Suara langkah kaki terdengar, Kamandaka dan yang lain melangkah dengan langkah yang tergesa-gesa dengan Kamandaka yang menggendong pemuda bercadar.
"Panggil tabib, cepat." Perintah Kamandaka suara keras yang disambut dengan tindakan gesit dan cepat memanggil tabib istana.
Kamandaka serta lainnya bergegas menuju ruang pengobatan untuk mengobati pemuda yang ada di tandu, Kamandaka menggendongnya menuju ke ruang pengobatan dengan langkah lebarnya. Pemuda itu memakai cadar namun cadar tersebut ternoda oleh darah yang keluar dari mulutnya.
Saat menuju ruang pengobatan, Kamandaka berpas-pasan dengan Subang Larang yang sedang berbincang ringan dengan Parwati dan juga Abikara.
"Astaghfirullah, putraku. Apa yang terjadi, nak? Siapa pemuda ini, nak?" tanya Subang Larang dengan suara yang terdengar bingung dan khawatir di saat yang bersamaan.
Mendengar pertanyaan Subang Larang yang tertuju padanya, Kamandaka menghentikan langkahnya sejenak untuk menjawab.
"Maaf, ibunda. Untuk saat ini aku tidak bisa menjawab, pemuda ini membutuhkan pengobatan secepatnya. Aku permisi, ibunda."
Setelah menjawab, Kamandaka melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti. Sesampainya di ruang pengobatan, pintu dibuka paksa oleh Kamandaka menggunakan kakinya. Diletakkannya pemuda itu dengan hati-hati di atas ranjang.
"Dimana tabibnya?"
Tanya Kamandaka dengan suara yang terdengar marah karena tabib belum ada.
Dari luar terdengar langkah kaki yang terburu-buru masuk ke dalam ruang pengobatan yang tak lain adalah tabib istana, tabib istana dengan sigap menangani pemuda bercadar itu yang tak lain dan tak bukan Kian Santang.
Pengobatan berlangsung selama dua jam dan itu membuat keluarga Kerajaan semakin cemas dengan keadaan Kian Santang terutama Subang Larang.
"Ya Allah, entah kenapa hamba merasa khawatir seperti ini pada pemuda itu. Hamba merasa memiliki kedekatan seperti putraku Kian Santang. Siapapun pemuda itu, tolong sembuhkan dia ya Allah." Dalam hati Subang Larang selalu memanjatkan doa untuk kesembuhan pemuda itu.
Kamandaka sedari awal pengobatan menatap pintu ruang pengobatan dengan tatapan kosong. Rara Santang mengernyit heran melihat Kamandaka yang seperti itu, pasalnya Kamandaka tidak pernah mengkhawatirkan seseorang seperti ini kecuali keluarganya sendiri.
Kamandaka menghela nafas lalu kemudian menoleh ke arah dimana Subang Larang berada. Kakinya melangkah mendekat lalu berlutut di depan Subang Larang yang membuat yang lain terkejut terutama Subang Larang.
"Astaghfirullah, Nak. Apa yang kamu lakukan? Berdirilah! Jangan seperti ini."
Subang Larang membantu Kamandaka untuk berdiri. Kamandaka berdiri di depan Subang Larang dengan tatapan bersalah, matanya tidak bisa menatap Subang Larang.
"Ibunda, maafkan aku. Aku gagal menjadi kakak yang baik, aku gagal melindungi adikku." Ucap Kamandaka dengan suara yang bergetar.
"Nak, tenanglah. Katakan pada ibunda, apa yang terjadi?" tanya Subang Larang dengan lembut. Subang Larang sudah lama tidak melihat tatapan itu dari Kamandaka, terakhir kali ia melihat saat putranya Kian Santang terluka.
"Ibunda-" ucapan Kamandaka terpotong ketika tabib keluar.
"Mohon maaf Raden, Gusti Ratu, Gusti Prabu... keadaan pemuda itu cukup serius. Jurus lintas ragawi membuat hawa murninya berantakan dan tidak beraturan, jurus lintas ragawi hanya bisa disembuhkan oleh Gusti Prabu Siliwangi karena penangkalnya hanya Gusti Prabu yang mengetahuinya." Jelas tabib itu.
Sedari tadi Siliwangi hanya diam tanpa mengucap sepatah kata karena dirinya sudah tahu siapa pemuda itu dan apa yang terjadi. Siliwangi masuk ke dalam ruang pengobatan tanpa menimpali penjelasan tabib yang menyisakan Subang Larang, Parwati, Abikara, Rara Santang, Kamandaka, Banyak Ngampar dan Surawisesa di luar ruang pengobatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)
Narrativa StoricaKisah seorang kesatria berhati bersih dalam menyiarkan agama islam dan politik kerajaan yang mengharuskannya masuk kedalam lingkaran politik kerajaan. Perjalanannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia hadapi mulai dari konflik antar rakya...