, Arnes tahu itu pasti sandiwara saja. Arnes dapat memaklumi hal itu.
"Nes, kalau pada akhirnya lo cerai gimana?" Setelah bertanya seperti itu, Ditto memukul mulutnya.
"Agak gak mungkin itu terjadi," jawab Arnes.
"Kenapa?"
"Sandra aja gak mau, apalagi gue gak bisa mengajukan cerai paksa gitu aja."
Ditto memilih diam saja, rumit emang kalau masalah rumah tangga. Mendingan Ditto mencari pasangan saja dari pada memikirkan rumah tangga Arnes yang jelas membingungkan dirinya.
[•••••]
Hujan kenapa harus turun di saat hati Sandra bimbang, kenapa harus menambah ketakutannya. Rasanya, ini tidak seperti bersama Arnes, hujan saat itu begitu menyenangkan, Sandra pikir ketakutannya akan hilang begitu saja. Dia salah, traumanya tidak akan pernah hilang, mungkin saja Sandra harus mengingat hal pahit itu untuk selamanya.
Lama menunggu Arnes, Sandra ikut bersama pegawainya yang memakai motor. Tujuannya sama, tapi Sandra harus kuat menahan, meski tubuhnya tertutupi oleh jas hujan. Ketika mau menaiki motor, Sandra tak sengaja melihat mobil Arnes melintas begitu saja dihadapan nya. Matanya juga melihat ada seorang wanita di dalamnya.
"Ayo, Bu. Keburu deres banget hujannya."
Tak memikirkan lagi, Sandra naik, memegangi pinggang pegawainya yang untungnya dia perempuan. Perjalanan memakai motor rupanya sedikit cepat dari mobil.
Sandra turun, tidak lupa mengucapkan terima kasih. Sampai ketika dia ingin masuk ke dalam rumah, Arnes memanggilnya, sedikit berlari setelah turun dari mobil.
"Kamu kenapa gak nunggu aku?" Arnes bertanya setelah sampai di teras rumah.
"Enggak." Suara Sandra tak jelas, tubuhnya menggigil kedinginan.
Sandra masuk ke dalam rumah di susul Arnes yang berusaha menyamai langkah nya bersama Sandra.
"Maaf, aku tadi nganterin dulu–"
"Terserah kamu, Ar," sela Sandra terlebih dahulu.
Sandra membersihkan tubuhnya, dan langsung tidur ketika persiapan tidurnya sudah selesai. Arnes sedari tadi memerhatikan, dia menghela napasnya. Sangat jelas kalau Sandra menghindarinya.
Arnes tak memaksa, dia menghargai keputusan Sandra yang mungkin tidak ingin berbicara dan melihat wajahnya. Tapi, semua itu Arnes butuh alasan. Kalau saja dia ingin Arnes pergi, itu salah satu hal yang tidak bisa Arnes turuti. Bagaimana pun juga, Sandra adalah istrinya, dia tidak akan pergi ke mana pun, sebelum Sandra menyuruhnya pergi.
Hujan masih mengguyur, Arnes tahu Sandra belum tidur dan ketakutan dibalik selimut yang menutupi setengah tubuhnya yang membelakanginya yang sudah tertidur juga di samping Sandra.
"Sandra," panggil Arnes lembut. Suaranya sangat kecil.
Tidak ada sahutan, punggung itu tetap belum berbalik menghadapnya.
"Kalau kamu takut, ada aku di sini. Kamu harus tenang ...," ujar Arnes.
Tak lama, petir pun terdengar kencang. Sandra terkejut sampai berbalik menghadap Arnes dan mendekatinya.
Jantung Sandra berdegup kencang, suhu tubuhnya yang dingin, di tambah ketakutannya yang membuat tubuhnya juga bergetar hebat. Arnes dapat merasakannya, karena Sandra berada di dekatnya tanpa jarak.
"Istighfar aja," saran Arnes.
Supaya tidak terlalu sepi, Arnes bersholawat dengan suara tak terlalu keras. Tangannya menepuk lembut punggung Sandra agar tenang dan tidak terlalu panik.
"Kalau ada masalah, ceritain. Gak usah di pendem sendiri, keluarkan emosional kamu. Kalau sedih, nangis aja. Kalau marah, marah aja sebentar. Itu hal yang normal buat dilakukan sama manusia, tapi harus tahu juga batasannya." Tutur kata Arnes santai, mencoba agar Sandra bisa terbuka kepada dirinya sendiri.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm With You [END]
SpiritualSandra wanita yang sulit mengekspresikan dirinya. Sulit mengeluarkan emosional yang kerapkali dia merasa marah, sedih, dan bahagia. Kepribadiannya yang seperti itu, sangat sulit ditebak oleh siapapun. Apalagi untuk orang didekatnya, yang sudah Sand...