🥤62. The Ombrophobia

42 6 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Mentari bersinar cerah, namun udara sejuk menyelimuti desa di lereng pegunungan hijau nan asri, menyajikan perkebunan teh sejauh manapun mata memandang.

Gerombolan anak-anak bersepeda melewati sebuah kios kecil tempat menjual barang serba ada.

"Nuhun teh," Seorang gadis berkucir kuda menerima barang yang di belinya sembari tersenyum manis. Matanya membola ceria melihat kakak lelaki dan rombongan teman temannya baru bersepeda melewati Imelda.

Di pandangnya langit yang membentang indah. "Ah, langit birunya cantik banget... pas banget buat gangguin bang Diyo. Ikutan ah."

Buru-buru dia mengendarai sepeda ungu baru miliknya. Imel sebentar lagi SMP dan dia minta sepeda sebagai kado kejuaraan umumnya pada mama. Biar bisa berangkat sekolah bareng Bang Diyo, Imel sudah ga mau di antar mama lagi, malu katanya.







Lama dia mengikuti enam pemuda SMP itu berkeliling, di hari minggu begini mereka pasti hendak melihat pameran di kampung sebelah gumam Imel suudzon dalam hati. Ia mencebik abangnya yang sering tak mau mengajaknya bermain lagi.






Imel tertawa-tawa saat Sepedanya menggelinding tanpa perlu di kayuh saat melalui jalan aspal menurun yang panjang.

Lalu ia bersungut-sungut kesal karena harus menaklukan jalanan alami di tengah perkebunan teh yang sangat luas. Kadang menurun, kadang menanjak, kadang becek, sangat jarang menjumpai tanah berbatu.

Ingin dia berteriak dan merengek minta pulang pada abangnya, karena Imel sudah capek. Dia tidak suka kalau di ajak berolah raga, Imel menyesal mengekori.

Sampai ia melihat hal ganjil dari panutannya di depan sana, seorang dari enam pemuda itu berbelok mengambil jalan berbeda.

Diamati dengan seksama, senyum Imelda merekah lebar.

"Abang Korea!"









Pemuda berjaket putih itu sesekali melihat ke arah teman-temannya yang tetap melaju lurus berbeda haluan dengannya.

Senyum tipis tersungging merasakan aroma segar yang ia suka semakin menguar beriring bunyi riak air dari sebuah curug.

Akhirnya ia sampai di tempat ini lagi, sudah sebulan Jovan pindah ke Indonesia namun ia mengalami banyak kesulitan di lingkungan baru, sekolah bahkan pergaulan pasti akan lebih mudah seandainya saja ia tak terkendala bahasa.

Meski mamanya sering mengajari bahasa Indonesia tapi tetap saja, Jovan masih kesulitan melafal dan sedikit minder untuk menggunakannya. Selain bahasa inggris Jovan  kerap kali terpaksa menggunakan bahasa tubuh tuk berkomunikasih dalam pergaulan. Buat ia kadang bersedih sebab kesulitan beradaptasi.

Dua minggu lalu, ia di buat sangat terpesona oleh keindahan desa tempat Mamanya berasal. Diyo dan teman-temannya yang mengajak.




Jujur disini, sangat berbeda dengan Singapura yang sangat maju dan serba mudah, yah namanya kota tak bisa di bandingkan dengan desa. Namun Jovan akui alam Indonesia Juara.

Our Blue Sky : JOVAN (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang