Distance - Bab 1

3.5K 267 35
                                    

.



.


.






🍁🍁🍁🍁



Di satu pagi saat kenaikan kelas, Hinata sudah siap dengan seragam yang rapi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di satu pagi saat kenaikan kelas, Hinata sudah siap dengan seragam yang rapi. Seperti biasa, dia semangat untuk menggeser jendelanya, melongok keluar, pun berteriak sekeras yang dia bisa. Tiap pagi itu jadi rutinitas, sehingga tetangganya memahami, anak remaja memang yang paling enerjik sebelum mereka memahami kerasnya kehidupan orang dewasa nanti.

"Naruto!" suara Hinata yang keras mengganggu Naruto yang selesai mengenakan seragam lengkapnya. "Apa kamu mau makan di rumahku? Aku baru selesai membuat bekal makan siang, kamu harus mencobanya ya nanti. Kita akan makan bersama di bawah pohon sakura di halaman belakang," dalam bayangan Hinata itu tampak menyenangkan, tapi bagi Naruto, itu sangat memalukan.

Bukankah mereka harus melepaskan kebiasaan lama itu untuk tidak menempel satu sama lain bahkan harus makan bersama di bawah pohon sakura. Meskipun Naruto tidak membalas, Hinata yakin Naruto pasti mau pergi bersamanya. Makan bekal di bawah pohon yang indah sebagai daya tarik anak SMA yang tidak terlupakan. Itu akan jadi kencan yang menyenangkan, lagi-lagi bagi Naruto yang merasa sebal dan malu, itu hal yang paling tidak dibenarkan.

Sama-sama keluar dari rumah, Naruto sudah melihat Hinata di menunggunya di depan rumah. Orang bilang, gadis seperti Hinata itu sangat cantik. Dia punya kulit putih yang alami, dengan pipi merah muda yang akan terlihat begitu dia malu atau kepanasan. Tapi bagi Naruto, gadis seperti Hinata adalah gadis paling menyebalkan karena harus menempel padanya setiap hari. Anggapan orang-orang mereka seperti sepasang kekasih, tetapi untuk kenaikan kelas kali ini, imaji semacam itu harus segera ditinggalkan.

"Jangan dekat-dekat aku, orang lain mengira kita punya hubungan."

"Apa kamu juga menganggap begitu?" Naruto tidak keburu menjawab Hinata yang ada di belakangnya, masih tidak menyadari bahwa Naruto tidak ingin bermain dengannya lagi. "Naruto, pekan ini kita menonton film apa? Kamu sudah janji mau pergi bersamaku."

"Aku sibuk."

"Oh, apa kamu ada bimbingan belajar?"

"Iya."

"Kalau begitu sepulang bimbingan belajar, bagaimana?" kedua kaki Naruto berhenti tepat di halte bus yang ramai. "Naruto?"

"Berhenti mengoceh!" dia tiba-tiba membentak, dan ketika anak lain menoleh ke arah mereka, Naruto mulai merendahkan suaranya. "Ini masih pagi, bisa tidak jangan buat aku lebih emosi?" Hinata hanya mengerucutkan bibirnya, dia berusaha untuk tidak mengoceh yang akan menyebabkan Naruto merasa tidak nyaman.

Bus mereka sudah datang, Naruto mendahului yang lainnya, meninggalkan Hinata pada kerumunan panjang anak-anak yang bergerombol masuk ke dalam bus. Saat sudah di dalam, Naruto mengambil duduk di dekat jendela, sementara Hinata berada tepat di belakang sang sopir. Dia hampir tidak bisa meraih pegangan yang ada di atas kepalanya. Hinata berusaha tetap berdiri dengan memegangi kursi penumpang.

Entah sejak kapan Naruto menjadi lebih seperti orang lain. Saat mencurahkan hatinya kepada ibu Naruto, wanita itu mengatakan anak laki-laki memang seperti itu kalau bertambahnya usia. Ada sedikit pemberontakan yang dialaminya. Hinata mendapatkan banyak dukungan dengan jangan sampai dimasukkan ke hati, maka yang dilakukannya hanya menghela napas lalu tersenyum. Akan ada saatnya hubungan mereka kembali. Dulu, Hinata juga pernah marah pada Naruto, dan pemuda itu datang kepadanya untuk meminta maaf.

Sesampainya di sekolah, Hinata menunggu di gerbang, tetapi Naruto bercanda dan pergi bersama teman-temannya. Mengabaikan Hinata yang sejak tadi ingin pergi bersama-sama.

"Naruto!"

"Ya ampun, tetanggamu itu terus menempelimu, ya?" teman Naruto, bernama Gaara, sering sekali mengolok-olok Hinata. "Apa kalian benaran tidak pacaran?"

