Terpaksa

46 7 22
                                    

"Kapan kau akan mencintaiku?"

Kau tidak bisa menahan tawamu. Orang ini, entah pada dasarnya dia yang terlalu tulus atau terlampau polos, kau tidak bisa memastikan. Kau ingin tertawa sepuasmu, tapi melihatnya berwajah sendu, kau terpaksa berhenti.

"Sejujurnya, aku pernah merasa terbebani jika aku mendengar pertanyaanmu itu di masa lalu. Mengapa? Aku takut, kau akan terluka karena jawabanku tidak akan membuatmu senang. Tapi sekarang tidak lagi."

Wajah sendu itu memudar, berganti dengan ekspresi penasaran.

"Sepertinya sangat sulit membuatmu mengerti, Tuan Lee. Tapi tidak apa-apa, aku tidak keberatan untuk membantumu bangun.

Sejak awal, aku konsisten dengan pengakuan kalau aku tidak mencintaimu, tidak seperti dirimu kepadaku. Kupikir, karena kau lebih matang dariku secara usia maupun mental, kau bisa memahami dan menerima fakta itu. Jadi, tanpa ragu aku menyudahi hubungan kita di masa lalu.

Bahkan demi menghentikan potensi dirimu tersakiti lebih banyak, aku menerima realita anggapan kalau aku pencipta kekecewaan keluarga, aku menerima realita kalau Ayahku akhirnya perang dingin denganku. Aku menerima realita jika saudara-saudaramu berpikir aku menyia-nyiakanmu.

Pada saat itu, aku tidak menyesal sama sekali walaupun aku memang merasa tersiksa dengan tudingan-tudingan sampah seperti itu. Namun, apa yang kemudian aku dapat? Keluargamu terus mengincarku, karena apa? Kau hanya mau menikah denganku yang notabene tidak menyukaimu, alih-alih dengan gadis yang jelas-jelas menyukaimu. Dan kau sendiri mengakui kalau kau tidak suka dipaksa menikah dengan orang yang tidak kau suka.

Bukankah itu tanda, kalau kau menginginkan hubungan yang seimbang? Saling mencintai, sementara kau juga sadar, aku sama sekali tidak mencintaimu. Tertarik pun tidak. Dimana akal sehatmu? Apa yang membuatmu begitu buta, Tuan Lee? Mengapa kau masih berani menuntut seseorang mencintaimu kembali ketika bahkan kau tahu dia terpaksa menikah denganmu? Apa kau pikir ini mudah untuk dilakukan? Terikat dengan seseorang yang tidak disukai, itu sudah terlihat dan terdengar tidak adil. Seegois dan setidaktahu diri itukah dirimu?"

Bahu lelaki itu menurun dan kepalanya tertunduk lesu. Kau merasa semua kata-katamu sudah menyakiti hatinya. Dulu, kau akan merasa bersalah karena telah berlaku sedemikian kejam, tapi entah mengapa saat ini tidak. Kau tidak peduli jika dia akan terluka atau bahkan membencimu.

Benarkah ini dendam atau sekedar puncak dari rasa kecewa dan lelah disebabkan kerumitan masalah diantara kalian yang tak kunjung menemukan titik terang? Tidakkah Juyeon tahu betapa sulitnya berada dalam posisimu?

Menerima orang yang tidak kau cintai demi kebahagiaan orang lain, walaupun kau tahu kalian akan terluka.

Atau.

Mempertahankan orang yang tidak mencintaimu demi kebahagiaanmu sendiri dan menghancurkan hati mereka.

"Tapi mengapa, kau tidak bisa mencintaiku?"

"Sekarang tanyakan pada dirimu, mengapa kau masih mencintaiku walaupun aku telah menyakitimu? Tidak tahu kan? Itu juga berlalu kepadaku.

Baiklah, aku menghormati perasaanmu terhadapku. Itu adalah hakmu. Tapi aku juga berhak penuh atas perasaanku dan kau juga harus menghormatinya pula. Sekalipun itu pada akhirnya menyakiti hatimu, kau tidak bisa melarikan diri sekarang. Karena ikatan ini adalah kemauanmu. Bukan aku. Kau dan keluargamulah yang memaksaku dengan sikapmu yang tak kunjung berubah soal pasangan.

Maka jangan terkejut, marah atau kecewa dengan hasil yang kau dapat dari memegang erat pilihanmu."

"Jadi kau balas dendam?"

Kau tidak dapat menahan senyummu.

"Ini bukan balas dendam, ini sebab akibat. Ini adalah keadilan. Dan bukankah kau senang karenanya?"

Lelaki itu balas tertawa. Tawa yang hambar.

"Kau penuh drama ternyata."

"Kau tahu, bahkan drama dan film jauh lebih baik daripada hidupku. Pengarang menciptakan jalan cerita bisa berdasarkan kisah nyata atau sesuai keinginannya dan itu tidak merugikan pemain sama sekali. Tapi hidup ini? Pengaturnya adalah Tuhan. Kita semua hidup sesuai kehendak-Nya dan kita tidak dapat memprotes walaupun kita keberatan menjalaninya.

Sekarang terserah kau. Mau menikah denganku atau tidak, jawabanku akan selalu sama. Aku bukan bermaksud menyakiti, aku hanya ingin jujur karena itu prinsip hidupku, entah kau suka atau tidak."

Kau berdiri dari dudukmu. Dan melangkah pergi meninggalkan Juyeon tanpa mengatakan apapun. Kau berharap, jika lelaki itu masih waras secara mental, maka dia akan melepaskanmu.

Karena jika tidak, hanya buang-buang waktu. Sebab perasaanmu dan perasaannya berbeda, tidak dapat disatukan. Yang pada akhirnya hanya akan menciptakan penderitaan.

Benci aku, tidak apa-apa. Kau pantas bahagia tanpaku.

END

Kalian tahu, ini terjadi di real life-ku. Sangat drama kan? Sangat menyebalkan juga dan bikin stres. Tapi aku harap endingnya akan sama seperti versi ini😆.










Lee Juyeon Imagines (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang