✿happy reading✿
"Happy birthday to you!"
"Happy birthday to you!"
Nyanyian ulang tahun yang dilantunkan oleh Hanabi dan Nata hanya direspon dengan wajah tertekuk dan raut kusut kemelut oleh Agi. Manusia yang satu itu tak memperlihatkan perasaan senang sama sekali terhadap kue dengan lilin menyala di atasnya yang disiapkan oleh kedua kakaknya.
"Ayo make a wish dulu sebelum tiup lilinnya, Gi." Hanabi berseru pada Agi yang tak segera melakukan salah satu ritual ulang tahun tersebut.
Dengan wajah malas, Agi menutup mata untuk beberapa saat. Lalu, meniup lilinnya tanpa basa-basi, hingga benda yang menjadi tumpuan api tersebut mengeluarkan asap kecil yang tak lama kemudian menghilang tertelan udara. Bersamaan dengan itu Hanabi dan Nata bertepuk tangan untuk melakukan selebrasi atas bertambahnya umur sang adik yang dulunya masih Nata gendong usai bermain di taman komplek setiap sore. Tapi rupanya, hal itu tak cukup menghibur Agi yang memang tak berada dalam suasana hati yang bagus.
Hanabi saling lirik dengan Nata ketika Agi menundukan wajahnya dan tak mengatakan apapun. Sejak tadi, yang ramai bersuara hanyalah kedua kakaknya. Sedangkan Nata mengedikkan bahu untuk menjawab keheranan Hanabi yang tercetak jelas di wajahnya.
"Gi," panggil Hanabi ragu. "Dari tadi tuh muka ditekuk mulu, kenapa sih?"
"Setiap ulang tahun Agi, Mama sama Papa selalu nggak ada. Dari pagi juga mereka nggak ada tuh kirim pesan atau telepon Agi buat sekedar kasih ucapan selamat. Mereka cuma sibuk kerja, kerja, dan kerja."
Sekalinya berbicara, Agi malah membuat suasana malah menjadi kaku. Nata tak merespon. Nata pun satu pemikiran dengan Agi, tapi Nata sudah dewasa, ia bisa memahami orang tuanya dengan baik. Sebab, Nata tahu, orang tuanya sibuk bekerja demi kebaikan mereka juga.
Sedangkan Hanabi tak merespon bukan karena ia mengerti seperti sang kakak, melainkan ia tengah merenungi perkataan Agi. Jika dipikir-pikir lagi, setiap hari ulang tahunnya pun, kedua orang tuanya tak ada di rumah dan sibuk bekerja, bahkan mereka hampir tak ada waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Hanya ada waktu-waktu tertentu untuk mereka menghabiskan waktu bersama, itu pun tak lama.
"Masih ada aku sama Nibi, Gi. It's okay. Mama sama Papa pasti udah siapin hadiah buat kamu. Mungkin mereka lupa kirim pesan atau kirim hadiahnya."
Nata berusaha sedikit menghibur Agi. Namun, rupanya adik bungsunya itu tak merasa terhibur sama sekali, raut mukanya semakin mengerut kecewa. Satu bulan ini, kedua orang tua mereka nyaris tak pernah pulang ke rumah. Oleh karena itu, Nata lah yang bertanggung jawab atas semua yang adik-adiknya perlukan. Nata pun bertanggung jawab atas segala sesuatunya di dalam rumah ini.
"Agi mau tidur aja." Agi beranjak dari meja makan tanpa menyentuh kuenya sedikit pun.
Nata dan Hanabi hanya menatap punggung kurus itu sampai hilang di tangga menuju lantai dua. Beberapa detik setelahnya, Hanabi mengembuskan napasnya dengan berat, tangannya mencolek cream kue tanpa minat, tapi tetap ia cicipi.
"Yang Agi bilang ada benernya juga."
Celetukan yang bersumber dari wajah murung di sampingnya membuat Nata menoleh. Kemudian, laki-laki beralis tebal itu melepaskan napas ringan sebelum berkata, "Menurut aku, yang Agi bilang itu nggak bener, Nib."
Hanabi menggulirkan kepalanya untuk lebih jelas mendengarkan perkataan Nata.
"Mama sama Papa emang sibuk kerja. Tapi aku yakin mereka masih peduli sama kita. Ucapan selamat ulang tahun di setiap tahunnya dari mereka itu nggak penting, yang penting kasih sayangnya." Nata menjeda kalimatnya dengan memposisikan tubuh menghadap Hanabi langsung.
"Mungkin sebagian orang mendapatkan kasih sayang lebih dari orang tua mereka. Seperti disiapkannya sarapan setiap pagi oleh seorang ibu. Lalu, makan malam bersama dan bercerita hal-hal yang dilalui sepanjang hari. Tapi, coba deh telaah lagi, apa yang hilang dari mereka?"
Hanabi mengernyitkan keningnya. Rupanya Hanabi belum sepenuhnya menangkap apa yang dimaksud oleh Nata.
"Mereka punya waktu, tapi mungkin mereka gak punya kehidupan yang lebih dari layak seperti kita, Nib. Kita bisa beli ini, beli itu, beli apapun. Mereka belum tentu bisa."
"Rezeki orang tuh beda-beda, Nib. Ada yang punya uang banyak tapi mereka gak banyak terima kasih sayang. Ada yang punya uang banyak tapi mereka sakit dan uangnya dipakai untuk berobat, ada juga yang nggak punya teman tapi keluarganya aman sentosa, ada juga yang keluarganya broken home, tapi punya banyak temen diluaran sana. Tuhan itu adil, semua udah diatur dan punya takarannya masing-masing, jadi gak boleh ngerasa paling kekurangan. Oh ya, dan ada juga orang yang punya orang tua sibuk kerja kayak orang tua kita, tapi kita nggak merasa kekurangan apapun soal finansial."
"Intinya, bersyukur aja, Nib. Orang tua kita melimpahkan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda, yaitu dengan cara memberikan kehidupan yang layak buat kita. Jadi, kamu paham maksud aku, 'kan?"
Hanabi tak berkutip sama sekali. Ia terpukau dengan pemikiran Nata yang begitu bijak dan dewasa. Padahal di setiap harinya Nata selalu memperlihatkan tingkahnya yang agak random, namun di sisi lain Nata memiliki keistimewaan dalam menata pikirannya.
Di waktu-waktu tertentu Nata memang sangat berguna untuk membuka pikiran siapapun termasuk pikiran Hanabi yang sempat melenceng perihal kedua orang tuanya. Tutur kata kakaknya itu selalu berhasil mendobrak dan menghempaskan pikiran-pikiran buruk dalam kepalanya.
Tak salah ayahnya menjadikan Nata sebagai pemimpin kedua di dalam keluarga dan rumah ini. Bahkan kedua orang tuanya lebih mempercayai Nata yang mengurus segalanya di rumah ini di bandingkan asisten rumah tangga. Keluarga mereka sedikit trauma memperkerjakan orang asing di dalam rumah sejak peristiwa beberapa tahun silam.
Saat itu, Agi dan Hanabi masih berada di sekolah dasar. Sedangkan Nata berada di sekolah menengah pertama. Waktu Nata tak sebanyak Agi dan Hanabi di rumah. Begitu pun orang tua mereka yang memang sudah sibuk bekerja sejak dulu.
Agi yang masih tak mengerti apa-apa seringkali menerima kekerasan tak beralasan dari seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka. Sedangkan Hanabi tak menyadari hal itu, karena hanya Agi yang mengalaminya. Awal mula hal itu terungkap adalah kecurigaan Hanabi yang seringkali melihat Agi menangis kesakitan, hingga menyaksikan sendiri bagaimana perlakuan orang yang dipekerjakan oleh kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, orang tua mereka memutuskan untuk tak lagi memperkerjakan siapapun. Sejak saat itu pula Nata lah yang bertanggung jawab mengurus kedua adiknya. Namun, saat itu kedua orang tuanya masih sering pulang ke rumah, belum sibuk dinas di luar kota atau di luar pulau. Jadi, mereka masih bisa terpantau.
"Nib," tegur Nata, lantaran Hanabi tak kunjung merespon. "Malah bengong. Paham gak maksud aku?"
Hanabi tersenyum canggung berada di radar terdekat dengan Nata dalam mode cakap membuatnya agak menciut. "Iya, paham." Selanjutnya wajah Hanabi kembali murung. "Tapi Agi belum tentu paham."
"Gapapa, biarin aja. Nanti aku yang ngobrol sama Agi. Dia cuma kesel gara-gara nggak dikasih izin pergi ke Bali."
"Beneran nggak dikasih izin, Bang?"
"Iya, tapi aku lagi berusaha bujuk Mama sama Papa. Mudah-mudahan bisa dibujuk sih."
Meskipun suara diakhir kalimatnya terdengar ragu, Hanabi yakin Nata pasti bisa membujuk orang tua mereka agar mengizinkan Agi untuk pergi ke Bali. Anak satu itu sudah sangat antusias untuk pergi berlibur bersama keluarga Andi, kasihan jika rencananya batal.
✿to be continued✿
12 desember 2023
syndrumy
KAMU SEDANG MEMBACA
Time On Wednesday
Fiksi Umum"Jika kamu adalah sebuah buku, maka akan aku baca berulangkali tanpa pernah merasa bosan. Sebab, kamu adalah sejarah singkat yang indah dan melekat." -Hanabi Nibiru