Seorang pemuda berjalan di bawah pohon rindang dengan tas gembolan di bahunya. Langkah kakinya terhenti kala dua orang preman menghadangnya.
"Serahkan hartamu," ucap salah satu preman yang memakai penutup kepala hitam.
"Astaghfirullah, paman. Aku tidak punya harta yang bisa aku serahkan." Jawab pemuda itu dengan tenang.
Preman dengan penutup kepala merah menatap pemuda itu dengan marah dan tak percaya, "kau bohong."
Tak menunggu lama, kedua preman itu langsung menyerang pemuda itu dengan brutal. Tetapi, serangan mereka dengan mudah dipatahkan oleh pemuda itu hingga akhirnya mereka kalah.
"Ampun, jangan bunuh kami," ucap preman penutup kepala merah dengan ketakutan. Keduanya berlutut di depan pemuda itu.
"Berdirilah, Paman. Aku tidak akan membunuh kalian asalkan kalian berjanji untuk berubah menjadi orang baik," balas pemuda itu dengan tegas.
Kedua preman itu mengangguk, "baik, kisanak. Kami akan berubah. Tetapi, siapakah kisanak ini?"
Pemuda itu tersenyum tipis di balik capingnya, "aku hanya seorang pengembara dari negeri sebrang, namaku Abiyara."
***
"Nenek, bagaimana dengan sekutu-sekutu kita? Apakah banyak yang ingin bergabung dengan kita?" tanya seorang pemuda dengan baju maroon dan tatapan tajam miliknya kepada sang nenek.
"Sekutu kita perlahan mulai banyak, cucuku Yudhakara. Kita hanya tinggal menunggu waktu yang pas untuk menyerang Padjadjaran," jawab nenek itu yang tak lain dan tak bukan adalah Nyi Rompang.
Mendengar jawaban yang dilontarkan Nyi Rompang membuat Yudhakara menarik garis bibir membentuk seringai di wajahnya.
"Siliwangi, tunggulah kehancuranmu. Akan aku pastikan kau akan menangis darah melihat keluargamu yang satu persatu mati di tanganku," tatapan Yudhakara menyimpan kebencian dan dendam yang amat besar.
Nyi Rompang yang mendengar ucapan Yudhakara juga menarik garis bibir membentuk seringai, ia tak sabar melihat itu terjadi di depan matanya. Nyi Rompang masih menyimpan dendam yang amat besar kepada Prabu Dewa Niskala yaitu suaminya, Nyi Rompang adalah salah satu selir dari Prabu Dewa Niskala dan karena keserakahannya, membuat Nyi Rompang diberi hukuman buang ke tempat terpencil.
Maka mulai dari sanalah tumbuh rasa kebencian dan dendam kepada Prabu Dewa Niskala, yang akan dirinya balaskan dendam itu melalui keturunannya yaitu Siliwangi dan anak-anaknya.
"Hei Nenek tua peyot, kenapa kau meninggalkanku di sungai?" sebuah suara terdengar ketika ada yang melangkah masuk ke dalam goa. Dia adalah Mahesa, musuh bebuyutan Kian Santang dan juga sekutu dari Nyi Rompang dengan antek-anteknya.
Nyi Rompang mendengus ketika Mahesa datang, "berhenti memanggilku peyot Mahesa, kekuatanku jauh di atas dirimu. Aku bisa saja membunuhmu sekarang juga."
Mendengar itu, Mahesa terdiam seribu bahasa. Memang benar apa yang dikatakan Nyi Rompang tentang kekuatannya, jadi Mahesa lebih memilih diam sambil mencibirnya dalam hati.
***
Subang Larang mengelus punggung tangan Kian Santang dengan lembut, matanya dipenuhi kesedihan dan juga kerinduan. Tangannya yang bebas bergerak mengusap surai hitam milik Kian Santang sambil sesekali mencium punggung tangan Kian Santang.
"Putraku, Ibunda senang karena kau sudah kembali. Tetapi ..." perkataan Subang Larang terhenti, matanya menatap Kian Santang yang masih memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)
Historical FictionKisah seorang kesatria berhati bersih dalam menyiarkan agama islam dan politik kerajaan yang mengharuskannya masuk kedalam lingkaran politik kerajaan. Perjalanannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia hadapi mulai dari konflik antar rakya...