Kini sang mentari sudah tergelincir membawa terangnya cahaya siang berganti senja yang menjadi awal gelapnya malam. Saat ini, kedua kakak dan Ibundanya tengah mendampinginya disaat bosan melanda sambil melontarkan candaan ringan—meskipun, masih dalam keadaan belum sehat.
"Rayi," panggil kakak perempuannya.
Sedangkan sang empu yang merasa dirinya dipanggil lantas menoleh ke arah sumber suara dengan wajah pucatnya ketika tadi sempat bermanja-manja dengan Ibundanya.
"Ya, Yunda? Ada apa?" tanya Kian Santang dengan hangat dan senyum manis di bibirnya.
Kian Santang menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang pada Yundanya agar duduk di dekatnya dan tentunya hal itu disambut senyuman geli melihat tingkahnya.
Melihat Kian Santang yang memberinya ruang untuk duduk, Rara Santang pun duduk di sana dengan senyuman geli karena tingkahnya yang masih sama seperti dulu.
"Maafkan Yunda karena gagal menjagamu, seharusnya pada waktu itu Yunda menyadari kalau yang terluka adalah kau," ucap Rara Santang dengan nada bersalah.
"Ya, Rayi, maafkan Raka juga karena tidak bisa memberimu penanganan cepat terhadap lukamu saat kau datang," imbuh Walangsungsang.
Kian Santang membalas dengan gelengan, "tidak perlu meminta maaf Raka, Yunda. Kalian tidak bersalah dalam hal ini, ini salahku karena tidak berhati-hati."
"Kalian adalah Raka dan Yunda terbaik yang pernah Kian temui, Kian beruntung memiliki kalian," sambungnya.
Kian–nama panggilan dirinya ketika sedang berbicara dengan keluarganya, terlebih pada Ibundanya Subang Larang, Walangsungsang dan Rara Santang. Terkadang juga digunakan ketika berbicara dengan Ayahandanya Siliwangi, tapi lebih sering menggunakan Ananda daripada Kian.
Kedua kakaknya tersenyum mendengar jawabannya. Sifatnya sedari dulu tidak pernah berubah. Lebih baik menyimpan luka sendiri daripada harus melibatkan orang lain, meski hal itu ditentang keras oleh keluarganya.
Salah satu sifat Kian Santang yang tidak disukai oleh keluarganya, yaitu ketika dia mengorbankan dirinya demi orang lain. Memikirkan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri, tetapi kebahagiaannya juga terletak pada orang lain yang dibantu.
Tangan Subang Larang tergerak mengusap surai hitam Kian Santang, manik matanya menatap lembut putra bungsunya yang selama ini telah mengorbankan banyak hal.
"Putraku, ceritakanlah semua masalah yang kau alami. Ibunda tidak ingin kau memendam semua itu agar orang lain tidak mengkhawatirkanmu. Ayahanda, Ibunda, Raka, Yunda, dan juga Rayimu siap mendengarkan keluh kesahmu," ujar Subang Larang.
"Benar, Rayi. Cobalah terbuka dengan kami, kami juga ingin mendengar keluh kesahmu. Kami tidak ingin hanya kau yang mendengar keluh kesah kami sedangkan kami tidak," timpal Rara Santang.
Kian Santang tersenyum simpul, menganggukkan kepalanya pertanda mengerti apa yang mereka rasakan. Dalam hati kecilnya, ingin sekali bercerita pada mereka mengenai apa yang dirasakan tanpa takut memikirkan bagaimana pendapat orang lain, tapi nyatanya begitu sulit.
Kejadian di masa lalu membuatnya menjadi tidak ingin menceritakan keluh kesahnya pada orang lain lagi. Terkadang manusia mampu menilai orang lain tanpa berkaca dan menilai diri mereka sendiri. Ucapan yang terlontar dari mulut ke mulut tidaklah benar adanya, pastinya akan ada tambahan atau pengurangan kalimat, yang tentunya akan menimbulkan kesalahpahaman.
Diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri dan berjalan sesuai kemauan, tapi dipaksa sempurna dan mengerti pada keadaan adalah sebuah tekanan yang sudah didapat sejak kecil. Kebebasan dan kemauan ia pendam demi kebahagiaan orang lain, meski terkadang usahanya tidak dihargai.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)
Ficción históricaKisah seorang kesatria berhati bersih dalam menyiarkan agama islam dan politik kerajaan yang mengharuskannya masuk kedalam lingkaran politik kerajaan. Perjalanannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia hadapi mulai dari konflik antar rakya...