"Diam, aku bahkan tidak sudi untuk berada di sebelahnya terus-terusan."

Gaara melirik Naruto yang tumben-tumbennya marah. Dia jarang mengeluarkan kalimat kurang pantas seperti itu, lalu pergi begitu saja. Gaara yang masih tercengang menghampiri Hinata. "Kalian bertengkar?"

Hinata menggelengkan kepala dengan ketidaktahuan. Pagi ini dia menyapa Naruto dengan biasa, menawarinya untuk makan bekal bersama. Apa karena dia memaksa Naruto untuk pergi menonton, padahal Naruto harus mempersiapkan bimbingan lanjutan pekan ini?

Sebagai anak satu-satunya keluarga Uzumaki, Naruto memiliki ambisi untuk jadi lebih baik agar ibu dan ayahnya tidak kecewa padanya. Dia belajar dengan sangat giat, sampai orangtuanya sendiri pun mengkhawatirkannya.

Dengan perasaan kecewa, Hinata berjalan menuju ke gedung sekolahnya sendirian. Tapi tidak lama dari saat dia mengeluarkan sepatu kanvas dari lemari sepatunya, teman-temannya, Ino dan Sakura menyapanya. "Hai, bagaimana liburanmu? Apa kamu pergi berlibur bersama Naruto?"

"Tidak sampai pergi berlibur, keluarga kami hanya membuat pesta kecil-kecilan."

"Beruntung sekali, aku pikir itu seperti pesta keluarga?" Hinata melirik pada Ino. "Pesta besar calon mempelai pengantin," Ino tertawa menggoda, disusul oleh Sakura, dan Hinata pun senang dengan apa yang Ino katakan. Hubungan mereka terlihat membaik, dengan pesta yang selalu diadakan bersama-sama, itu menandakan suatu hari akan ada pernikahan yang meriah. Hinata bahkan tidak bisa berhenti membayangkan ketika Ino memberikan candaan, dengan yakin bahwa orang lain pun beranggapan demikian.

Sampai di kelas, Hinata menghela napas dengan gusar. Tahun ini dia tidak sekelas dengan Naruto, tetapi sedikit beruntung kalau dia sekelas dengan teman-temannya, Ino maupun Sakura. Lagi pula, mereka masih berada di satu lantai, tidak membuat Hinata benar-benar khawatir, dia bisa pergi begitu bel istirahat berbunyi nanti.

Setengah hari di hari itu, masih dihabiskan oleh sebagian murid baru untuk mengenal kurikulum, lalu mengatur jadwal piket, mengatur jadwal pelajaran, sampai ditunjuknya Sakura Haruno sebagai ketua kelas. Hinata tidak terlalu tertarik untuk menjadi mencolok sampai mendapatkan tugas yang berlebihan.

Tahun ini dia akan melamar menjadi manajer klub basket agar dia bisa berada di sisi Naruto. Meskipun ada banyak ujian yang harus dia jalani, minimal dari seorang manajer, mereka tahu caranya untuk membersihkan pakaian, menata bola, atau membantu anggota berlatih.

Kemudian ketika jam makan siang tiba, Hinata keluar dari kelas dengan semangat untuk pergi ke gedung olahraga sambil membawa bekalnya, di sana ada ruang klub basket, dia perlu mengambil formulir pendaftaran sebagai manajer baru. Dia sudah banyak berlatih, dia juga bisa bermain basket, meskipun tubuhnya terlihat sangat mungil, setidaknya dia mahir untuk memasukkan bola ke dalam ring.

"Hinata," Tamaki melambaikan tangannya, ketua manajer baru setelah yang sebelumnya harus fokus masuk ke perguruan tinggi, gadis itu menyerahkan formulir pendaftaran itu kepada Hinata. "Aku kira kamu tidak jadi datang, soalnya sedikit berat tugasnya," gadis itu menerima formulir dengan muka semringah, akhirnya hari seperti ini akan tiba.

Setiap tahunnya akan ada pendaftaran bagi siswi yang nantinya ingin melamar menjadi seorang manajer klub. Pekerjaannya mungkin lebih seperti membantu mereka di balik layar, karena tahun kemarin Hinata tidak diperbolehkan orangtuanya, perihal kesehatan, dia melewatkan semua pendaftaran itu. Meskipun dengan alasan bisa menaikkan nilai, itu tidak berarti bagi orangtuanya.

"Terima kasih, aku akan ikut seleksinya dengan semangat."

"Ya ampun, sebegitu sukanya kamu dengan Naruto sampai mendaftar menjadi manajer klub basket?" Tamaki tertawa, agaknya memahami kenapa gadis itu sangat berambisi untuk ikut hal-hal yang paling membuat orang lelah. "Kalau begitu, semangat ya."

.

.

.

Tbc

Commission Story by BukiNyan

Distance ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang