✿happy reading✿
Hentakan kaki di teras rumah menimbulkan percikan air dari tubuh masing-masing yang kebasahan. Menyadari seri di wajah Hanabi yang tampak gembira, Agi lantas bertanya, "Kak Nibi udah gak marah lagi sama Agi?"
"Sebenernya sih masih kesel, tapi gapapa deh, mood aku hari ini lagi baik. Kamu, aku maafin!" ucap Hanabi sebelum masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Agi menyunggingkan senyum lebarnya. Kalau sudah dimaafkan, Agi jadi lebih tenang. Agi bersyukur bahwa Hanabi adalah tipikal perempuan pemaaf meskipun amukannya nyaris menyeimbangi gorila. Agi bergidik kedinginan, tubuhnya yang kehujanan baru bereaksi sekarang.
Mobil Honda jazz masuk ke pekarangan rumah. Pintu rumah yang hampir rapat itu terbuka kembali, menyambut kedatangan sang kakak tertua. Di tangan kekarnya itu terdapat sebuah kantong kresek putih. Setelah mengunci mobilnya, Nata memusatkan perhatiannya pada Agi yang berdiri di ambang pintu.
Netra Nata menelusuri tubuh Agi dari bawah sampai atas. "Kamu hujan-hujanan, Gi?"
"Enggak, sih. Kebasahan doang," cetus Agi di tengah-tengah tubuhnya yang menggigil.
"Cepetan mandi pake air anget," titah Nata dengan raut cemas di wajahnya. "Nanti kalo masuk angin malah ngerepotin satu rumah lagi."
Agi berdecak samar sebelum berlalu dari hadapan Nata. Sedangkan laki-laki yang lebih tinggi dari Agi itu membuntuti dari belakang. Lehernya celingukan ke setiap sudut rumah, dan yang terakhir mengarah ke arah tangga. "Nibi udah pulang, Gi?"
"Udah, dia juga hujan-hujanan bareng Agi." Agi menjawab sebelum masuk ke dalam kamar mandi yang ada di ruang tengah.
"Kayak anak kecil aja," gumam Nata.
Nata meletakan barang belajaannya di atas meja. Sebelum pulang ke rumah ia mampir ke supermarket terlebih dahulu untuk belanja bulanan lantaran persediaan bahan makanan di rumah sudah habis. Selain menjaga adik-adiknya, Nata juga memperhatikan segala kebutuhan di rumah. Di samping keinginannya yang agak out of the box, Nata adalah kakak yang baik dan pengertian ... sedikitnya dia juga menyebalkan.
Beberapa saat kemudian, Hanabi tiba-tiba datang dengan pakaian kebangsaannya ; training jogger dan kaos kebesaran. Ia menjatuhkan dirinya di sofa empuk. Sementara itu, Nata tengah sibuk dengan ponsel di single sofa. Hanabi memicingkan matanya kearah sang kakak sambil memegang perut.
"Aku laper. Bang Nata gak bawa makanan yang bisa langsung di makan?" Hanabi melirik kearah meja, tempat di mana bahan-bahan makanan menumpuk.
"Gak keburu. Aku buatin mie instan spesial aja, gimana?" saran Nata.
Hanabi terdiam beberapa saat dengan kedipan mata yang bertempo. "Gak usah pake kata 'spesial', deh. Aku maunya mie instan yang normal aja."
Setelahnya Hanabi tersenyum kaku. Nata memang baik, mau membuatkan mie instan spesial untuk adiknya. Namun, 'spesial' yang Hanabi ketahui bukanlah spesial pada umumnya. Nata akan menciptakan bumbunya sendiri dengan resep yang tak bersumber. Selalu terbukti bahwa pada akhirnya mie instan ala-ala Nata adalah makanan dengan rasa terburuk yang pernah Hanabi cicipi.
"Semua makanan buatan aku normal kok, Nib." Nata tersenyum tanpa merasa ada yang janggal pada ekspresi Hanabi.
"Maksud aku, Bang Nata buat mie instannya pake bumbu mienya aja, jangan meracik sendiri."
"Tenang, Nib. Abang sekarang udah lebih jago masak."
Hanabi malah makin khawatir melihat tampang wajah Nata yang terlalu percaya diri. Sebenarnya, ia tak mau menjadi bahan eksperimen Nata. Kalau dikatakan dengan jujur, Hanabi takut menyinggung perasaan abangnya. Sesaat kemudian, Hanabi melemparkan tatapannya pada Agi yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggangnya. Satu ide terlintas dalam benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time On Wednesday
General Fiction"Jika kamu adalah sebuah buku, maka akan aku baca berulangkali tanpa pernah merasa bosan. Sebab, kamu adalah sejarah singkat yang indah dan melekat." -Hanabi Nibiru