[17]

175 30 0
                                    

Heningnya malam memekakkan telinga, tak sedikit orang yang berkeliaran di sekitar kerajaan terutama bagi prajurit yang menjaga keamanan malam. Ruangan yang hanya boleh dimasuki pemiliknya terlihat remang-remang, cahaya rembulan yang terpampang tinggi di langit malam menembus ruangan itu. Keheningan itu menyatu hingga terasa ketenangan yang menyelimuti hati, menjernihkan pikiran yang berantakan memikirkan masalah-masalah yang terjadi.

Duduk bersila di atas ranjang di tengah-tengah ruangan dengan mata terpejam, Siliwangi memfokuskan pikirannya dalam semedinya. Jubahnya yang terbuat dari bahan yang emas berkualitas menambah kesan mewah bagi sang pemakainya. Mahkota emas itu bertengger manis di kepala. Menggambarkan sosok penguasa yang bijaksana dalam kepemimpinannya selama ini.

Sejak kembalinya putranya, Kian Santang, dari pengembaraannya yang setelah sekian lama, ada rasa senang dan bangga yang membuncah dalam hatinya. Namun, dia merasakan suatu kejanggalan saat bersitatap dengannya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Apalagi perkataan yang mengenai penerus dari jurus turun temurun yang masih terus terngiang-ngiang.

"Apakah sudah dimulai?" gumamnya pada diri sendiri dengan mata yang terpejam.

Apakah sudah waktunya dimulai? Keanehan-keanehan yang dirasakannya tidak mungkin salah, beberapa bulan terakhir banyak hal yang janggal dan justru membuatnya semakin gundah. Namun, apakah bisa digantikan? Dia tidak ingin ada yang berimbas yang merugikan setelah semuanya terjadi nanti. Dampaknya yang dashyat takutnya tidak terduga dan rencana yang selama ini di siapkan matang-matang justru sia-sia.

Pikirannya yang awalnya fokus kini terpecah mendengar bisikan-bisikan yang berasal dari suara putra kesayangannya yang tiba-tiba muncul. Suara yang ketakutan, tak berdaya, dan permohonan. Suara yang mampu membuat hatinya tergores.

"Ayahanda, tolong ... aku terkurung, Ayahanda."

"Dia mengurungku ...."

Mendengar suara putranya, sontak dia membuka matanya dan merenungi apa yang didengar. Apa maksud dari apa yang didengarnya? Terkurung?

"Apa mungkin ...."

***

"Rayi, bagaimana perjalananmu selama mengembara?" tanya Rara Santang penasaran dengan perjalanan adiknya yang menurutnya tidak betah di kerajaan.

Duduk berdampingan di dekat jendela memang momen yang pas untuk menikmati awal hari yang semoga saja cerah. Kian Santang membalas dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Matanya yang teduh menatap kakak perempuannya dengan hangat, kehangatan yang dirindukan oleh keluarganya. Helaan napas keluar dengan lembut, memikirkan kata-kata yang perlu dia rangkai sebelum diucapkan.

"Perjalananku penuh dengan pelajaran, Yunda. Bahkan jauh dari apa yang kupikirkan. Tapi aku belajar banyak," jawabnya.

Ditatapnya Rara Santang yang juga sedang menatapnya dan mendengarkan jawabannya dengan saksama. Kicauan burung dari luar jendela kamarnya membuat suasana menjadi lebih hidup. Udara pagi yang masih segar menjadikan pagi yang cerah, matahari yang terbit menyinari bumi dengan cahaya hangatnya.

Rara Santang mengangguk, "Tapi, Rayi, aku merasa ada yang aneh darimu."

Ungkapan Rara Santang sudah diperhitungkan sebelumnya, hubungan batin Duo Santang ini memang kuat. "Yunda, mungkin Yunda merasa aneh denganku sekarang, tapi itu dampak dari kepergianku yang telah lama jauh darimu sehingga perilaku baruku membuatmu merasa aneh."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang