"Prajurit" panggil seorang raja.
"Sandika Gusti Prabu", salah satu prajurit datang menghadap sang raja kala mendengar panggilan.
"Tolong siapkan ruang pengobatan dan juga panggilkan tabib untuk datang ke ruang pengobatan," titah sang raja.
"Sandika Gusti Prabu," prajurit itu pergi setelah mendapat titah dari sang raja untuk menyiapkan ruang pengobatan.
Saat melihat prajurit itu hilang di penglihatannya, sang raja menghembuskan nafas berat mengingat isi surat yang ia dapat.
"Aku harap kau bertahan putraku, kau tidak boleh menyerah sampai disini karena tugasmu masih banyak dan juga apakah kau tega melihat Ayahanda bersedih" dalam hati sang raja berkata seolah bertelepati dengan putranya dengan mengatakan kata-kata semangat untuk terus bertahan.
*****
"Nenek, kapan kita akan menyerang Padjajaran? Aku sudah tidak sabar membumihanguskan Padjajaran di tangan ku"
"Tenanglah, Yudakara. Saat ini belum waktunya kita menyerang Padjajaran, kekuatan kita masih belum kuat jadi yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari banyak sekutu yang memiliki dendam terhadap Padjajaran."
*****
Saat ini rombongan Kamandaka berada di sebuah desa untuk mengistirahatkan diri. Saat dia sedang melihat-lihat sekeliling, dia tidak sengaja mendengar suara ringisan dari dalam tandu.
"Argh", ringis seseorang di dalam tandu yang membuat Kamandaka langsung melihat keadaannya.
"Astaga Rayi, kenapa keadaanmu semakin parah," orang yang tak lain adalah Kamandaka sangat khawatir mendengar ringisan dari adiknya, segera ia memeriksa keadaan adiknya saat mendengar ringisan dan ternyata luka yang didapati adiknya semakin parah.
"Ada apa, Raka?" tanya Banyak Ngampar.
"Kondisinya semakin parah"
"Jagat Dewabatara, lalu apa yang harus kita lakukan, Raka?" Banyak Ngampar semakin khawatir dengan kondisi adiknya itu.
"Kita harus segera sampai di Padjajaran jika tidak mungkin lukanya akan semakin parah"
"Baiklah Raka jikalau begitu mari kita bergegas"
Mereka segera melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda dengan tergesa-gesa.
*****
Seorang gadis sedang berjalan sembari melihat-lihat kondisi sekitar perkampungan, dan juga matanya sedang mencari warung yang menjual makanan untuk dimakan karena dirinya saat ini bekal makanannya sudah habis di perjalanan.
Kakinya berhenti di sebuah warung makan yang tidak terlalu ramai pelanggan. Melihat kedatangan pembeli, penjual makanan di warung itu langsung menghampirinya.
"Apakah Nimas ingin memesan makanan?" tanya penjual dengan senyum ramahnya.
"Ya, bibi. Aku ingin memesan makanan" balasnya tak kalah ramah.
"Baik kalau begitu mohon tunggu sebentar ya, saya ambilkan di dalam"
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. Tak lama kemudian makanan datang, segera ia makan untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Kira-kira menurutmu kapan yah Raden kesayangan kita pulang?" tanya seseorang yang tak jauh dari tempat duduk gadis itu kepada temen sebelahnya.
"Entahlah aku juga tidak tahu tapi aku harap dia pulang dalam keadaan sehat tanpa kekurangan apapun" jawab teman disebelahnya.
"Semoga saja, lebih baik kita tidak membicarakan itu lagi" mereka mengakhiri pembicaraannya.
Gadis itu mengernyit heran, "Raden kesayangan? Siapakah itu? Aku tidak menyangka akan ada seorang putra raja yang menjadi kesayangan rakyatnya" gumam gadis itu dalam hati.
Memilih untuk tidak memikirkannya, gadis itu berdiri ke arah pemilik warung untuk membayar makanannya.
*****
"Ibunda, ada apa ini? Mengapa mereka bekerja dengan tergesa-gesa?" Rara Kandita heran melihat beberapa emban istana dan prajurit yang bekerja dengan tergesa-gesa.
"Ibunda juga tidak mengetahuinya, putriku" jawab orang yang tak lain adalah Aci Putih kepada putrinya.
Aci Putih juga heran melihatnya dan untuk menghilangkan rasa penasarannya, dia menghentikan salah satu emban yang tidak sengaja melewati mereka.
"Tunggu"
"Sandika Gusti ratu, ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak ada, aku hanya ingin bertanya. Apa yang sedang terjadi disini? Kenapa aku melihat beberapa pelayan dan prajurit bekerja dengan tergesa-gesa?"
"Izin menjawab Gusti Ratu, kami diperintahkan oleh Gusti Prabu Siliwangi untuk menyiapkan ruang pengobatan segera"
"Ruang pengobatan? Memangnya siapa yang sakit?"
"Mohon maaf Gusti Ratu, kami tidak mengetahuinya"
"Baiklah kalau begitu, kembalilah bekerja"
"Sandika Gusti Ratu"
Emban itu segera pergi dari hadapan Aci Putih untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Ibunda"
"Ya putriku"
"Menurut Ibunda, siapakah orang yang sedang sakit itu?"
"Entahlah putriku, Ibunda juga tidak mengetahuinya namun kejadian ini mirip seperti saat Nanda Kian Santang sakit waktu kecil. Ayahandamu dulu juga pernah memerintahkan emban dan prajurit untuk menyiapkan ruang pengobatan dan juga beberapa tabib disana, Ibunda tidak tahu siapa yang sakit saat ini jika itu Nanda Kian Santang Ibunda tidak akan heran namun itu tidak mungkin karena dia belum kembali dari pengembaraannya" Aci Putih menjawab pertanyaan putrinya sambil mengingat-ingat kejadian yang pernah terjadi.
Rara Kandita mengangguk paham, "apakah sesayang itu Ayahanda terhadap Rayi Kian Santang? Sayang sekali aku kembali ke istana saat Rayi Kian Santang pergi mengembara" gumamnya dalam hati.
*****
Menatap wajah mereka satu persatu yang saat ini berkumpul di kolam dekat taman, diantaranya adalah keluarganya sendiri dan keluarga Subang Larang.
"Ada apa putraku? Apa yang kau pikirkan saat ini sehingga kau menatap kami begitu intens seperti itu?" tanya Parwati pada putra bungsunya Abikara.
"Aku tidak memikirkan apa-apa, hanya saja aku merasa bosan disini karena aku tidak bisa bertemu dengan Raden Kian Santang" Abikara menjawab pertanyaan yang dilontarkan Parwati dengan wajah lesu.
"Sudahlah Rayi lebih baik kau jangan bersedih seperti ini, wajahmu saat ini tidak cocok dengan karakter dinginmu" Wistapati mencoba menenangkan Abikara dengan kata-katanya.
Abikara yang mendengar itu mendengus sebal, ia memalingkan wajahnya kearah Subang Larang yang saat ini menatap kearahnya, "Gusti Ratu, bolehkah kau menceritakan sedikit tentang Raden Kian Santang kepadaku? Maksudku bisakah Gusti Ratu mencerita kapan Raden Kian Santang mengembara?" Abikara mengajukan pertanyaan pada Subang Larang untuk mengetahui kapan Raden itu pergi mengembara.
Subang Larang yang mendengar itu tersenyum lembut, "tentu saja Raden. Putraku Kian Santang pergi mengembara saat dia berusia 10 tahun dan tahun ini dia berusia 17 tahun yang artinya dia sudah 7 tahun mengembara, waktu itu dia tidak ada keinginan untuk mengembara namun ada suatu kejadian yang membuatnya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Maka dari itu dia memutuskan untuk mengembara, selain untuk menenangkan diri dia juga pergi mengembara untuk menuntut ilmu karena sedari kecil dia jarang berada di dalam istana, saat itu aku menanyakannya alasan mengapa dia sering diluar istana daripada didalam. Dengan penuh percaya diri dia menjawab pertanyaanku kalau dia hanya berdiam diri saja di istana maka dia tidak bisa menuntut ilmu dimanapun dan juga dia mengatakan kalau dia tidak bisa mengamalkan ilmu yang telah dia dapat. Putraku Kian Santang sangatlah aktif sedari dia kecil, kebanyakan para putra raja memiliki teman bangsawan dari pada rakyat namun dia tidak suka memiliki teman bangsawan dengan alasan kalau teman bangsawan itu tidak tulus dalam pertemanan, dia memang memiliki teman bangsawan namun tidak banyak karena kebanyakan temannya dari kalangan rakyat. Itu juga termasuk alasan putraku Kian Santang mengembara, selain dua alasan tadi dia juga mengatakan bahwa dia ingin memiliki banyak teman lagi diluar istana. Kami tidak melarangnya asalkan dia tahu batasan"
"Tahu batasan?" Wistapati bingung maksud dari tahu batasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)
Fiction HistoriqueKisah seorang kesatria berhati bersih dalam menyiarkan agama islam dan politik kerajaan yang mengharuskannya masuk kedalam lingkaran politik kerajaan. Perjalanannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia hadapi mulai dari konflik antar rakya...