Sakit

50 7 13
                                    

Kau baru selesai melingkari salah satu tanggal pada kalender yang berada di kamarmu ketika ibumu menampakkan diri.

"Calon menantu Ibu datang, Nak. Kau tidak usah membuat kopi, biar Ibu saja. Mending kau langsung turun."

Tidak seperti ibumu yang menampilkan wajah berseri-seri, kau justru memasang tampang malasmu. Kau bahkan tidak repot-repot berdandan padahal biasanya sekedar bersisiranpun kau lakukan.

Kau menarik napas panjang tatkala mengetahui keberadaan Juyeon, kekasihmu di ruang tamu sembari memainkan ponselnya. Rambut kecokelatan. Kaos dan jeans warna hitam. Kau selalu menyebut nama Tuhan setiap kali memandangi sosok pemuda yang menghuni hatimu itu.

"Sayang?"

Juyeon menaruh ponselnya di atas meja dengan wajah sumringah. Tangan-tangan besarnya hampir dia angkat untuk sebuah pelukan, tetapi yang didapat adalah ekspresi lempengmu. Kau duduk di sampingnya tanpa membalas sapaannya.

Hal ini tentu menimbulkan pikiran ganda dibenak Juyeon. Sebab sikapmu benar-benar tidak sesuai dengan rutinitasnya.

Juyeon sudah membuka mulutnya ketika ibumu muncul dengan segelas kopi dan dua toples camilan.

"Ibu tidak punya apa-apa, Nak."

Juyeon tersenyum melihat ibumu menaruh bawaannya ke atas meja.

"Ini sudah merepotkan malah."

Baik Juyeon maupun ibumu tertawa bersama. Kemudian ibumu pamit undur diri. Setelah tinggal berdua, Juyeon merasa tak dapat menahan diri lagi.

"Kau kenapa, Sayang? Marah denganku? Aku buat masalah, ya?"

Kau menepuk dahimu sendiri. Lantas kau mengambil ponsel Juyeon untuk mengetik sesuatu.

Rasa penasaran dan was-was Juyeon memudar ketika kau menyodorinya sebuah kalimat di ponselnya.

Aku sedang sariawan dan menstruasi, Juyeon.

Juyeon menghembuskan napas lega. Seakan-akan tadinya dia dilarang bernapas.

"Oh, begitu. Aku kira kau marah padaku.

Kau menggeleng. Kau memaklumi kesalahpahaman Juyeon karena memang setiap marah kau akan diam. Dan itu ditakuti oleh Juyeon.

"Ya sudah sini."

Juyeon menepuk pahanya. Kau memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya dengan merebahkan kepalamu. di paha Juyeon.

"Maaf ya, aku malah menganggu istirahatmu. Sekarang sebagai gantinya, aku memintamu tidur di sini. Mau diusap juga?"

Kau mengacungkan jempolmu sehingga Juyeon terkekeh. Tangan kirinya mengusap kepalamu. Tangan kanannya mengusap perutmu yang tidak rata karena terdapat bekas jahitan.

Sentuhan-sentuhan lembut itu seperti lullaby yang mampu membuatmu terlelap dengan mudah. Tak berapa lama, Juyeon menyadari kalau kau telah tertidur. Pemuda berlesung jangkung itu mencium dahimu dengan hati-hati.

"Aku sayang padamu."

Dari balik dinding, orangtuamu dan adik laki-lakimu mengintip adegan mesra itu.

"Kak Juyeon berbuat tidak senonoh kepada Kakak pas dia sedang tidak berdaya."

"Itu tanda kasih sayang, Sunwoo. Bukan tidak senonoh."

.

Esok paginya, kau terbangun di kasurmu. Kau kaget karena bukan paha Juyeon lagi yang kau jadikan bantal. Dan yang lebih mengejutkan ada sebuah kantong di atas nakas. Kau bangun dan memeriksa isi kantong tersebut.

Sebuah obat pereda nyeri haid dan obat sariawan berada di dalamnya. Bahkan terdapat secarik kertas pula.

Tolong diminum, ya. Biar kita bisa kencan lagi, hehe. Aku merindukanmu. Lekas sembuh, Sayang.

END

Aw maulah ada yang pukpuk pas sakit😄 aku kalau sakit malah disidang 🤣🤣🤣







Lee Juyeon Imagines (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang