Akhirnya

51 7 8
                                    

Kaki jenjangmu terus menapak, melalui pinggiran kolam renang. Bibi Han berkata kalau tuan muda rumah itu sedang berada di sana menjemur diri. Dan memang benar, saat ini kau melihat seorang laki-laki dengan surai hitam duduk di sebuah kursi roda. Dia duduk menghadap ke arah sinar matahari menyorot yang secara otomatis membelakangimu.

Perlahan-lahan kau semakin dekat saja dengan sosok tersebut hingga pada suatu ketika, lelaki itu merentangkan kedua tangannya seolah tengah menikmati hangatnya terpaan sinar mentari pagi. Kau sempat berhenti beberapa detik, kemudian meneruskan langkah agar jarak kalian semakin memudar.

Kala kedua mata sang lelaki terpejam, tanganmu menepuk pundaknya pelan. Tentu saja lelaki itu memutar kepalanya dan mendapati dirimu yang berdiri di belakangnya dengan wajah muram. Tetapi, kau malah mendapatkan balasan senyuman darinya. Senyum yang menampilkan lesung di kedua pipinya ditambah mata berbentuk bulan sabit.

"Apa kabar, Noona?"

Dan sapaan ringan itu membuatmu kembali mendengar suara yang nyaris berminggu-minggu mengganggu pikiranmu, terutama di setiap malam. Rasanya air matamu akan keluar sebentar lagi, jadi kau segera memeluknya erat dari belakang jika tak mau ketahuan.

Dan lelaki itu tersenyum.

Lagi.

Tangan kekarnya ikut memegang tanganmu yang memeluknya. Dia juga menepuk-nepuk lembut, bermaksud menenangkan. Meski tidak sesenggukkan, ia tahu kau menangis di pundaknya. Buktinya kaos putihnya sekarang terasa basah.

"Datang diam-diam. Ditanya kabar malah menangis."

Kau spontan memukul tangannya. Tidak yang benar-benar keras namun dia mengaduh, pura-pura kesakitan. Kau melepaskan diri lantas mendorong kursi roda itu ke tempat yang teduh.

Kebetulan di dekatnya ada bangku dan kau memilih mendudukkan diri di sana.

"Aku menjauhimu selama dua tahun setelah kau mengungkapkan perasaanmu padaku. Aku berharap kalau kau akan menyerah suatu hari nanti kemudian menjemput sendiri kebahagiaanmu bersama yang lain. Tapi apa yang telah kau lakukan, Juyeon? Kau hanya diam dengan semua keras kepalamu, sampai dua minggu yang lalu, aku mendengar kabar kalau kau terluka karena kecelakaan. Kau tahu bagaimana perasaanku saat itu?"

Juyeon mengulum bibirnya.

"Pasti kacau dan bimbang."

"Darimana kau tahu?"

Nada bicaramu lebih berkesan penuh selidik ketimbang bertanya. Juyeon tertawa lepas karena tebakannya rupanya benar.

"Gadis yang kutunggu selama dua tahun terakhir, gadis yang kuharap akan menjawab perasaanku kelak, benar-benar datang padaku hari ini dengan memelukku sambil menangis. Apalagi yang kuragukan?"

Kini kalian berdua tertawa bersama, betapa bahagianya manakala menyadari kalau sekarang kalian bisa bersatu. Kau sudah menyembuhkan hatimu dari masa lalumu yang kelam dan bersedia memulai ikatan baru bersama Juyeon.

Lelaki yang mengakui perasaannya dua tahun lalu.

Lelaki yang setia menunggu terbukanya hatimu sampai kapanpun.

Lelaki yang mengetuk kesadaranmu selama beberapa minggu yang lalu.

Lelaki yang meluluhkan hatimu dengan cara uniknya.

Lee Juyeon.

"Cepatlah sembuh. Apa kau tidak ingin pergi berkencan denganku?"

Tanpa kau duga, Juyeon berdiri, padahal temanmu bilang kalau dia mengalami cedera serius pada kakinya dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memulihkannya kembali. Bahkan kau tidak berkutik saat Juyeon meraih leher serta kakimu untuk dia gendong.

"Juyeon!"

Dan pagi yang hangat itu berakhir dengan dirimu yang diceburkan ke dalam kolam renang oleh lelaki itu.

END

Udah meningkat kan😆

Lee Juyeon Imagines (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang