insecure♡

17 3 0
                                    

****

Butiran-butiran air yang berguguran dari langit di hari Jum'at sore selepas azar. Adalah salah satu waktu yang ditunggu. Satu waktu dimana do'a akan diijabah oleh Allah. Dan disini ada dua kesempatan dipertemukan dalam satu waktu mustajab. Hari Jum'at sore dan saat hujan turun.

Aku duduk sendiri di sudut ruang kamarku. Aku ingin berdo'a. Tapi do'a apa yaw...
Sejenak aku berfikir.

"Ya Allah, jadikan ustadz Aqlan sebagai penyempurna separuh agamaku. Jadikan dia pilihan terbaikmu untuk menemani ibadahku. Ridhoi hajatku ya Allah. Aamiin."

Kalimat itu begitu saja meluncur sempurna dari dua bibirku. Entah apa yang ada dikepalaku. Kenapa nama ustadz Aqlan yang kusebut. Atau kah mungkin dia benar-benar telah memiliki tempat khusus dalam hatiku.

Bagaimana bisa aku mengharapkannya begitu dalam? Bagaimana bisa aku memiliki rasa ini padanya? Bahkan rasanya, memikirkannya pun aku tak pantas untuknya.

Apalah aku, seorang gadis biasa yang sangat minim ilmu agama. Sedangkan ustadz Aqlan, dia orang hebat. Laki-laki sholeh, faham agama. Ustadz. Tampan.

Dalam mimpi sekalipun , rasanya aku tak pantas untuknya.

Semakin aku menaruh rasa, mungkin itu akan semakin dalam luka yang akan aku rasakan. Pedihnya ketika cinta bertepuk sebelah tangan.

Siapa yang salah?? Aku??? Aku juga tak bisa memilih kepada siapa aku jatuh cinta. Kepada cinta yang aku tak tahu cara memperjuangkannya.

Pada satu sisi aku sangat mendambanya. Aku sangat ingin menjadi tulang rusuknya. Namun disisi yang lain. Begitu banyak perbedaan nyata antara aku dan ustadz Aqlan.

Aku ingin memperjuangkannya. Walaupun lewat do'a yang terus kulangitkan untuknya.

Aku juga manusia biasa. Ada kalanya aku menyerah untuk memperjuangkan perasaanku. Dan ada masanya pula aku bersikukuh untuk terus membersamainya. Aku bagai terombang ambing dengan perasaanku sendiri.

*****
Pagi yang indah mentari menyapa dengan ramah. Langit cerah dengan deretan awan-awan menari di ketinggian nan jauh di atas sana.

Aku tengah merapikan tanaman hias yang ada dipekarangan rumah.

Tak berselang lama nampak seorang mengenakan gamis syar'i berwarna navy lengkap dengan cadarnya berjalan ke arahku. Dia mendorong stroller bayinya.

Nampak anggun. Dan enak di pandang mata. Sudah beberapa waktu terakhir, hatiku terpikat dengan pakaian syar'i lengkap dengan cadarnya.

"Assalamu'alaikum. Lagi menanam apa mbak?".

"Eh mbak Safa, wa'alaikumussalam nggak mbak... cuma rapiin aja. Sudah pada berantakan. Mau kemana mbak Safa? sama Al juga.."

Jawabku sambil gemas menoel-noel pipi Al. Umur Al baru 8 bulan. Dan dia sering diajak main kerumah sama ibuk. Dan karena ibuk pula aku jadi akrab dengan mbak Safa. Mbak Safa itu istri temannya ustadz Aqlan.

"Jalan-jalan aja mbak...biar Al gak bosan dirumah terus".

Jadilah mbak Safa dan Al menemaniku merapikan tanaman.

Dengan senyum mungilnya, aku telah jatuh hati pada bayi mungil itu sejak pertemuan pertama kami. Mbak Safa pun tidak keberatan bila aku menawarkan diri untuk mengajak Al untuk bermain.

Berkaca dari mbak Safa, justru aku semakin tidak percaya diri untuk terus memupuk rasa terhadap ustadz Aqlan.

Bayangkan saja, istri teman ustadz Aqlan saja standarnya seperti mbak Safa. Lalu bagaimana standar kriteria pendamping hidup ustadz Aqlan? Mungkin lebih dari mbak Safa.

Aku saja tidak ada apa-apanya dibanding mbak Safa. Lalu aku dapat keberanian darimana memiliki mimpi setinggi bintang?

Mbak Safa. Sekalipun aku belum pernah melihat wajahnya secara langsung, namun aku yakin ada kecantikan tersembunyi dibalik cadarnya. Tatapannya teduh. Suaranya lembut. Anggun. Pembawaannya tenang. Ramah. Penyabar. Dan satu point penting yang aku sudah pasti tidak lolos. Alumni pondok pesantren. Jadi jangan ditanya lagi soal agama.

Lalu jika melihat bayanganku sendiri.

Cantik? Biasa saja.

Anggun? Oh jangan ditanya lagi. Penampilanku saja yang kadang seperti ukhty2 pesantren. Namun tak jarang akan menjelma menjadi kakak kunti.

Hatiku seperti dipatahkan oleh kenyataan.

Terbesit jauh dalam hatiku. Aku sangat ingin menjadi wanita sepertinya. Diam-diam aku mencuri pandang kearah mbak Safa saat dia sedang bercanda dengan Al.

Terlepas dari keinginanku untuk bersama ustadz Aqlan. Aku ingin seperti mbak Safa. Memakai gamis, berhijab, bercadar saat keluar rumah. Ingin sekali aku melakukannya. Tapi jika melakukannya sendiri, aku tidak memiliki pegangan. Aku takut terjatuh sendirian. Aku takut tidak akan sanggup melawan kehidupan yang kejam. Aku takut keluargaku akan menolak keputusanku. Aku takut ditinggalkan. Aku takut sendirian.

Keingian atau nafsu. Entah mana yang menguasaiku.

Kutemukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang