PART 7.

34 23 9
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Saat ini mata elang Rion bergantian memperhatikan jalan sekaligus memperhatikan cewek berambut seleher di sebelahnya yang sepulang makan tadi anteng mengelus perutnya. Mungkin cewek itu merasa begah lantaran nambah dua piring dan masih memesan dua bungkus lagi untuk di bawa pulang.

Aneh, tapi dia terlalu sempurna buat di sebut aneh. Batin Rion geleng-geleng.

Kana spontan menegakkan tubuhnya saat melihat banyak pedagang kaki lima di depan kompleknya. Ia menoleh pada Rion yang asyik bergoyang sesuai alunan musik radio. "Lo mau jajan gak?"

Sontak Rion melayangkan tatapan heran. "Lo masih mau jajan? Kan lo masih ada nasi dua bungkus itu,"

"Oh iya," ucapnya lalu tubuhnya kembali merosot.

"Astaga, lu makan banyak tapi kok gak ninggiin sih?"

"Aneh emang, padahal gua masih minum susu sampe sekarang-STOP!"

Ccitttttt

Rion refleks menginjak pedal rem hingga menimbulkan suara decitan yang lumayan keras. "Kenapa cok?!"

Kana menyengir. "Udah sampe, rumah gue gak jauh dari portal utama,"

Demi Upin Ipin jadi gondrong, ingin rasanya melempar Kana ke pulau pulu-pulu. Rion sempat panik bukan main, ia pikir penyebab Kana berteriak adalah karena ia akan menabrak seseorang atau mungkin seekor kucing. Nyatanya, sudah sampai. Cowok itu hanya bisa mengelus dada sabar.

Segera Kana turun dari mobil, mengitarinya dan berdiri tepat di depan rumah tingkat dua berpoles putih dengan pagar hitam setinggi dua meter. Ia membungkuk saat Rion membuka kaca mobil. "Thanks traktiran sama mapnya, jangan bosan-bosan ya."

Rion menanggapinya dengan rotasi mata malas lalu melajukan mobil meninggalkan pekarangan rumah Kana. Sebelum benar-benar berlalu, mata Rion tak sengaja bertemu dengan mata hitam milik seseorang dari teras rumah Kana.

Kana mengendus tubuhnya sendiri. "Gila wanginya Rion gak ngotak,"

Satu tangan berpegangan pada pagar besi rumahnya seolah mleyot tak kuasa dengan harum parfum cowok itu yang menempel padanya. Di dalam imajinasinya, tercoret sudah salah satu wishlistnya selama ini yang berada di urutan pertama, yaitu nemuin cowok wangi selain Keza.

"Tapi kenapa harus si kuyang, anjir?" Monolognya.

Namun, rasa mleyotnya sirna begitu saja kala ia memasuki pagar dan mendapati Keza bersandar di daun pintu.

Kana mengerjap sebelum akhir berlari kecil menghampiri. Saat hendak membuka alas kaki, ia baru sadar kalau dirinya masih memakai sendal Rion dan sepatunya tertinggal di kolong kursi. buru-buru Kana merogoh ponsel di saku rok hendak menelfon.

"KUYANG SEPATU GUE KETINGGALAN!" Pekik Kana setelah telfon terhubung.

"Gua udah di jalan raya,"

"Terus sepatu gue gimana?" Rengek Kana.

"Rumah lo segede gaban gitu, gua yakin lo gak miskin sepatu."

Tut.

Di sebrang sana Rion memutus telfon sepihak. Seketika tubuh Kana meluruh di atas lantai teras rumahnya. Masalahnya, sepatu itu adalah sepatu pemberian Keza. Masalah yang lebih besar lagi, si pemberi tengah berada di rumahnya sambil menatapnya penuh tanda tanya.

"Lo udah makan Za? Temenin gua makan yuk, ini pecel lele kesukaan lo," bujuk Kana mengalihkan situasi padahal perutnya masih begah.

"Lo belum makan emang?" Tanya balik Keza mengambil alih tas di punggung Kana dan kantung kresek di tangannya.

Kana pura-pura menggeleng lesu. "Gua tau lo bakal ke sini, jadi tadi gua mampir buat beli pecel lele."

Cowok itu mengangguk paham. "Yaudah yuk, masuk."

"Perasaan gue deh, tuan rumahnya," gumam Kana meringis dalam hati.

***

Tepat di bawah bulan yang bersinar menerangi langit malam, Rion melipat satu tangannya di pagar balkon dengan satu tangan menatap roomchat seseorang yang tanda terakhir di lihatnya sudah lebih dari tiga tahun tidak di buka. Banyak sekali pesan yang tak terbalas alias ceklis satu.

Disaat ini seperti cowok itu selalu berharap bahwa tanda terakhir di lihat kontak orang itu akan online walau hanya beberapa saat.

Online.

Mata Rion membola, ia mengucek-ngucek kedua matanya berharap hanya ilusi. Dan benar saja, ntah sejak kapan roomchat orang itu berubah menjadi roomchat si cewek berambut seleher, Kana.

Rion menyangga kedua tangan di pagar balkon lalu menundukkan kepalanya. Dadanya bergemuruh, bahunya bergetar. Cowok itu menangis dalam diam.

Sampai akhirnya benda pipih itu bergetar.

Nenek sihir is calling.

Telunjuk Rion menarik tombol hijau.

"Rion,"

"Riii-on,"

"Apa?" Tanya Rion dengan suara serak basahnya.

"Sepat-LO NANGIS?"

"Nggak, besok gua jemput sekalian ngembaliin sepatu."

Tut.

Seperti biasa, selalu Rion yang memutus sambungan terlebih dahulu.

Drrtt

Drrtt

Nenek sihir : kebiasaan!
Nenek sihir : okay deal, jam 6 pas yaa
Nenek sihir : gue tunggu

Jam 6 pas ya
Aku tunggu

Rion terkekeh miris mengingat pesan sama dari orang yang berbeda.

LDR paling jauh selain beda keyakinan adalah beda alam. Beda keyakinan dua insan tersebut masih bisa bertemu di dunia yang sama walau di amin yang berbeda, sedangkan beda alam lebih menyakitkan karena tak akan bisa bertemu seseorang yang ia sayangi lagi ntah itu di amin yang sama atau amin yang berbeda.

Aku berharap ada cerita tentang kita versi bahagia di kehidupan selanjutnya.

***

SIAPA YANG GAMON BEDA ALAM??

SIAPA YANG GAMON BEDA AGAMA??

SAMA-SAMA SAKIT YA SHAAYYYY!!!

JANGAN LUPA VOTE AND FOLLOW!

K untuk Kana [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang