Mata indah yang sudah lama terpejam akhirnya kini terbuka, matanya mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina. Bola matanya berubah dengan sekilas dan perubahan itu disadari oleh orang yang berada di sampingnya.
"Putraku? akhirnya kau sadar, nak." Subang Larang berseru bahagia melihat Kian Santang akhirnya sadar meskipun awalnya bingung dengan perubahan warna bola matanya yang awalnya biru berubah menjadi coklat.
Tetapi karena kebahagiannya melihat Kian Santang sadar. Subang Larang tidak memikirkan itu, Subang Larang memanggil tabib Kerajaan untuk memeriksa kondisi Kian Santang.
Tabib pun langsung memeriksa kondisi Kian Santang, Subang Larang setia berada di samping Kian Santang sambil menggenggam tangan lembut pemuda itu.
"Bagaimana, tabib?" tanya Subang Larang kepada tabib Kerajaan ketika tabib itu sudah memeriksa Kian Santang.
Tabib itu sedikit menunduk. "Kondisi Raden Kian Santang sudah lebih baik dari sebelumnya, Gusti Ratu. Sekarang Raden Kian Santang hanya perlu beristirahat total dan tidak boleh beraktivitas terlalu berat karena nantinya akan berpengaruh pada kondisi tubuhnya," Jelas tabib itu.
Subang Larang mengangguk. "Terima kasih, tabib."
Tabib itu pun keluar dari ruang pengobatan meninggalkan Subang Larang yang berada di samping Kian Santang.
Melihat tabib itu keluar, Subang Larang menoleh menatap Kian Santang yang kini juga menatapnya. Tangannya bergerak mengusap rambut hitam milik Kian Santang dengan lembut sambil tersenyum bahagia.
"Selamat datang, Putraku. Apa yang kau rasakan sekarang, Nak? apa ada yang sakit? atau kau merasa pusing?" tanya Subang Larang secara beruntun.
Kian Santang yang mendengar pertanyaan beruntun dari Subang Larang menarik garis bibir yang membentuk sebuah senyuman manis yang terlihat di bibir pucatnya.
"Ibunda ... Kian merindukan Ibunda," ucap Kian Santang dengan lemah.
Subang Larang mengangguk. "Ibunda juga merindukan Putra Ibunda ini, Ibunda rindu dengan sikap manjamu, suara indahmu, pelukanmu, dan apapun yang ada pada dirimu, Putraku."
"Ibunda senang kau sudah kembali, tetapi di sisi lain Ibunda juga sedih karena kau kembali dengan kondisi seperti ini," sambung Subang Larang.
"Maaf, Ibunda," balas Kian Santang dengan perasaan bersalah karena membuat Ibundanya khawatir.
"Tidak papa, setidaknya Ibunda bisa melihatmu kembali."
Kian Santang tersenyum mendengar ucapan Ibundanya. Senyum Ibundanya, pelukan Ibundanya adalah kerinduan yang sangat Kian Santang dambakan ketika mengembara. Dan Kian Santang senang karena akhirnya rasa rindu itu akhirnya terobati.
***
Gadis cantik dengan pakaian kebangsawanannya berjalan anggun melewati lorong kerajaan dengan senyum ramah yang terus terpatri di wajahnya.
"Rayi Rengganis," panggil Raden Renjana dari belakang Rengganis.
Rengganis menolehkan kepalanya ketika dirinya dipanggil.
"Ya, Raka?"
Renjana mendekati Rengganis dengan senyum di bibirnya.
"Maukah kau ikut Raka jalan-jalan? sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan berkeliling kerajaan semenjak kau mengembara," ajak Renjana.
Rengganis terkekeh geli mendengar ajakan Renjana yang secara tidak langsung menyindirnya.
"Ayo, Raka. Aku juga sangat rindu berkeliling kerajaan dengan Raka tampanku ini. Lagipula aku mengembara untuk menuntut ilmu, tidak ingatkah Raka sendiri yang mengembara lebih lama dariku?" sindir Rengganis.
Renjana tertawa mendengar sindiran yang dilontarkan adiknya. Memang benar jika Renjana mengembara lebih lama daripada Rengganis.
"Baiklah-baiklah, kau benar."
***
"Ger Prabu," panggil Resi Kuncung Putih.
Siliwangi yang awalnya bersemedi membuka mata dan mengakhiri semedinya.
"Resi ..."
Resi Kuncung Putih mendekat lalu meletakkan tangannya di pundak Siliwangi.
"Kau bersabarlah, ke depannya nanti kau akan terus diuji melalui putramu. Kini sang leluhur sudah menemukan penerusnya."
Ucapan Resi Kuncung Putih membutuhkan waktu beberapa saat untuk dipahami oleh Siliwangi. Tidak biasanya Resi Kuncung Putih mengatakan hal ini, meski sebelumnya hanya merahasiakan kejadian yang akan datang di masa depan.
"Hamba mengerti, Resi. Semoga saja hamba bisa melewati ini semua."
Resi Kuncung Putih menganggukkan kepalanya mendengar ucapan yang terlontar dari Siliwangi. Matanya menatap Siliwangi untuk beberapa saat sebelum pergi dari sana meninggalkan Siliwangi sendirian dengan pikiran yang terbebani banyak hal.
Kini Siliwangi terdiam sendirian dengan pikiran berkelana kemana-mana. Kini sang leluhur sudah menemukan penerusnya. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di dalam pikirannya, dirinya tidak tega dan juga harus tegas diwaktu yang bersamaan pada saat itu juga.
***
"Ibunda," panggil Kamandaka pada ibundanya—Ambet Kasih.
Ambet Kasih yang pada saat ini sedang mengobrol dengan Banyak Ngampar menolehkan kepalanya ketika merasa dirinya dipanggil.
Netranya bertabrakan dengan Kamandaka yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya. Ambet Kasih menyunggingkan senyum melihat putranya.
"Ada apa, putraku?" tanya Ambet Kasih sambil memberi isyarat untuk mendekat.
Kamandaka mendekat lalu duduk di samping Banyak Ngampar yang berada di hadapan Ambet Kasih.
"Ibunda, aku telah gagal menjadi kakak yang baik untuk adikku ...," ucap Kamandaka dengan perasaan bersalah yang terpendam.
Senyum hangat tersungging di wajah Ambet Kasih lalu menggerakkan tangannya untuk mengusap kepala Kamandaka.
Banyak Ngampar menggeser duduknya untuk memberi ruang pada dua orang yang berharga dalam hidupnya.
"Kau sudah berusaha sesuai kemampuanmu, tentang bagaimana akhirnya itu telah tertulis pada catatan takdir. Mau kau seberusaha apa pun, jika takdir yang tertulis berbeda dengan keinginan kita, maka tidak ada yang perlu kita lakukan selain menerimanya dengan lapang dada," nasihat Ambet Kasih yang terpancar kasih sayang di dalam nada suaranya.
Nasihat dari Ambet Kasih dapat diterima dengan baik oleh Kamandaka dan juga Banyak Ngampar yang sedari tadi menyimak kedua obrolan tersebut.
Lanjut?
.
.
.
.
.
Penasaran dengan kelanjutannya? Pantengin terus yah. Maaf kalau semisal ada kata yang gak nyambung atau typo🙏
.
.
.
.
.
Sehat-sehat semuanya, jangan lupa vote dan komen yah😉
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)
Historical FictionKisah seorang kesatria berhati bersih dalam menyiarkan agama islam dan politik kerajaan yang mengharuskannya masuk kedalam lingkaran politik kerajaan. Perjalanannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia hadapi mulai dari konflik antar rakya...