"Selama ini saya bertahan untuk anak-anak walau perasaan bersalah saya masih sangat menguasai diri saya, kamu dan ibu kamu selalu menyalahkan saya atas semua yang terjadi! Saya capek!"
"Lalu saya harus menyalahkan siapa lagi? Kamu ibunya dan kamu lebih tahu tentang Jere tapi kamu melakukan kesalahan se-fatal itu yang membuat saya kehilangan anak paling berharga dalam hidup saya!"
"Anak kita bukan cuma Jeremy, Mas! Bagaimana dengan Alana dan Mikhaila? Selama ini kamu selalu menganggap mereka tidak ada, sebagai ibu saya juga merasa bersalah karena mereka diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri!"
"Mereka tidak akan pernah bisa membuat saya bangga!"
Alana mendengar semuanya. Pertengkaran ayah dan bunda yang sering Mikhaila ceritakan akhir-akhir ini, namun hal yang paling menyakitkan untuk Alana dengar adalah kenyataan bahwa ayah tidak pernah merasa bangga dan senang dengan kerja kerasnya selama ini.
"Bisa-bisanya kamu bilang begitu? Mereka sangat berusaha keras membuat kamu bangga dan kamu seenaknya bilang seperti itu? Kamu benar-benar tidak pantas menjadi seorang ayah, pantas tuhan menghukum kamu dengan mengambil anak laki-laki kamu satu-satunya! Sebagai ibu, walau saya juga sangat merasakan kehilangan tapi saya tidak bisa menganggap anak saya yang lain tidak berarti. Mereka sama berharganya dengan Jeremy, kalau kamu terus bersikap seperti ini lebih baik kita berpisah saja. Saya sudah muak dengan sikap kamu yang seperti ini!"
Yohannes berjalan mendekat dan mencengkram leher Brenda dengan kencang seperti sedang mencekiknya. Amarahnya kembali menguasai pria berusia 49 tahun itu.
"Apa-apaan kamu ini? Seenaknya saja mengatakan minta pisah, kamu kira--"
"Bisa gak ayah sama bunda berhenti ributin soal ini! Abang gak akan bisa kembali walau ayah terus menyalahkan bunda atas apa yang sudah terjadi!" Suara Alana membuat pertengkaran itu terhenti, ayah sontak melepaskan cengkramannya pada leher bunda.
Alana tidak bisa membendung lagi air matanya. Ia kembali menangis ketika menghadapi kenyataan sebagai anak perempuan yang tidak pernah dianggap keberadaannya di rumah ini. Kenyataan yang membuatnya memilih pergi dan tidak pernah kembali dalam waktu yang lama. Alana tidak tahu, apa yang akan membuat ayahnya bisa merasa bangga terhadapnya?
"Tahu apa kamu?"
"Aku tahu semuanya, abang pergi karena tertekan oleh ayah! Semua hal yang abang lakukan harus terlihat sempurna di mata ayah!" Ucap Alana mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini.
"Ayah tidak tahu gimana tertekannya abang saat harus memenuhi ekspetasi ayah, abang tidak mau membuat ayah kecewa tapi itu malah yang membuat abang memutuskan untuk pergi. Bisa gak ayah berhenti denial dengan kenyataan ini dan berhenti nyalahin bunda?"
Tatapan mata ayahnya menyiratkan kemarahan, Alana takut tapi ia terlanjur mengatakan sesuatu yang teramat sensitif bagi ayah. Ia tidak peduli lagi jika setelah ini ayah akan kembali memukulnya dan membuatnya terbaring di bangsal rumah sakit lagi. Alana hanya ingin membawa keluarganya keluar dari rasa bersalah tak berujung ini.
"Kamu menyalahkan ayah, hah?"
"Iya! Ayah tidak terima?"
PLAK!
Alana memegangi pipinya yang memanas akibat tamparan dari ayahnya barusan. Matanya sudah berair seiring dengan munculnya rasa sakit di hatinya yang semakin dalam.
"See? Ayah yang tidak mau menerima semua ini. Bagi ayah, abang adalah kebanggaan ayah yang ayah harapkan bisa mewujudkan keinginan ayah tapi ayah lupa kalau setiap manusia memiliki pilihan hidupnya masing-masing. Abang tidak pernah merasa bahagia ketika ayah suruh untuk mengikuti jalan yang ayah lalui untuk sampai ditahap ini. Begitupun padaku, ayah tidak akan pernah merasa bangga karena aku tidak akan mau berada dijalan yang sama dengan yang ayah lalui."
KAMU SEDANG MEMBACA
By My Side
Fanfiction"As long I'm here no one can hurt you, so stay by my side." - bluesy story