05 : because the umbrella is different

63 4 0
                                    

✿happy reading✿

Sejak perseteruan tempo hari, Nata dan Hanabi melangsungkan perang dingin sampai saat ini. Nata sudah mencoba untuk melemahkan egonya, tapi Hanabi -yang memang menyebalkan dari lahir- tak mau menerima perdamaian dari Nata. Katanya, perang dingin antarnegara saja cukup lama berlangsungnya, masa iya mereka harus segera berdamai?

Agi berusaha membayangkan dimana letak logika pada argumen tersebut. Namun, jalan pikirnya memang tak sepadan dengan Hanabi yang sudah banyak dicekok oleh sejarah dunia. Ia tak habis pikir dengan isi kepala kakak perempuannya itu.

Hanabi akan berekspresi biasa saja di setiap waktunya. Namun, ketika sang kakak hadir wajahnya akan bereaksi masam, seolah perdamaian dunia cukup jauh untuk dicapai. Nata pun terkadang keras kepala, sesekali menyindir adiknya. Itulah alasan kenapa Hanabi tak mau mengakhiri perang dingin ini.

Untuk makan malam, Hanabi membuat mie instan. Hanya untuknya sendiri, tidak sedikit pun berbagi pada Nata yang seringkali mondar-mandir melewatinya. Sedangkan Hanabi tak acuh, ia fokus memperhatikan layar televisi, sesekali suapan mie masuk ke dalam mulutnya. Karena lelah sendiri berjalan kesana-kemari tanpa tujuan, akhirnya Nata berakhir duduk di sofa empuk dekat Hanabi.

Datanglah Agi dengan kepalanya yang sedikit kelimis lantaran diluar hujan cukup deras mengguyur kota. Hal itu mengundang tanya di wajah dua saudara yang saling diam sedari tadi. Hanabi tak berlama-lama dengan itu, ia kembali pada aktivitasnya.

"Dari mana, Gi?" tanya Nata.

"Abis anterin buku paketnya Andi. Tadi kebawa pas pulang sekolah," jawab Agi yang lekas duduk di samping Nata, sedangkan pandangannya tertuju pada mie instan yang menggugah selera. Terlebih lagi, mie instan itu adalah varian kesukaan Agi.

"Kamu keluar gak pake payung, Gi?"

"Pake kok, Bang."

"Terus kenapa sampe basah gitu?"

"Tadi payungnya kesamber angin. Langsung meleyot besinya, Bang. Kasian."

Hanabi terdiam beberapa saat dengan mulut mengunyah penuh. Kemudian, ia menelannya dengan sekaligus sebelum angkat bicara. "Kamu pake payung siapa? Bukannya payung kamu rusak ya?"

"Punya kak Nibi."

"Kapan kamu minjem payung aku?"

"Tadi. Kak Nibi lagi di kamar mandi. Udah jawab juga kok." Selanjutnya Agi menirukan perkataan Hanabi tadi. "Kak Nibi bilang 'ambil aja'. Ya udah aku ambil payung yang ada di meja."

"Bukannya kamu minjem charger hp aku?" beo Hanabi lagi, masih mode lemot.

"Enggak. Aku pinjem payung, kuping kak Nibi ketutup semen kali." Agi mengedikkan bahu dan berceletuk sekenanya.

"Wait?" Hanabi mengangkat tangannya, dan wajahnya kini tertuju dengan serius ke arah Agi. "Kamu bilang payung yang ada di meja, 'kan?" tanyanya.

Agi mengangguk jelas dengan kedipan mata bingung. Sekilas ia menoleh pada Nata yang berperan sebagai piguran di antara kedua adiknya.

"Meja belajar?"

Agi mengangguk lagi ketika Hanabi kembali bertanya. Sedetik kemudian, muncul'lah tatapan Hanabi yang seolah siap menjadikan Agi sebagai tumbal proyek.

"Payungnya sekarang mana?"

"Agi simpen diluar, patah soalnya."

Hanabi melotot dengan mata yang nyaris keluar. Ia lekas berlari keluar rumah dan melihat wujud payung biru milik Alby. Patah, bentuknya hancur seolah telah melewati hujan badai dan angin ribut. Agi adalah pemilik tangan yang ceroboh. Bukan Agi namanya jika tidak merusak barang-barang yang dipegangnya.

"AGIIIIIIII?!!!!!!"

Hanabi kembali masuk dengan teriakan berangnya, terhadap adik yang durhaka. Ya, Agi lebih pantas disebut adik durhaka. Tidak adik, tidak kakak, keduanya selalu sukses membuat Hanabi naik pitam.

Agi langsung berlindung di belakang tubuh kekar Nata. Kini Agi dalam keadaan terancam dengan tatapan maut yang Hanabi berikan. Dada perempuan dengan rambut dicepol itu naik-turun. Ekspresi wajahnya merah padam, jelas sekali Hanabi marah pada siapa.

"Gak mau tau! Ganti payungnya sama yang baru?!" sentak Hanabi. Ia melemparkan payung itu ke depan kakaknya yang sejak tadi tutup mulut, kicep. Ia tak mau bicara, lantaran takut jikalau emosi Hanabi semakin menyala-nyala.

"Payungnya masih baru, Agiiiiii! Itu punya orang, bukan punya akuuuuu?!!" Hanabi meraung dan nyaris menangis karena jengkel.

"Tinggal beli lagi aja, Nib. Kamu kok ribet banget?" Akhirnya Nata memberanikan buka suara, melupakan perang dingin mereka.

"Tapi aku gak pernah liat payung ini dimana pun! Pokoknya aku gak mau tau, Agi harus ganti! Warnanya harus sama, mereknya juga!"

"Oke-oke. Besok aku beliin deh yang baru. Aku coba cari di supermarket." Nata berusaha membujuk Hanabi yang sudah menangis.

"Besok harus dikembaliin ke pemiliknyaaaa! Pokoknya cari sekarang! Kalo enggak aku bakalan marah sama kalian berdua!" Hanabi lekas berlalu dari hadapan dua wajah yang menyebalkan itu. Ia pergi ke kamarnya dengan membanting pintu begitu keras.

Nata mengembuskan napas satu kali tarikan melihat kelakuan adik pertamanya itu. Wataknya memang keras seperti dirinya, tapi Nata bersumpah bahwa watak Hanabi lebih keras lagi daripada itu. Pantas saja kedua orang tuanya suka elus dada menghadapi Hanabi. Hanabi yang jarang bicara di lingkungan luar, beda cerita dengan Hanabi ketika di rumah. Ya, seperti inilah wujudnya.

"Bang Nata," cicit Agi yang sudah berkeringat dingin. Tak ada lagi yang lebih menyeramkan selain amukan Hanabi yang hampir mengguncang rumah mereka. "Gimana dong? Kak Nibi gak bakalan reda marahnya kalo payungnya belum diganti."

Nata hanya diam menatap Agi dengan wajah datar.

"Suer, Bang." Agi mengangkat dua jarinya. "Agi gak tahu kalo payung itu bukan punya Kak Nibi."

"Ya lagian, kenapa juga kamu gak jaga baik-baik barangnya kalo minjem? Kebiasaan!" Nata berdecak samar ketika Agi mengerucutkan bibirnya dengan wajah memelas. "Ya udah, sekarang sana ganti baju. Kita cari payung yang sama persis di supermarket."

"Udah malem, Bang."

"Terus, kamu mau Nibi hancurin rumah ini?"

"Ya enggak juga sih."

Akhirnya kakak beradik itu pergi ke supermarket yang masih buka. Mereka mencari-cari payung yang serupa. Namun, tak kunjung ditemukan. Ada yang warnanya sama, tapi ada gambar karakternya. Sedangkan payung yang Agi rusak itu tak bermotif, alias polos.

Akan tetapi, meskipun sulit, keduanya tak menyerah sampai mereka menemukan payung yang warnanya sangat mirip, bentuknya pun sudah tak diragukan lagi. Mereka tak berlama-lama untuk memeriksa, karena waktu sudah sangat larut. Mereka lekas pulang setelah mendapatkan apa yang dicari, lantaran khawatir pada Hanabi yang sendirian di rumah.

Ketika mereka sudah sampai rumah, Nata lekas pergi ke kamar Hanabi, berniat menyimpan payung baru tersebut pada tempatnya. Namun, Nata melihat Hanabi yang sudah tertidur pulas di ranjangnya. Posisi selimut dan bantal tak selaras dengan tubuh yang berpakaian kebangsaan di rumahnya ; kaos kebesaran dan training jogger. Lantas, Nata memperbaiki posisi tidur Hanabi dan menarik selimut untuk adiknya itu.

Sebelum selimut benar-benar menutupi tubuh ringkih itu, Nata melihat buku yang berada di atas dada adiknya. Ia berdecak samar dan geleng-geleng kepala, adiknya itu memang obsessed terhadap bacaan yang berat, seperti buku fantasi yang dipeluknya itu.

"Kamu bisa banget ya tidur nyenyak gini? Padahal aku sama Agi kesusahan nyari payung di supermarket." Nata mencubit ringan hidung mancung adiknya. "Ch! Dasar!"

Setelah menyelimuti tubuh adiknya dengan sempurna, Nata mematikan lampu dan keluar dari kamar Hanabi. Alih-alih berperan sebagai kakak, Nata itu lebih cocok menjadi orang tua. Sebagai anak tertua di rumah ini, Nata seringkali menggantikan peran kedua orang tuanya yang kerapkali pergi dinas keluar kota. Sudah jelas sekali, lelaki unik itu yang paling paham terhadap kedua adiknya.

✿to be continued✿

09 April 2023
syndrumy

Time On WednesdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang