"Kehilangan orang tua adalah hal yang menyesakkan bagi anaknya."~ Adnan Faturrahman ~
Seorang pria mengenakan jas berwarna hitam tengah berada di dalam pesawat, memandangi langit yang begitu cerah dari jendela pesawat. Bibirnya tersenyum lebar, menatap pemandangan awan di langit yang begitu indah. “Hari ini Ayah sama Bunda akan pulang liburan dari Australia. Aku tidak sabar ingin segera bertemu mereka,” gumamnya. Kedua matanya terpejam, ia terlelap karena sangat lelah setelah melakukan pekerjaan dari negara Singapura.
Akhirnya sampai juga di bandara, ia terbangun, lalu turun dari pesawat. Sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan kedua orang tuanya. Pria itu bergegas menaiki taksi setelah keluar dari area bandara.
Beberapa menit kemudian, ia tiba di depan gerbang berwarna hitam. Anehnya, rumah besar tingkat tiga bernuansa Eropa itu ramai sekali. Dahinya berkerut, ia tidak mengerti apa yang terjadi? Mengapa banyak orang yang memakai pakaian hitam seperti tengah berduka. Ada apa di rumahnya?
Saat berada di depan teras, bola matanya membulat, melihat ada bendera kuning di depan. Siapakah yang meninggal? Perasannya tiba-tiba tidak enak. Ia segera masuk ke dalam rumahnya.
Pria itu terkejut, melihat ada dua jasad di hadapannya. Lututnya melemas. “Ada apa ini? Mereka siapa?” tanyanya dengan berteriak.
Tiba-tiba seorang wanita dan pria paruh baya menghampirinya. “Adnan, kamu udah pulang?” tanya wanita paruh baya itu adalah bibi dari pria bernama Adnan Faturrahman.
“Mereka siapa, Bi?” tanyanya dengan perasaan cemas.
Pria paruh baya adalah om Adnan, mengusap punggung Adnan. “Adnan, kamu harus kuat, ya? Mereka adalah orang tua kamu. Mereka sudah meninggal dunia karena kecelakaan dari bandara, menuju ke sini,” jawab pria itu, membuat Adnan menggeleng dengan cepat.
“Enggak! Ini nggak mungkin! Orang tuaku janji akan pulang sebelum aku pulang dari Singapura! Kalian bohong, kan?” Adnan belum mempercayai yang mereka katakan.
“Nak, kamu harus ikhlas. Mereka udah nggak ada,” ujar bibi dari Adnan.
“Enggak!” Adnan menghampiri dua jasad itu, lalu membuka kain yang menutupi wajah kedua jasad tersebut. Adnan terbelalak, ternyata benar, itu adalah ayah dan bundanya. “Ayah! Bunda!” teriaknya.
Adnan mengguncang satu persatu kedua jasad itu. “Ini mimpi, kan? Nggak mungkin kalian ninggalin Adnan, kan?” tanyanya dengan histeris.
“Bunda! Ayah! Bangun! Kalian udah janji mau pulang dan menyambut kedatanganku! Kenapa kalian malah tidur? Ayo, bangun, Ayah! Bunda!” teriak Adnan begitu terpukul, melihat kedua orang tuanya sudah tidak bernyawa.
Bibi dan omnya menghampiri. Mereka berusaha menenangkan Adnan. “Adnan, mereka udah tenang di sana. Kamu harus ikhlasin kepergian mereka, ya?” ujar omnya.
Adnan menggeleng. “Enggak mungkin! Mereka Cuma tidur, kan, nggak pergi ninggalin Adnan, Om?” tanyanya masih tidak percaya. Ini seperti mimpi buruk baginya.
“Kuat, Nak. Jangan seperti ini. Ayah dan Bundamu akan sedih jika kamu seperti ini,” ujar bibinya.
“Kenapa kalian ninggalin aku? Ayah sama Bunda ingkar janji! Harusnya aku nggak izinin kalian berlibur ke Australia jika kalian mau ninggalin aku!” teriaknya.
“Adnan, sudah, Nak. Jasad orang tuamu akan segera disalatkan. Kamu harus menerima ini semua sudah takdir. Kamu mau ikut salatkan mereka?” tanya omnya bernama Raja.
Adnan mengangguk. Ia masih tidak menyangka orang tuanya akan pergi secepat ini. Kedua jasad itu mulai disalatkan. Adnan ikut salat jenazah walau keadaannya masih belum menerima kepergian mereka berdua. Namun, tiba-tiba saat selesai menyalatkan jenazah, tubuh Adnan ambruk. Adnan berusaha beranjak. Ia ingin mengantarkan orang tuanya sampai peristirahatan terakhir. Raja membantunya berdiri.
“Kamu masih kuat, Nak?” tanya Raja begitu peduli kepada keponakannya.
Adnan mengangguk. “Masih, Om. Aku ikut mengantar mereka.”
Jenazah kedua orang tua Adnan diantarkan ke pemakaman. Adnan masih sangat sedih. Sampai di pemakaman, kedua jenazah itu mulai dimakamkan. Adnan turut memakamkan kedua orang tuanya. Saat selesai pemakaman, tiba-tiba kepalanya pusing, pandangannya mengabur, Adnan ambruk, ia kehilangan kesadarannya. Adnan masih syok atas kehilangan kedua orang tuanya. Raja segera menggendong Adnan, membawanya pulang.
“Menyusahkan saja,” cibir wanita di samping Raja bernama Astri.
“Diam kamu, As. Adnan masih syok,” sahut Raja.
Sesampai di rumah, Raja membawa Adnan ke kamarnya. Ia memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Adnan. Dokter menjelaskan bahwa kondisi Adnan mengalami syok berat. Ia harus banyak beristirahat.
“Baik, Dok. Saya akan mengikuti semua kata dokter,” jawab Raja usai dokter menjelaskan kondisi Adnan.
Satu jam kemudian, Adnan mulai tersadar, kemudian menatap sekitar. Ia teringat kejadian tadi, membuatnya menangis, memanggil nama ayah dan bundanya. Pria itu memeluk foto kedua orang tuanya dengan dirinya saat liburan.
“Ayah! Bunda! Kembali! Adnan nggak mau ditinggal sama kalian!” jeritnya. Tiba-tiba saja, pria itu menatap cermin besar di kamarnya, lalu memukulnya dengan tangan, menyebabkan tangannya berdarah, tetapi Adnan tidak peduli. Ia malah mengambil pecahan kaca tersebut, lalu menggoresnya di sekitar lengannya.
“Aku mau mati juga! Aku nggak bisa hidup tanpa Ayah dan Bunda!” teriaknya sangat keras. Ia terus menggores tangannya dengan pecahan kaca tersebut.
“Aku mau ikut kalian!” teriaknya lagi.
Tidak puas hanya memukul cermin, ia mengambil gelas berukuran sedang di atas nakas, kemudian meremas gelas tersebut, membuat tangannya makin keluar banyak darah. “Arghh! Kenapa kalian ninggalin aku? Aku nggak punya siapa-siapa lagi!”
Adnan makin nekat, ia memecahkan kaca jendela, mengambil pecahan besar, lalu memecahkannya lagi dengan menginjaknya. Kakinya sudah berdarah-darah, tetapi Adnan tidak memedulikan darah yang banyak mengalir di tubuhnya.
“Kalau kalian mati, aku juga akan ikut! Aku nggak mau hidup sendirian tanpa kalian!” teriaknya.
Adnan mengambil tali yang ada di bawah lemarinya. Ia mengambil kursi, memasang tali dari atas. Ia berencana akan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Setelah talinya jadi, ia melingkarkan tali itu di lehernya dengan kuat. Ia berharap rencananya berhasil.
“Aku akan menyusul kalian!” Adnan mulai terasa tercekik oleh tali. Ia sudah tidak memiliki semangat hidup. Berharap kematian segera menghampiri.
Tiba-tiba saja, Raja dan Astri masuk ke dalam kamar Adnan. Mereka terbelalak, melihat Adnan mencoba gantung diri. “Adnan!” teriak Raja. Ia segera naik, menghampiri keponakannya yang sudah melemas. Raja berusaha melepaskan tali dari leher Adnan. Saat tali itu terlepas, Adnan kehilangan kesadarannya.
“Harusnya kita biarin dia mati aja, Mas!” gerutu Astri.
“As! Bicara apa kamu? Adnan keponakanku! Aku tidak akan membiarkannya mati! Apa kata orang kalau tahu Adnan mati gantung diri? Aku malu!” Raja segera membawa Adnan ke rumah sakit.
“Adnan, kamu harus selamat. Om nggak mau kamu pergi. Kamu satu-satunya yang bisa menjalankan perusahaan ayahmu! Kalau kamu mati, siapa yang akan memajukan perusahaan itu! Bisa hancur semuanya!” Raja begitu panik.
“Mas, ya, kita aja yang urus perusahaan Kak Rahman. Ngapain kamu biarin Adnan yang ngurus? Emang kamu nggak bisa ngurusnya?” tanya Astri.
Raja menatap tajam Astri. “Diam kamu! Jangan ganggu rencanaku!” bentak Raja, membuat Astri mengerutkan keningnya.
Apa yang dia rencanakan?
Selamat datang di cerita baru saya. Kali ini dalam rangka mengikuti lomba Glorius Writing Contest 2023. Cerita ini akan berlangsung selama tiga bulan ke depan. Selamat mengikuti kisahnya. Happy reading 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Hati Untuk Adnan (SELESAI)
Espiritual[Romance - Islami] Kehilangan orang tua, membuat Adnan Faturrahman kehilangan arah. Kepribadiannya berubah menjadi sosok yang salah jalan. Namun, takdir mempertemukannya dengan sosok gadis muslimah bernama Hasna Fadhillah dalam kondisinya yang amnes...