[12]

639 67 10
                                    

Rombongan yang menuju Padjajaran membuat rakyat penasaran dengan kejadian apa yang telah menimpa mereka hingga ada tandu yang mengiringi.

"Kira-kira siapa ya di dalam tandu itu?" tanya rakyat berbaju hijau entah pada siapa.

Orang yang disebelahnya menjawab, "mungkin keluarga istana yang terluka."

Jawaban itu tidak membuat rakyat itu puas, namun dirinya hanya diam melihat rombongan yang melewatinya.

Disepanjang kampung yang dilewati, banyak rakyat yang berjejer rapi membentuk barisan antara kiri dan kanan. Pemandangan itu mengingatkan Kamandaka dengan kenangan manis dirinya dan adiknya yaitu Kian Santang.

"Andai saja kau tidak terluka, Rayi. Aku pasti akan mengajakmu berkeliling seperti dulu, melewati perkampungan penduduk, membeli sesuatu di pasar dan bermain air di sungai terdekat." Ucap Kamandaka dalam hati, tatapannya memandang rakyat dengan sendu.

Tatapan sendu milik Kamandaka tertangkap oleh netra Rara Santang yang tidak sengaja menoleh, alis Rara Santang berkerut.

"Kau kenapa, Raka?"

Suara Rara Santang menyadarkan Kamandaka dari kesedihannya, dirinya menoleh menatap Rara Santang dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. "Tidak, Rayi. Raka hanya mengingat kenangan manis dengan adik-adik Raka, ingatan itu membuat Raka rindu."

Rara Santang mengangguk mendengarnya, "aku juga merindukannya, Raka."

Percakapan antara Kamandaka dan Rara Santang tidak mengalihkan perhatian Surawisesa yang terpaku pada jajanan pasar, jajanan itu terlihat menggiurkan di matanya. Kakinya melangkah mendekat ke penjual, namun satu langkah saja kakinya melangkah kerah jubahnya ditarik.

"Mau kemana kau, Rayi?" tangan Banyak Ngampar tetap memegang jubah Surawisesa.

Mengetahui siapa pelakunya Surawisesa mendengus sebal, "Raka lepaskan."

Banyak Ngampar menggeleng, "jawab dulu pertanyaanku, Rayi."

"Aku ingin beli jajanan itu," tangan Surawisesa menunjuk ke arah penjual yang dimaksud.

Banyak Ngampar mengikuti arah tunjuk Surawisesa, alisnya berkerut. "Kau ingin membeli keripik singkong?"

Surawisesa mengangguk, "ya Raka."

Banyak Ngampar menggeleng, "tidak boleh. Kita harus cepat sampai, jika kau ingin membelinya maka keadaan orang di dalam tandu akan semakin parah."

Surawisesa ingin protes namun urung karena tatapan Banyak Ngampar seperti mengancam agar tidak membelinya, pada akhirnya Surawisesa tidak membeli.

*****

"Raka, apa yang kau lakukan disini?" netranya menatap heran dengan tingkah laku Amuk Marugul yang mengendap-endap.

Amuk Marugul terkejut dengan suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. "Rayi Kentring Manik."

Kentring Manik mendekati Amuk Marugul, "apa yang sedang kau lakukan, Raka?"

"Tidak Rayi, aku hanya ingin menghirup udara segar di malam hari." Ucap Amuk Marugul dengan nada yang meyakinkan, karena dirinya tidak mungkin memberitahukan rencananya pada Kentring Manik.

Tanpa rasa curiga, Kentring Manik mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Jangan terlalu lama berada di luar istana, Raka. Angin malam tidak baik untuk kesehatan apalagi untuk umur yang sudah tua."

Amuk Marugul mengangguk dengan senyuman yang terus terpatri, "baiklah adikku tercinta."

*****

Dalam penglihatan pemuda terlihat bencana yang akan datang pada keluarganya, dimana terlihat dirinya menyerang keluarganya sendiri dan akan membunuh ayahnya.

"Kalian akan mati di tanganku," ucap pemuda dengan pakaian kebangsawanannya dengan seringai lebar di wajahnya.

Raut wajah khawatir terpatri di wajah mereka, diantara mereka menangis meratapi kejadian yang terjadi saat ini. Hati mereka diselimuti rasa takut dan kecewa yang muncul secara bersamaan, namun rasa kecewa lebih dominan daripada rasa takut yang hinggap di hati mereka.

"Astaghfirullah, putraku. Sadar nak, kami keluargamu ... darah ibunda mengalir di tubuhmu, apakah kau tega menyakiti ibunda nak?" suara wanita paruh baya terdengar bergetar dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Mata pemuda itu berkilat merah, seringainya tetap bertahan di wajah tampannya. "Kau pikir aku peduli? kalian hanyalah sampah tak berguna dalam hidupku."

Pedang tajam yang berkilauan tajam dipegang erat oleh pemuda itu, giginya muncul dua taring panjang serta tatapannya yang semakin tajam seperti harimau. Dengan gerakan pelan namun pasti, pemuda itu mengayunkan pedang itu pada keluarganya sendiri dan menggabungkannya dengan jurusnya.

Tebasan pedang itu terkena mereka dengan efek yang sangat dahsyat sehingga mereka terlempar jauh bahkan ada yang sampai terbentur ke pohon.

Penglihatan itu mengejutkan pemuda tersebut, dirinya tidak percaya jika kejadian itu akan terjadi dan pelaku utamanya adalah dirinya sendiri.

"Astaghfirullah, pertanda apa ini Ya Allah." Hatinya mulai merasakan kegelisahan yang tak menentu.

"Aku harus cepat sampai, semoga saja penglihatan tadi hanyalah sebuah peringatan saja." Pemuda tersebut bergegas.

*****

Suasana hening yang damai sangat cocok dijadikan tempat bersemedi. Siliwangi memfokuskan diri dalam bersemedi dengan mata terpejam, namun fokusnya pecah saat menyadari kedatangan Kuncung Putih.

"Ambuing ambuing, ger. Sampurasun ger prabu."

Mata Siliwangi terbuka, salam hormat ia lakukan pada Kuncung Putih. "Rampes, resi ... apa ada sesuatu yang penting hingga resi menemuiku?"

Kuncung Putih tersenyum, "ger prabu, mulai sekarang bangunlah kekuatan untuk melawan suatu bencana dahsyat yang akan terjadi dalam waktu dekat ini."

"Kekuatan? bencana dahsyat? bencana apa itu, resi?"

Kuncung Putih hanya tersenyum tanpa menjawab, "sampurasun ger prabu." Tanpa menjawab pertanyaan Siliwangi, kuncung Putih menghilang dari hadapan.

Pesan kuncung putih membuat Siliwangi bertanya-tanya bencana apa yang akan terjadi. Lamunan Siliwangi buyar saat mendapat laporan dari prajurit yang menjaga di perbatasan.

"Mohon ampun, Gusti Prabu. Rombongan Raden Kamandaka beserta lainnya sudah sampai di perbatasan ibukota."

Senyum tipis terbit di bibir Siliwangi meskipun terdapat sirat kesedihan dalam matanya, "baiklah kalau begitu, kau siapkan apa yang sudah aku titahkan kemarin."

"Baik, Gusti Prabu. Semua akan kami siapkan dalam waktu cepat sesuai dengan kemampuan kamu."

Setelah mengucapkan itu, prajurit tersebut keluar dari ruang semedi Siliwangi. Kepergian prajurit itu hanya dilirik sekilas oleh Siliwangi, pikirannya melayang jauh memikirkan keadaan putra putrinya yang berada di luar istana.

"Ayahanda harap kalian akan cepat sampai di Padjajaran dengan selamat, meskipun dari kalian ada yang terluka. Cukup satu dari anak-anak ayahanda yang terluka, ayahanda tidak akan sanggup jika semua putra putri ayahanda terluka."

Tangan Siliwangi mengelus lembut ikat kepala yang menjadi hadiah pemberian dari Kian Santang, "ayahanda akan melakukan apapun untuk membuatmu pulih seperti sedia kala."

Siliwangi mengecup ikat kepala itu dengan penuh kerinduan. Air matanya jatuh di atas ikat kepala yang ada digenggamannya, membasahi ikat kepala yang sederhana namun menyimpan banyak kenangan di balik itu semua.

.
.
.
.
.
.
.
.

Halo guys, ketemu lagi dengan aku. Akhirnya bisa up ceritanya, alurnya gimana menurut kalian? Mudah ketebak gak? Atau pasaran sama seperti cerita lain? Aku gak tahu cerita ini mau diapain tapi aku udah ada alur yang menurutku agak sulit dituangkan dalam bentuk tulisan.

Menurut kalian, bisa nebak kelanjutan cerita ini gimana? Apa yang akan terjadi? Dan bencana apa yang dimaksud Kuncung Putih?

Tungguin terus setiap update ceritanya, kalau bisa vote cerita ini dan comment, entah itu karena alurnya gak nyambung atau kesalahan dalam menulis. Comment kalian penyemangat ku untuk terus update cerita.

See u guys ♥️

MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang