Selama perjalanan menuju Padjajaran, Rara Santang merasa gelisah dan khawatir tapi Rara Santang tidak tahu apa penyebabnya. Ikatan batin antara Rara Santang dan kian Santang bisa dikatakan cukup kuat, saat dititahkan oleh Siliwangi, Rara Santang sebelumnya sudah merasakan kekhawatiran pada kian Santang. Sepanjang perjalanan, Rara Santang hanya bisa mendoakan kian Santang agar selalu diberikan kesehatan dan selalu dilindungi oleh Allah SWT.
"Raka, siapakah orang yang berada di dalam tandu itu?" Rara Santang menatap wajah Kamandaka dengan raut wajah penasaran.
Alis Kamandaka terangkat saat mendengar pertanyaan Rara Santang, "kau akan mengetahuinya, Rayi. Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu, Rayi?"
Rara santang terdiam, dirinya juga tidak tahu kenapa merasa sangat khawatir dengan orang yang berada di dalam tandu itu. "Entahlah, Raka. Aku tidak tahu tapi aku merasa khawatir dengan orang yang berada di dalam tandu itu, aku merasakan kekhawatiran yang sama persis saat Rayi Kian Santang terluka."
Senyuman tipis muncul di wajah Kamandaka, "ikatan batin kalian sangat kuat, aku kagum dengan kalian." Kamandaka berhenti sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, "doakan saja yang terbaik untuk Rayi Kian Santang." Matanya terdapat kesedihan di dalamnya, namun dengan cepat Kamandaka menyembunyikannya agar Rara Santang tidak melihatnya.
Banyak Ngampar dan Surawisesa saling menatap lalu mengangkat bahu acuh setelah mendengar pembicaraan mereka.
"Rayi, apa alasan ayahanda mentitahkan kalian untuk menyusul kami?"
Dengan santainya Surawisesa menjawab tanpa menatap banyak Ngampar, "entahlah, Raka. Aku juga tidak tahu, aku hanya menjalankan titah ayahanda prabu."
Banyak Ngampar mendengus melihat kelakuan Surawisesa, "tataplah aku, Rayi. Tidak sopan berbicara tanpa menatap orangnya langsung."
Suara Banyak Ngampar terdengar sedikit kesal, Surawisesa menatap banyak Ngampar dan mendekat kearahnya dengan senyum lebar. "Maaf, Raka. Lain kali aku tidak akan mengulanginya."
Banyak Ngampar menatap Surawisesa dengan ngeri, tangannya mendorong wajah Surawisesa agar menjauh darinya. "Jauhkan wajahmu dariku, Rayi. Wajahmu sungguh menjengkelkan."
"Oh benarkah, Raka?" Surawisesa melempar senyum menggoda untuk Banyak Ngampar, Surawisesa terlihat terhibur dengan kekesalannya.
Dengan kesal Banyak Ngampar mendorong Surawisesa hingga tidak sengaja terjatuh. Melihat Surawisesa terjatuh, Banyak Ngampar berjalan mendahuluinya tanpa membantunya. Sedangkan Surawisesa matanya melotot saat didorong dan dirinya terkejut hingga tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya.
"Raka, kau kejam sekali pada adikmu." Teriak Surawisesa dengan kesal.
Teriakan Surawisesa terdengar sampai telinga Kamandaka dan Rara Santang, keduanya menoleh kearah Surawisesa dan mengernyit heran.
"Rayi Surawisesa, apa yang kau lakukan di tanah?" tanya Kamandaka.
Surawisesa tersenyum malu, "tidak apa-apa, Raka. Aku hanya tidak sengaja terjatuh karena didorong Raka Banyak Ngampar."
Jawaban Surawisesa membuat Rara Santang tertawa sedangkan Kamandaka terkekeh geli mendengarnya.
Kamandaka tersenyum melihat tingkah laku adiknya yang membuat suasana menjadi hangat. "Sepertinya kau membuat Rayi Banyak Ngampar kesal, bukankah begitu Rayi Surawisesa?"
Surawisesa mengusap tengkuk lehernya, "ya ... begitulah Raka." Surawisesa cengengesan, netranya teralih pada Banyak Ngampar yang sudah sedikit jauh darinya.
*****
"Nenek, bagaimana rencana selanjutnya?" tanya sosok pemuda berjubah hitam yang berada di samping wanita tua yang sedang duduk menyilangkan kaki dengan mata terpejam.
Mata wanita tua itu terbuka perlahan, "sebentar lagi ... Nenek harap kau melakukan rencana kita dengan sempurna."
Pemuda itu mengangguk, "tentu nek. Nenek tenang saja, akan aku pastikan jika rencana kita berhasil."
Seringai lebar muncul di wajah wanita tua itu, "tunggu kehancuranmu ... aku pastikan kau tidak akan bahagia di hari berikutnya, akan ku buat kau menangis darah dan memohon-mohon padaku."
Ingatannya melintas jauh pada masa lalu, waktu yang menjadi awal mula pertemuan dan awal dari munculnya kekecewaan dan dendam.
"Nyisanak, boleh aku bertanya?" seorang pemuda datang padanya dengan pakaian pengembara.
Wanita itu menoleh, "ya kisanak? ingin bertanya apa?"
Pemuda itu tersenyum kala mendapat respon baik, "dimana tempat penginapan yang berada di sekitar sini?"
Senyuman pemuda itu sempat membuat wanita tersebut terpaku, matanya menatap senyum indah yang terpatri di bibir pemuda itu.
Pemuda itu melihat bagaimana keterdiaman wanita tersebut, tangannya melambai di depan wajahnya, "Nyisanak baik-baik saja?"
Seketika wanita tersebut tersadar dari lamunannya, "ah maaf kisanak, tempat penginapan berada di ujung pasar." Tangannya menunjuk kearah pasar untuk mempermudah arahan.
Mata pemuda itu mengikuti arah yang ditunjuk wanita tersebut, "terimakasih Nyisanak. Sebelumnya maaf Nyisanak, siapakah nama Nyisanak ini?" nertra pemuda itu menatap wajah cantiknya.
"Namaku Laras," matanya menyipit saat tersenyum.
Pemuda itu membalas senyumannya, "perkenalkan, namaku Anggapati."
Senyum Anggapati bergitu candu untuk Laras, Laras ingin terus melihat senyuman itu namun dirinya sadar jika Anggapati bukan untuknya.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit Laras. Semoga kita bisa bertemu di lain waktu."
Laras menganggukkan kepalanya, "semoga saja."
Anggapati melangkah pergi meninggalkan Laras, langkahnya bergitu tegas dan penuh wibawa. Pada pandangan pertama, Laras jatuh cinta pada Anggapati. Laras berharap bisa bertemu lagi dengan Anggapati dan dirinya juga berharap bisa terus bersama.
Tepukan di bahunya membuatnya tersadar dari lamunan, dirinya menoleh ke arah cucunya.
"Ada apa?"
*****
Perasaan khawatir terus menghantui pikiran Subang Larang, pikirannya menerawang jauh mengingat kenangan bersama putra putrinya. Senyum kerinduan terpatri di bibirnya, matanya terdapat sedikit air yang menumpuk dan akan segera meluncur dari pelupuk matanya.
"Cepatlah kembali, nak. Ibunda merindukanmu, ibunda ingin memelukmu lagi, ibunda ingin melihat putra putri ibunda berkumpul dan berbincang bersama."
Air matanya mulai keluar dari pelupuknya, pipinya basah. Netranya memandang keluar jendela dengan penuh kerinduan, memandang tempat yang sering digunakan saat sedang berkumpul bersama.
Tiba-tiba sebuah tangan besar mengusap air mata yang membasahi pipinya, pandangannya teralihkan menatap pemilik tangan tersebut. Dirinya bisa melihat Siliwangi tersenyum lembut padanya.
"Kakanda"
"Jangan menangis, Dinda. Kanda tidak suka ada air mata yang keluar dari manik mata indahmu." Suara Siliwangi begitu menenangkan bagi Subang Larang.
Subang Larang tersenyum haru, "maafkan Dinda, Kakanda. Dinda hanya rindu pada putra kita Kian Santang."
Tangan Siliwangi menangkup wajah istrinya, "putra kita akan segera kembali. Tenang saja, Dinda."
Tangan Siliwangi menarik pelan kepala Subang Larang dan mencium dahinya dengan lembut lalu mendekap Subang Larang dengan hangat serta mengucapkan kalimat-kalimat penenang.
Hai semua, aku kembali lagi. Gimana ceritanya kali ini, seru gak? Ini aku usahain buat ngelanjutin walaupun agak bingung sama alurnya, aku buat cerita ini tanpa persiapan jadi kalau sekiranya enggak nyambung mohon dimaklumi ya guys. Semoga kedepannya aku masih bisa namatin ceritanya, kasih masukan untuk cerita ini.
.
.
.
.
.
.
See u ♥️
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vote and comment 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI PADJAJARAN (Hiatus)
Historical FictionKisah seorang kesatria berhati bersih dalam menyiarkan agama islam dan politik kerajaan yang mengharuskannya masuk kedalam lingkaran politik kerajaan. Perjalanannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia hadapi mulai dari konflik antar rakya...