Malam Panjang

13 2 0
                                    

Tik tik tik tik. Detik jam dinding terus bergulir. Malam semakin larut. Suasana malam semakin hening. Sesekali terdenger suara dedaunan bergesekan karena adanya pergerakan angin.

Tubuhku lelah. Namun mataku enggan sekali untuk tertutup. Berulang kali aku membolak-balikkan badan untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk terlelap. Namun semua terasa sia-sia.

Aku berbaring miring menghadap mas Aqlan. Menghadap kiri. Mas Aqlan yang ada disebelahku juga tidur miring. Menghadap ke arah kanan. Kearahku.

Kami tidur seranjang. Dan sebuah guling berada ditengah-tengah kami. Sebagai pembatas. Untuk permulaan mengawali hubungan halal kami.

Kupandangi setiap inci wajahnya. Dia begitu tenang.  
Wajahnya yang tampan, menurut versiku, dengan janggut tipis dan rambut hitamnya. Alisnya yang juga tebal, pipinya yang sedikit menggembung. Menurutku itu kombinasi yang pas.

"Ya Allah.. entah aku pernah melakukan kebaikan apa sampai Engkau jadikan dia  penyempurna separuh agamaku. SubhanaAllah walhamdulillah laailahaillaAllah Allahuakbar".

Aku terus memandanginya. Aku sangat bersyukur. Apa mas Aqlan juga bersyukur telah memilikiku? Atau justru beristighfar karena telah menilihku?? Dia khilaf gitu misalnya???

"Astaghfirullahhal'adzim.. aku mikir apa seh... fokus za.. gak boleh berfikir negatif".

Ada sedikit  pergerakan dari mas Aqlan. Kemudian dia membuka matanya. Dan menemukanku yang masih memandang takjub kearahnya.

"Jam berapa sekarang?".

"Setengah satu". Jawabku setelah menengok jam.

"Kenapa gak tidur?".

"Gak bisa tidur..". Jawabku manja.

Mas Aqlan menyandarkan badannya. Aku pun mengikuti apa yang ia lakukan.

Mas Aqlan mengambil tanganku dan menggenggamnya.

"Apa adek memikirkan sesuatu?".

Aku diam.

"Kalo gitu adek crita apa aja sama mas apa yang ada difikiran adek sekarang. Apapun. Katakan saja!! Mas akan dengarkan!".

Aku masih dalam mode diam. Mataku menyiratkan kepastian dari pernyataannya.

"Beneran mas akan dengarkan apapun yang ingin adek katakan".

"Sebenarnya aku masih gak kepercaya mas Aqlan yang menikahiku. Aku takut...aku hanya bermimpi. Dan ketika aku terbangun esok hari.. mas Aqlan juga pergi bersama datangnya pagi".

"Ini bukan mimpi. Mas adalah suami adek. Dan ketika adek terbangun besok mas masih akan tetap disisi adek. InsyaAllah sampai kakek nenek kita akan melewati semua sama-sama. Sampai maut memisahkan kita. Dan insyaAllah Allah akan satukan kita kembali di jannahNya".

"Mas gak nyesel telah menikahku? Sebelum semua berjalan lebih lama..mas bisa meninggalkanku".

Jujur rasanya sangat berat mengucapkan itu pada orang yang sangat aku cintai. Namun rasa sesak dalam dada ini akan terus menjadi beban jika aku tak mengatakannya.

"Adek ngomong apa seh...jangan ngomong kaya gitu lagi yaw.. mas gak suka. Allah pun juga tak menyukainya".

"Aku dan kamu mas... adalah dua orang yang sangat berbeda. Kamu laki-laki pesantren yang sangat terjaga. Dengan ilmu yang mendalam. Sedangkan aku...wanita biasa. Bukan ustadzah, bukan santri. Apa aku bisa menyeimbangkan diri denganmu? Aku hanya akan membuatmu malu".

"Sttt...jangan ngomong apa-apa lagi".

Mas Aqlan mencoba menghentikan ceritaku. Dia menarikku kedalam pelukannya.

Mungkin ini salah. Aku menyampaikan unek-unek ku di malam pengantin kami. Harusnya aku menyampaikan sedari awal saat dia meminangku. Tapi aku terlalu bahagia saat itu. Aku menginginkannya. Dan aku ingin menghalalkannya.

"Kita hanya menjalani skenario dari Allah. Mau aku anak pesantren, ustadz atau apapun itu.. dan adek yang melabeli diri adek wanita biasa, jika Allah sudah menghendaki sesuatu itu terjadi. Pasti terjadi. Semua yang terjadi sudah tertulis dalam catatan kita masing-masing. Bahkan jauh sebelum kita dilahirkan".

Allah yang menggerakkan hati kita untuk bisa bertemu. Allah yang menunjukkan jalannya. Allah yang menyatukan dengan caranya.

Kutemukan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang