Manik mata menajam mendengar ocehan tak beradab, gadis muda itu terlihat marah. Wajahnya memerah pada Sae yang kini berbalik menuju kopernya. Tangan terangkat membawa tas ke udara.
Bruk!
Lemparan tepat mengenai belakang kepala Sae. Nafas (y/n) memburu, gadis itu terlihat tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan Sae. Menyamainya dengan tukang selingkuh hanya membuat darah gadis itu semakin mendidih.
"Tiga tahun tujuh bulan," Ucap (y/n) pelan. Sae berbalik tidak terima kepalanya dilempar dengan tas oleh (y/n) bahkan hingga isi tas itu bercecer keluar sekalipun. "Aku menunggumu selama itu hanya untuk mendengar bualanmu? Omong kosong apa yang pelajari di Spanyol?!"
Rin yang terkejut Sae dilempar dengan tas sekolah dengan cepat menahan tubuh (y/n) yang hendak menyerang Sae karena masih memproses apa yang sudah terjadi padanya.
"Nee-chan! Tenanglah!" Panggil Rin panik. Bocah itu kentara sekali kesulitan menahan tubuh (y/n) yang memberontak hebat untuk dilepaskan. "Nii-chan juga! Ayo minta maaf!"
Sae mengerjap pelan, rasa pusing dikepalanya membuatnya semakin kesal. "Sialan, badan saja yang kecil, sifatnya sekarang malah berubah jadi gorila."
"APA?! KAU MENYAMAIKU DENGAN APA, DASAR ANAK SETAN!"
Rin menutup mulutnya rapat-rapat, menahan tawa yang tiba-tiba saja menghampirinya setelah (y/n) mengumpati Sae. Rin masih saja melingkari lengannya ke perut (y/n). Tenaga perempuan itu bahkan sanggup membuat laki-laki 16 tahun sepertinya kewalahan.
Sae menghela nafas, terlihat lelah untuk berdebat. Manik teal miliknya menatap datar barang-barang (y/n) yang kini berserakan di kakinya. "Merepotkan sekali." Beralih menatap (y/n) yang kini wajahnya merah padam dengan umpatan-umpatan yang masih setia dia teriakkan pada Sae.
Sae berdiri memasukkan kedua tangan kedalam saku jaket miliknya. "Biar ku beritahu agar semuanya jelas sekarang. Kau, Rin. Kau tidak terlihat mau berusaha sedikitpun menyamaiku. Bagimu pasti kelas Jepang adalah puncak akhir. Bagiku tidak, kelas Dunia adalah apa yang akan kucapai. Jadi kau itu tidak berguna untukku sama sekali sekarang." Sae menarik nafas panjang lalu menatap balik mata (y/n). "Dan kau (y/n). Kau masih sama seperti dulu, berpikir kalau kau yang sekarang sudah lebih dari cukup dan menyia-nyiakan apa yang kau miliki. Kalian mengecewakanku."
Tak!
Sebuah sepatu terlempar menuju Sae. Beruntung Sae dengan sigap menangkapnya sebelum hak sepatu itu menampar hidungnya.
"Pergi kau!" Pekik (y/n). "Kau bajingan yang pergi dan datang begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Menghina orang lain dan tidak mau mendengar penjelasan orang lain. Kau tidak tahu seberapa keras Rin berjuang untuk timnya! Dan kau berani mengatainya seperti itu?! ORANG YANG MEMBUANG MIMPINYA SENDIRI TIDAK PANTAS MENCERAMAHI ORANG YANG SEDANG BERJUANG MERAIH MIMPI MEREKA!"
Sae diam, kedua matanya membulat sejenak sebelum akhirnya kembali seperti semula. Datar dan dingin. "Karena inilah aku menyebut kalian naif."
Sae melempar sepatu (y/n) kebawah dan berbalik, meninggalkan (y/n) yang kini menangis kesal karena gagal melempar sepatunya sekali lagi ke arah kepala Sae.
Rin yang terduduk bersamaan dengan tubuh (y/n) di lantai lapangan, menghela nafas. Dia tidak menyangka (y/n) yang selama ini terlihat damai justru bisa bertingkah lepas dan brutal seperti itu.
Kedua tangan Rin mengeratkan pelukan, bocah itu menyenderkan kening di bahu kanan belakang (y/n). Terlalu lelah dan tidak mau menguras tenaga lebih dari itu. Ucapan Sae masih terngiang-ngiang di otaknya. Beruntung, (y/n) datang tepat waktu dan menolongnya hari ini.
"Nee-chan," Panggil Rin lirih. Satu tangannya menyentuh pipi (y/n). Mengusap air mata yang turun di sana. "Terimakasih sudah datang ke sini."
Rin tidak mau membalik badan (y/n) kearahnya. Pemuda itu takut (y/n) akan melihat sisi lemahnya hari ini. Hanya sedikit pelukan, Rin benar-benar hanya mau pelukan saja dari (y/n).
"Rin," Panggil (y/n) pelan. Gadis itu sudah kembali tenang meski wajahnya masih memerah. "Aku harus pergi."
Mendengar kata-kata itu, Rin membuka lebar matanya. Menatap wajah tegas (y/n) dari samping. Apa pada akhirnya dia tetap kehilangan orang-orang yang dia percayai? Apa (y/n) akan menyusul Sae dan meninggalkannya sendirian juga?
"Aku ingin berbicara empat mata dengan Sae."
Gigi Rin bergemeluk, pemuda itu kian mengeratkan pelukannya pada pinggang (y/n). Membawa tubuh gadis itu semakin rapat pada dada bidangnya.
"Tidak bisakah..." Lirih Rin putus asa. "Hanya kali ini, pikirkan saja aku. Jangan Sae."
Rin meletakkan hidungnya pada leher (y/n). Menghirup aroma menenangkan dari gadis itu. "Hanya kali ini saja."
(Y/n) melonggarkan pelukan Rin secara perlahan. Gadis itu berdiri menatap Rin dari atas. Pandangan Rin terlihat sendu dan putus asa. Gadis itu mengeratkan kepalan tangannya tatkala melihat wajah Rin.
"Aku harus segera menyusulnya sebelum Sae membuang airpods yang aku selipkan di kopernya." Jelas (y/n). "Aku menuntut jawaban pasti dari orang itu."
Rin hanya duduk di lantai lapangan. Pemuda itu tidak sanggup menghentikan (y/n) yang sudah membuat keputusan. Suaranya tidak akan sampai pada (y/n). Gadis itu hanya akan memikirkan Sae, Sae, dan Sae.
Rin menunduk menatap ujung sepatunya ketika (y/n) pergi bersamaan dengan barang-barang yang tadi dilempar gadis itu. Meninggalkan Rin sendirian di lapangan dan ditemani ribuan salju yang mulai menutupi lapangan.
Tes.
Tetesan kecil kemerahan jatuh, Rin melukai bibirnya sendiri dengan gigi. Pemuda itu menangis tanpa bersuara sedikitpun. Rasa sakit bertubi-tubi yang dia rasakan hari ini membuat Rin jatuh kedalam keputusasaan. Lirihan kecil darinya menjadi akhir dan perubahan pun dimulai. Tidak ada lagi Rin yang sama dengan sebelumnya. Hanya ada ambisi dan tatapan tajam. Tidak lagi lemah lembut.
"Aku selalu kalah."
.
.
..
.
..
.
.T
B
C.
.
..
.
.San: aw Rin, aku siap menampung mu sayang 😍
.
.
..
.
.09/04/2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Different Side [I. Sae x Reader]
Fanfiction🅂🄸🄳🄴 🄿🅁🄾🄹🄴🄲🅃 🄱🅈 🅂🄰🄽 🄱🄻🅄🄴 🄻🄾🄲🄺 🄲🄷🄰🅁🄰🅂 . . . "Dia berubah..." Sae yang aku kenal sudah tidak ada lagi. Hanya ada sebatas orang asing yang tidak suka dibantah dan tidak lagi menatap seperti dulu. . . . . . . Sinc...