6. Sia-Sia Khawatir

1.5K 147 14
                                    

"Pak, kenapa pake meninggal segala sih? Kalau Bapak gak ada, aku yang urus siapa, Pak? Siapa yang ngasih aku uang buat sehari-hari? Males banget kerja banting tulang. Tangan putih mulus aku ini pastinya bakal rusak, Pak. Mana gak ninggalin warisan lagi. Cuma ini doang? Rumah tua ini doang? Bisa buat beli apa rumah reyot gini?"

Dari dalam rumahnya Viara mengomel tidak jelas atas kematian sang bapak. Kalau biasanya orang-orang sedih karena tidak bisa lagi bertemu dengan orang terkasih, kalau untuk Viara berbeda. Dia sedih karena tidak ada yang bisa menafkahinya lagi.

"Mana masih jauh lagi buat lulus. Kalau tinggal ngitung hari sih gak pa-pa, gue suruh si Kevin langsung nikahin gue. Lah ini?"

Viara terus mendumel dari tadi sambil tiduran di sofanya yang sudah usang. Bukan, bukan sofa. Lebih tepatnya kursi keras yang dia tambah bantalan di atasnya. Ya, agar tidak sakit saja. Gadis itu tiduran di sana sambil menumpang kaki. Sama sekali tidak ada rasa sedih saat bapaknya meninggal.

"Dasar gak punya hati. Bukannya sedih karena ayahnya meninggal, dia malah mikirin warisan dan uang."

Arion dan Dion yang masih bisa mendengar suara Viara dari depan rumah tua itu seketika menggelengkan kepala mereka saat mendengar ocehan yang Viara lakukan sejak tadi. Kedua pria itu langsung pergi dari sana setelah memastikan keadaan Viara yang jauh di luar dugaan mereka.

"Kita kembali saja. Sepertinya kita terlalu mengkhawatirkannya."

Dion menganggukkan kepalanya saat mendengar ucapan sang bos. Kedua pria itu kembali memasuki mobil hitam yang terparkir di depan gang menuju rumah Viara dan meninggalkan gadis itu tanpa menghampirinya. Viara tidak perlu dikhawatirkan.

-oOo-

"Akhhhhh! Ini gimana? Udah berapa hari gue gak keluar buat jalan-jalan? Gila, bisa stres gue."

Alathair menggelengkan kepalanya saat mendengar teriakan dari belakang rumahnya. Benar-benar berisik. Selama beberapa hari ini Viara tidak mau berhenti berteriak. Gadis itu stres karena tidak punya uang untuk jalan-jalan dan mentraktir teman-temannya.

Uangnya sudah habis. Tidak ada satu barang pun yang bisa dirinya jual sekarang ini di rumah. Minta sumbangan ke warga pun langsung ditolak mentah-mentah.

Iyalah, ketahuan bohong setelah bertahun-tahun, gila aja kalau masih ada yang mau ngasih dia sumbangan.

"Bangun lo! Sini ikut gue!"

"Eh, eh, eh. Lo mau bawa gue ke mana, heh? Lepas!"

"Diem! Ikut gue!"

Karena sudah muak dengan semua itu, malam-malam Alathair keluar dari rumahnya. Pemuda itu nyelonong masuk ke rumah Viara yang belum dikunci pintunya dan menarik lengan gadis itu untuk mengikutinya ke suatu tempat. Sempat ada penolakan dari Viara. Namun, alathair berhasil memaksanya.

"Ngapain sih? Lepas!"

"Noh, udah. Puas?"

"Cih. Ngapain lo bawa gue ke rumah lo? Mau pamer? Males gue. Mau tidur."

"Balik!"

"Akhh! Sakit! Lepas!"

Viara sekarang ini sudah berada di rumah besarnya Alathair. Pemuda itu menarik Viara langsung ke dapurnya. Namun, karena Viara malas berdebat dan malas berlama-lama, tanpa menanyakan kenapa dia dibawa ke sana, gadis itu langsung berjalan mendekati pintu untuk keluar dari sana.

Alathair yang sudah susah payah menarik gadis itu sekali lagi mencekal lengan Viara dan mengunci gerakannya agar tidak pergi. Dia memaksa Viara untuk tetap di sana.

"Bisa diem gak sih? Gue mau ngasih lo kerjaan."

"What?"

Viara memekik keras saat tahu niat Alathair memaksa dirinya untuk datang ke sana. Gadis itu terkejut sekaligus tidak mau. Dia masih remaja dan sedang senang-senangnya memanjakan diri. Tiba-tiba disuruh kerja? Oh tidak, cucian di rumahnya saja numpuk. Lagian, seorang Alathair mau ngasih dia kerjaan apa memangnya?

YOUNG MARRIAGE (Viara Aquella)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang